Dilema 2

744 Kata
Dia gadis yang sangat cantik. Banyak yang mendekati, tapi hanya mau Marisa saja. Laki-laki kaya juga menginginkan perempuan yang sejajar dengan mereka. Bukan si miskin seperti Marisa. Kalau pun ada, pasti pria iseng seperti Daniel yang ingin menjadikannya perempuan simpanan. "Sebenarnya budhe sudah bicara sama ibumu tadi siang. Budhe menyarankan sebaiknya kalian pindah ke desa saja. Tapi ibumu bilang bisa apa di sana karena sudah terbiasa mencari rezeki di kota. Kalau di desa memang kebanyakan kerja di sawah dan kebun," kata Budhe Lasmi setelah beberapa saat terdiam. "Ibu nggak bisa kerja berat, Budhe. Setelah melahirkan Najwa, ibu sering mengalami turun peranakan kalau kecapekan." "Iya, serba salah, Ris." "Nggak apa-apa. Kami bisa bertahan kok di sini. Lagian sejak kecil aku sudah terbiasa di sini. Ulfa juga bisa kerja part time sepulang kuliah. Lumayan bisa untuk uang saku dan fotocopy tugas kuliahnya." Budhe Lasmi mengangguk dengan netra berkaca-kaca. Seandainya saja ia bisa membantu. Tentu akan meringankan beban keluarga adiknya. Tapi ia sendiri hanya bergantung pada anak-anaknya juga. Sebab hasil panen pun tidak menentu. "Bagaimana kabarnya Dimas?" tanya wanita itu pada sosok pemuda yang menjadi kekasih Marisa. "Dia akan menikah bulan depan, Budhe," jawab Marisa sambil menceritakan sekilas tentang hubungannya dengan Dimas yang kandas. "Jadi kalian putus?" Marisa mengangguk. Kemudian hening. Seandainya dia bersedia menikah sekarang, pasti dia yang akan menjadi mempelai perempuannya. Walaupun orang tua Dimas kelihatan tidak suka, tapi tidak pernah menentang hubungan mereka. Mimpi Marisa hancur di hari mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan. "Yo wis, yang sabar yo, Nduk. Budhe doain semoga kelak kamu mendapatkan jodoh laki-laki yang bisa membahagiakanmu." "Aamiin. Makasih, Budhe," jawab Marisa sambil memandang wanita yang wajahnya bak pinang dibelah dua dengan sang ibu. ***LS*** Semenjak Ulfa kuliah, Marisa berangkat ke kantor selalu naik angkot. Kalau terpaksa karena waktunya mepet, baru naik taksi online yang ongkosnya tentu lebih mahal dari kendaraan umum. Motornya dipakai sang adik untuk kuliah. Sedangkan motor butut peninggalan bapaknya, dipakai ibu untuk belanja, mengantarkan adik-adiknya ke sekolah, dan mengantarkan pesanan. Ingin beli cash jelas tidak mungkin, sedangkan dengan cara mengangsur saja mesti mikir-mikir dulu. Pagi itu di dalam angkot, Marisa merenung menatap jalanan yang selalu bising dengan deru kendaraan yang macet. Namun dari banyaknya pemandangan di luar sana, ia masih bersyukur. Sesusah apapun mereka, adik-adiknya tidak pernah turun ke jalan untuk mengamen dan meninggalkan sekolah. Ternyata masih ada kehidupan di bawah keluarganya. Ibunya selalu bilang, "Jangan lihat atas. Lihatlah ke bawah. Masih banyak yang hidup lebih susah dari kita, Ris. Kita masih beruntung memiliki rumah meski sederhana." Marisa tidak menyadari, tepat di sebelahnya ada yang sedang memperhatikan dari balik kaca mobilnya. Seorang pria dengan tampang di atas rata-rata. Namun hanya memperhatikan dan tidak berniat membuka kaca. Tergesa Marisa melangkah menuju kantor setelah turun dari kendaraan umum. Tinggal beberapa menit saja ia harus sampai. Kemacetan tadi membuatnya nyaris terlambat. Sesampainya di meja kerjanya, gadis itu membenahi pita yang menjadi hiasan blouse-nya. Kemudian merapikan rambutnya dengan sisir kecil yang selalu tersimpan di dalam tas. Buru-buru dimasukkan sisir warna pink itu ke dalam tas, saat di depannya berdiri tegak pria gagah dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. "Ke ruanganku sebentar. Laporanmu kemarin masih ada yang salah," ucap Daniel datar, kemudian berlalu pergi ke ruangannya sendiri. Marisa berdiri kemudian saling pandang dengan Ari di sebelahnya. Meja mereka hanya tersekat papan setinggi d**a orang dewasa. Gadis itu menuju ke ruangan si bos. Perasaan kemarin sudah dibenahinya dengan sempurna. Lalu bagian mana lagi yang salah? Apa itu hanya akal-akalan bosnya saja? "Kenapa Mbak Tari nggak segera masuk kerja? Sakit apa sih dia?" tanya Marisa dalam hati. Sekretaris bosnya itu memang sudah dua hari ini tidak masuk karena sakit. Kalau ada wanita itu, Marisa hanya akan berurusan dengannya saja. Baru perempuan dengan dua anak itu yang akan berhubungan langsung dengan Daniel. Berkas diletakkan Daniel tepat di depan Marisa. "Kamu cek lagi. Kamu tahu apa akhibatnya kalau salah dalam membuat laporan keuangan?" tanya pria itu dengan sorot mata tajam. "Itu akan mempengaruhi terhadap perhitungan pajak, denda yang mesti dibayar, dan proses audit dalam perusahaan nanti," lanjut Daniel. "Iya, Pak. Saya ngerti," jawab Marisa sambil memperhatikan berkas di depannya. Entah mana yang salah, entah apa yang dipikirkan hingga membuat dirinya melakukan kesalahan. Padahal biasanya juga aman-aman saja walaupun di kepalanya banyak beban. "Saya akan mengecek dan membenahi segera, Pak." Marisa bangkit sambil membawa laporannya. "Tunggu," cegah Daniel sambil menegakkan duduknya. Kemudian mengeluarkan dua buah tiket dari saku celananya dan menaruhnya di atas meja. "Saya tunggu kamu di Cineplex jam tujuh malam." * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN