Sosok perempuan cantik di dalam angkutan umum tadi kembali mengusik. Namun berusaha ditepisnya jauh-jauh. Setelah patah hati dengan Delia, tentunya dia tidak ingin mengulang kisah yang sama. Gadis tadi siapa ia pun tidak tahu. Mungkin kekasih orang, tunangan orang, atau parahnya lagi sudah menjadi istri orang.
Aksara mulai berkonsentrasi. Hari ini berkas di atas meja harus selesai diteliti. Supaya tidak harus lembur lagi malam ini. Sore bisa bertemu orang yang dimaksud sahabatnya dan besok bisa berangkat ke Jember untuk menyelesaikan pekerjaan di sana.
Jam tiga sore Aksara sudah keluar dari kantor. Ada urusan ke kantor pajak sebentar, ke yayasan, baru pulang. Namun ia harus menyempatkan diri untuk makan karena tadi belum makan siang.
Mobil meluncur di tengah kesibukan lalu lintas kota, kemudian dia melipir lewat jalan alternatif. Meskipun memutar tak mengapa asal perjalanan lancar.
Beberapa meter di hadapan, ia melihat sekawanan anak kecil sedang bertengkar. Aksara memelankan laju kendaraan. Ada lima orang anak laki-laki dan perempuan sedang menyerang satu anak perempuan. Gadis kecil itu mempertahankan tasnya. Dia sangat berani melawan meski sendirian.
Aksara berhenti dan turun dari kendaraan. Pria itu tergesa menghampiri. Kelima anak-anak itu melangkah pergi sambil terus mengucapkan kata-kata bulian pada gadis kecil yang memakai baju muslimah warna tosca.
"Hei, kamu nggak apa-apa?" tanya Aksara memperhatikan anak yang tengah mengambil bukunya yang jatuh dan memasukkan kembali ke dalam tas.
"Nggak apa-apa," jawabnya tanpa takut meski Aksara asing baginya.
"Kenapa mereka menjahilimu?"
"Sudah biasa mereka membuli saya," jawab gadis kecil itu tenang sambil memandang segerombolan anak-anak yang melangkah menjauh dan sesekali masih mengejeknya dengan menjulurkan lidah.
"Tapi kamu berani melawan tadi."
"Kata Mbak Marisa, saya harus melawan kalau saya nggak salah. Saya nggak boleh takut," jawabnya sambil mendongak memandang Aksara.
"Siapa Mbak Marisa?"
"Kakak saya. Maaf, saya pergi dulu, Om. Terima kasih sudah membantu."
"Aku nggak melakukan apapun tadi."
"Tapi kedatangan Om membuat mereka pergi. Terima kasih!" Anak sekitar umur sepuluh tahun itu berbalik dan hendak melangkah.
"Kamu mau pulang?"
"Ya. Saya tadi pulang dari les."
"Biar kuantar."
"Nggak usah. Terima kasih!" Gadis kecil melangkah menyusuri trotoar. Aksara kembali masuk ke dalam mobil dan mengikutinya. Jalanan itu memang sepi. Walaupun ada kendaraan yang sesekali lewat, tapi mana peduli dengan persekitaran. Buktinya melihat anak-anak bertengkar tadi, pengendara motor yang lewat hanya memperhatikan sekilas saja.
Siapa orang tuanya, kenapa tidak mengantar jemput. Apa mereka tidak khawatir? Gadis kecil itu sangat cantik. Tapi terlihat pemberani.
"Siapa namamu?" teriak Aksara dari dalam mobilnya.
"Najwa."
"Rumahmu masih jauh?"
Najwa mengangguk.
"Masuklah ke dalam mobilku. Aku akan mengantarmu."
Gadis kecil itu menggeleng.
"Aku bukan orang jahat!"
"Ya, saya tahu. Tapi saya sudah biasa jalan kaki. Kenapa Om nggak pergi saja?"
"Aku akan mengantarmu sampai di rumah."
Najwa mempercepat jalannya. Aksara masih terus mengikuti hingga anak itu berhenti di depan sebuah gang. "Saya sudah sampai. Terima kasih, Om."
"Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya!"
"Ya." Setelah menjawab, Najwa berlari masuk ke dalam gang yang mungkin hanya muat satu mobil saja.
Aksara baru pergi saat gadis kecil itu menoleh ke arahnya kemudian hilang masuk halaman sebuah rumah. "Anak yang cerdas," batin Aksara.
Mobil kembali melaju dan akhirnya berhenti di depan kedai bakso. Ia harus makan karena perutnya sudah tak bisa berkompromi. Tadi hanya sempat sarapan sedikit dan tergesa-gesa karena dia bangun kesiangan.
***LS***
Baru saja Marisa duduk di kursinya, dari arah pintu lift muncul Daniel yang kini hanya memakai kemeja saja. Entah di mana ia melepaskan jas hitamnya tadi. Beruntung sekali ia sudah menyelesaikan pekerjaan itu sebelum bosnya kembali. Daniel memang tidak mengada-ada mencari kesalahannya. Laporan yang ia buat memang perlu pembenahan. Kalau salah menulis satu angka saja, maka keseluruhan harus dibenahi.
"Kamu sudah selesaikan pekerjaanmu?" tanya Daniel berhenti di depan meja Marisa.
"Sudah, Pak. Saya taruh di meja, Bapak," jawab Marisa sopan.
Daniel menuju ke ruangannya. Membuka laporan yang sudah dibenahi Marisa. Tak ada celah untuk mencari kesalahan gadis itu lagi. Semua sudah dibenahi dengan tepat.
Dilihatnya jam tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit. Sore itu dia janjian dengan pengurus yayasan. Sebelum pergi, Daniel meraih gagang telepon dan menghubungi Marisa agar masuk ke dalam ruangannya.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Meraih tablet di atas meja, lantas melangkah ke ruangan si bos.
"Apa jadwalku besok?" tanya Daniel setelah Marisa berdiri di hadapannya.
Marisa membacakan senarai jadwal Daniel esok pagi. Cukup padat rupanya. Pria itu juga meminta Marisa membacakan agenda beberapa hari ke depan. Agenda yang telah ditulis oleh sekretaris Daniel sebelum mengambil cuti.
"Ingatkan saya lagi besok."
"Ya, Pak."
"Oke. Malam ini aku tunggu kamu di Cineplex atau aku yang akan menjemputmu?"
Pilihan konyol. Marisa masih diam membalas tatapan pria di depannya. Tenyata Daniel tidak menyerah juga.
"Maaf, Pak. Saya nggak bisa."
"Kamu masih ingin bekerja, kan?"
Marisa mengangguk. Apa jika ia menolak, Daniel akan memecatnya? Berhenti bekerja adalah malapetaka baginya. Belum tentu dalam sebulan ke depan ia akan mendapatkan pekerjaan baru. Apalagi dalam situasi begini. Banyak perusahaan mengurangi tenaga kerjanya. Kalau yang ada saja dikurangi, pasti mereka tidak akan mengambil pekerja baru lagi.
"Apa karena penolakan ini, Pak Daniel akan memecat saya?"
"Kalau kamu mau menerima tawaranku, aku akan memberikan gaji overtime untukmu."
"Maaf, Pak. Saya nggak bisa. Permisi!" Marisa menunduk sopan kemudian berbalik dan keluar ruangan. Walaupun itu dianggap kerja lembur, Marisa tidak akan mengambilnya. Tapi ia lega, karena tidak ada ancaman pemecatan. Walaupun bertahan juga tidak akan lepas dari godaan bosnya sendiri.
Daniel makin geram. Seandainya masih ada waktu, ia ingin mendebat gadis yang berani menolaknya. Sayangnya dia harus segera pergi.
* * *