Di Antara Dua Pilihan
- Gadis Pemberani
Marisa tercekat. Tubuhnya seolah terpaku di tempat dengan jantung yang berdetak kencang. Nekat benar si bos ini.
"Maaf, Pak. Sa-saya ... saya nggak bisa," jawab gadis itu terbata. Kemudian dengan langkah cepat meninggalkan ruangan sambil membawa berkas laporan di tangan.
Sampai di mejanya pun tubuh Marisa masih gemetar. Daniel mulai melangkah lebih berani lagi. Sekarang mengajaknya nonton, besok entah apalagi. Saat ini dia bisa menolak, tidak tahu kemudian hari nanti. Namun apapun yang terjadi, dia tidak akan meladeni pria beristri itu.
"Sssttt, ngapain kamu? Kaya lihat hantu saja," tegur Ari yang nongol di sampingnya. Marisa menoleh sebentar pada rekannya, kemudian mulai membuka laporan yang harus dibenahi. Jika tidak segera dikerjakan, dia pula yang akan dikerjai oleh bosnya.
"Ada yang salah lagi?" tanya Ari masih penasaran dengan sikap Marisa.
"Nanti saja aku cerita," jawab gadis itu tanpa menoleh. Ari kembali duduk daripada mengundang perhatian staf yang lain.
Sementara di dalam ruangannya, Daniel menatap tajam lurus ke pintu. Di mana Marisa hilang dari pandangannya. Di saat perempuan di luar sana mengejar-ngejar dirinya, meski tahu ia telah beristri. Tapi gadis itu berani sekali menolaknya. Menolak kemewahan yang ia tawarkan. Sejak masih bujangan, mana ada gadis yang mengabaikan pesonanya. Justru berlomba-lomba menarik perhatiannya. Daniel kecewa dengan Marisa, tapi juga tertantang. Perasaannya sudah segila itu.
Daniel berdiri kemudian keluar ruangan. Marisa sama sekali tidak memandang ke arahnya saat ia lewat di depannya. Gadis itu menunduk memperhatikan kertas di meja.
Beberapa langkah kemudian, Daniel berbalik dan kembali menghampiri meja Marisa. "Setelah aku kembali. Laporan ini sudah harus selesai." Daniel berkata dengan nada dingin.
"Ya, Pak," jawab Marisa sambil mengangguk. Mata itu begitu tajam menatap Marisa. Andai ia tidak membuat kesalahan mengenai laporan itu, pasti ia beranikan diri menentang tatapan Daniel. Ingin ditunjukkannya pada pria itu, meski miskin ia punya harga diri.
Daniel melangkah menjauh dan hilang masuk lift. Biasanya kalau suntuk, pria itu akan mendatangi kafe temannya. Duduk di sana menikmati kopi hingga berjam-jam, kalau tidak ada pekerjaan dan meeting penting dengan papanya.
"Kamu kenapa? Ribut lagi sama Shela atau ada masalah di kantor?" tanya Tito pemilik kafe setelah duduk di depan Daniel.
"Aku lebih banyak diam daripada ribut sekarang. Percuma juga bicara. Banyak hal yang membuat kami tak lagi sepaham. Dia nggak pernah minta pendapatku mengenai apapun termasuk urusan anak-anak," jawab Daniel sambil mengaduk kopinya.
"Kasihan anak-anak kalau kalian seperti ini terus. Cobalah ajak dia bicara serius."
"Percuma, ujung-ujungnya pasti berselisih paham. Aku sebenarnya nggak ingin anak-anak diforsir dengan banyaknya kegiatan. Sampai mereka nggak punya waktu untuk bermain. Pokoknya banyak yang membuat kami berselisih paham."
Tito tersenyum. Ternyata berlimpahan harta tak membuat hidup tenang dan bahagia. Daniel dan Shela lahir dari keluarga konglomerat yang bisnis dan hartanya ada di mana-mana. Tapi rumah tangga mereka hanya diwarnai keributan saja, karena sama-sama egois dan merasa punya kuasa. Sama-sama ingin membeli harga diri pasangannya.
"Btw, bagaimana dengan gadis yang kamu ceritakan itu. Staf kamu maksudku."
Daniel tersenyum getir. "Dia menolakku."
Tito tertawa lebar. "Soalnya dia waras, Bro." Tawa Tito makin keras berderai-derai. Sedangkan Daniel hanya diam memperhatikan kopi hitam dalam cangkir. Pemilik kafe itu adalah satu-satunya teman tempat Daniel bisa bicara mengenai banyak hal. Termasuk tentang Marisa. Bahkan niatan konyolnya untuk menjadikan gadis itu sebagai istri kedua juga pernah diutarakan pada Tito.
Satu jam ngobrol dengan rekannya di kafe, Daniel bangkit dari duduknya. Kembali lebih cepat akan lebih baik. Marisa tentu belum selesai membenahi laporan tadi. Bagus kan, dia bisa mengerjai gadis yang dengan berani menolaknya.
"Tumben kamu tergesa-gesa," seloroh Tito yang kembali menghampirinya setelah menerima telepon.
Daniel hanya menjawab dengan bergumam lirih sambil melepaskan jas hitam yang dipakainya.
"Jangan main api. Terbakar baru tau rasa nanti." Tito mengingatkan Daniel sambil mengantar sahabatnya itu hingga ke teras kafe.
"Aku memang ingin terbakar. Hangus sekalian malah lagi bagus."
"Gila kamu, Dan."
Daniel tersenyum getir. Ketika hendak membuka pintu mobil, ponselnya berdering. Ada pesan dari relasi kerja kalau dirinya sedang ditunggu di kantor rekannya itu sekarang. Pria berkemeja biru itu berdecak lirih. Kenapa dia lupa kalau janjian dengan relasinya. Jadi gagal hendak mengerjai Marisa lagi.
***LS***
Perjalanan ke Jember harus ditunda karena ada meeting yang tidak bisa ditinggalkan. Akhirnya setengah hari itu ia duduk di ruang rapat untuk membahas projek baru perusahaan. Namun bayangan perempuan yang dua kali di temuinya dalam dua hari ini mengusik konsentrasinya.
Aksara ingat, gadis yang melamun dalam angkot tadi adalah perempuan yang ditabrak keponakannya kemarin sore di mall. Siapa dia?
Tepat jam sebelas siang Aksara keluar dari ruang meeting. Hari ini dia harus menyediakan shop drawing dan membuat perhitungan konstruksi yang diperlukan untuk projek baru perusahaan. Jadwal kerjanya sangat padat. Di atas meja kerjanya menumpuk beberapa berkas yang harus diperiksanya. Meneliti spesifikasi data butuh konsentrasi, tapi pikirannya pun sedang kalut dengan permintaan sang mama untuk mempertimbangkan Hafsah.
Kyai Abdul Qodir memang sangat berjasa pada keluarganya. Tapi apa itu harus dibalas dengan persetujuan untuk menikahi putrinya? Mereka memang tidak memaksa, tapi dia harus tahu diri juga.
Ponsel di atas meja berdering ketika Aksara baru saja membuka lembar pertama berkas yang hendak di cek. Ada pesan masuk dari Agus.
[Kalau ada waktu, kita ketemuan di yayasan sepulang kerja. Ada donatur yang ingin bertemu.]
[Oke.] balas Aksara kemudian meletakkan ponselnya lagi.