Salah Sangka 1

1043 Kata
Di Antara Dua Pilihan - Salah Sangka "Mbak Risa, Mas Aksara yang nelepon." Ulfa yang tidak sabar meraih ponsel milik kakaknya dan mengulurkan pada Marisa. "Angkat gih, Mbak bisa minta tolong nganterin daripada naik taksi." Nganterin? Marisa sungkan sebenarnya. "Halo, assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Aku sedang ada di jalan ini. Mau nggak kuajak ke Surabaya Great Expo?" "Maaf, hari ini aku mau kondangan ke mantanku, Mas." "Oh ya? Di mana?" "Di hotel Mataram." "Kamu sudah berangkat?" "Belum. Ini baru mau pesan taksi." "Nggak usah pesan taksi. Aku bisa mengantarmu. Sebentar lagi aku udah nyampe rumahmu." "Apa aku nggak ngrepotin? Mas Aksara kan mau pergi ke expo?" "Kita bisa pergi sepulangnya kamu dari kondangan. Tunggu saja di rumah, tak lama lagi aku sampai." "Oh, iya," jawab Marisa kemudian meletakkan ponselnya karena tanpa salam Aksara telah memutuskan panggilan. "Gimana?" tanya Ulfa. "Sebenarnya dia mau ngajak aku ke expo. Tapi aku bilang mau kondangan. Dia mau nganterin." Ulfa langsung berbinar bahagia. Gadis itu tersenyum sambil membenahi tali gaun milik kakaknya. "Dia suka sama kamu , Mbak. Nggak usah jual mahal. Dia sepertinya pria yang baik. Pokoknya kalau dia deketin atau nembak Mbak Risa, jangan ditolak." Ulfa bicara berapi-api sambil merapikan rambut Marisa. "Ka ...." "Pokoknya jangan bilang nggak." Ulfa menyela cepat kakaknya yang hendak menjawab. "Feeling ibu juga mengatakan kalau dia pria baik-baik. Kali ini Mbak Risa nggak usah memikirkan bagaimana aku dan adik-adik. Kalau ada yang ngajak nikah dan dia pria baik-baik, Mbak harus mau. Mbak Risa, pikiran masa depan Mbak sendiri. Jangan khawatir dengan kami." Ulfa sudah seperti orang tua saja yang menasehati Marisa. Gadis itu mengulang apa yang dibahas dengan sang ibu kemarin pagi. Belum juga menjawab perkataan Ulfa, ponsel Marisa kembali berdering. "Ya, Mas." "Aku sudah ada di depan gang sekarang. Mau kujemput masuk ...." "Nggak usah. Tunggu saya di depan gang saja. Saya akan jalan ke sana!" sahut Marisa cepat. Dia tidak ingin para tetangga mempertanyakan tentang hubungannya dengan Aksara. Kegagalannya dengan Dimas saja menjadi perbincangan mereka dari pekan ke pekan. Pacaran lama ujung-ujungnya putus dan ditinggal menikah. Sedangkan dirinya dengan Aksara tidak memiliki hubungan apapun, nanti dugaan tetangga sudah berbeda pula. Marisa tidak ingin ibunya terbebani dengan omongan mereka. Waktu Aksara mengantarkan pulang beberapa hari yang lalu saja sudah ada yang sibuk bertanya. "Pacar baru ya, Ris?" Marisa keluar kamar sambil menenteng tas tangannya. Kemudian berpamitan pada sang ibu yang tengah mengadon kue di dapur. "Kamu pergi naik apa?" tanya Bu Rahmi. "Dianterin Mas Aksara, Bu." Ulfa yang menjawab. Diyakinkan dengan anggukan kepala oleh Marisa. Bu Rahmi diam sejenak. "Ya, sudah. Kamu yang hati-hati ya." Setelah berpamitan, Marisa di antar Ulfa yang membawakan kado milik sang kakak ke gang depan. Jalan gadis itu tidak bisa cepat karena memakai stiletto dengan hak tinggi. Satu-satunya sepatu mahal yang dia punya. Hanya dipakai di waktu-waktu tertentu saja. Tas yang ditangannya juga begitu. Akan dipakai pada saat kondangan atau acara dinner di kantor saja. Kalau ke bekerja dia memakai tas biasa. Aksara turun dari pintu kemudi ketika melihat Marisa di antar oleh sang adik muncul dari gang. Pria itu tersenyum melihat penampilan berbeda gadis yang menjadi pemikirannya akhir-akhir ini. Marisa tampil anggun meski dengan make up natural dan midi dress sederhana sepanjang betis berwarna mint. Baju yang tidak menggunakan hiasan apapun selain sabuk dan rumbai-rumbai ringan serta lipatan di bagian rok bawah. Tak ada perhiasan yang melekat di badan Marisa selain anting kecil dan jam tangan dengan tali berwarna putih. Marisa membalas senyum pria yang memakai hem warna biru Dongker. "Mas, titip Mbak Risa, ya," ucap Ulfa tanpa canggung. Aksara mengangkat jempolnya sambil tersenyum. "Jangan khawatir," jawabnya singkat. Sebenarnya Aksara mengajak Marisa pergi ke expo hanya alasan saja. Tujuan utamanya adalah mengajak gadis itu mampir ke rumahnya karena sang mama ingin berjumpa dengan Marisa yang diceritakannya beberapa hari yang lalu. "Kita berangkat sekarang?" tanya pria yang tampak menawan pagi itu. "Ya." Marisa mengangguk. Keduanya lantas berangkat di bawah tatapan Ulfa yang memandangi mobil itu hingga menjauh dan berbelok di tikungan. Setelah melihat kakaknya patah hati, ia ingin sang kakak mendapatkan kebahagiaannya lagi. Semoga Aksara memang berniat untuk mendekati dan serius pada Marisa. Ulfa masih mematung. Kenapa dia tadi tidak menyarankan supaya Marisa mengajak Aksara menghadiri pestanya Dimas. Tidak hanya sekedar mengantar atau menunggu di luar. Ulfa ingin menelepon, tapi dia tidak membawa ponselnya. Sementara dalam perjalanan keduanya masih terdiam. Marisa tampak tegang oleh dua hal. Malu karena sering diperhatikan Aksara dan gusar karena akan menghadiri pernikahan mantannya. Tentu dia nanti akan menjadi pusat perhatian kerabat dan teman-teman Dimas yang mengenalnya. Dia harus tampak tegar dan baik-baik saja. Tidak boleh menunjukkan wajah nelangsa apalagi sampai menangis. Untuk mengurai resah, gadis itu membuka ponsel dan mengirimkan pesan pada Ari. Namun yang masuk bukan balasan pesan dari temannya, tapi pesan dari Daniel. [Nggak usah kamu kembalikan uang itu. Aku memang sengaja memberikannya padamu. Jika kurang, aku akan menambahnya lagi.] Membaca pesan itu membuat Marisa tambah berdebar dan gemetar. Namun ini kesempatan Marisa untuk berbicara dengan bosnya. Nanti dia akan minta maaf pada Aksara karena mengabaikannya. [Tidak, Pak Daniel. Jangan transfer uang lagi. Pokoknya saya akan mengembalikan uang yang bapak transfer hari itu.] [Apa yang kamu takutkan? Takut aku minta imbalan?] [Tentu Pak Daniel punya alasan memberikan uang pada saya.] Tidak dijawab lagi hingga beberapa menit kemudian. Menghilang seperti kemarin. Pembicaraan itu selalu tidak tuntas. Marisa tidak berani lancang lagi. "Dasar buaya," umpat Marisa lirih. Namun membuat pria di sebelahnya kaget. "Ada apa, Risa? Kamu mengataiku buaya?" Marisa sadar dan pias, merasa tidak enak hati. "Eh, bukan Mas. Bukan. Saya nggak ngatain Mas Aksara buaya. Saya hanya membalas curhatan teman saya. Maaf, saya terbawa emosi tadi." Marisa benar-benar merasa bersalah. "Kamu ngomongnya di sebelahku, makanya aku tanya," balas Aksara dengan nada bicara yang tetap tenang. "Aduh, maaf, Mas. Maaf banget. Saya ngomentari curhatan teman saya." Berusaha Marisa meyakinkan Aksara. Namun ia tidak menceritakan hal yang sebenarnya. Dirinya dan Aksara baru saling mengenal, bukan saatnya menceritakan apa yang dialami. "Oke. Kamu tak perlu pucat gitu. Harus ceria dong mau ketemu mantan yang nikah duluan." Bukannya marah, justru Aksara malah menggodanya. Membuat Marisa tersenyum getir. Teringat lagi luka hatinya. Sepuluh hari berlalu, Marisa tenang tanpa adanya Daniel. Walaupun masih ada PR besar yang harus segera diselesaikan sepulangnya laki-laki itu dari luar pulau. Tapi ternyata pagi ini, Daniel mengirimkan pesan dan kembali menghilang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN