Mulai Dekat 2

1074 Kata
"Jangan berhenti, Ul. Mbak berharap setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar buruh pabrik, kamu bisa bantuin membiayai sekolah dua adik kita," ucap Marisa setelah beberapa saat diam. "Tapi masih lama, Mbak. Aku baru masuk semester empat." "Sudahlah kamu bertahan saja dulu. Kamu juga sambil kerja. Gajimu bisa untuk transportasi dan membeli buku." Marisa tidak sampai hati membiarkan adiknya berhenti kuliah. Sebab Ulfa pun juga bekerja dan jualan online. Kalau di rumah juga membantu ibu. Dia bukan pemalas dan rela mengorbankan masa-masa remajanya untuk membantu di rumah. Masih mendingan Marisa. Sesekali bisa nonton bersama Ari. Ulfa akhirnya mengangguk pelan. Meski sebenarnya dia dihadapkan pada dua pilihan. Rasanya sangat berat jika drop out. Tapi di sisi lain dia iba pada kakak dan ibunya. Karena beban itu, sang kakak harus merelakan kekasihnya menikah dengan gadis lain. "Tidurlah, besok pagi kita bantuin ibu goreng pastel." "Ya, Mbak." ***LS*** Marisa gelisah di mejanya. Hari ini Mbak Tari sudah masuk kerja. Jadi semua tanggung jawab sudah diambil alih olehnya. Marisa tidak punya kesempatan untuk bicara dengan si bos. Bagaimana bisa bicara dengan Daniel untuk mengembalikan uangnya. Mencari tahu rekening pria itu hanya akan menimbulkan permasalahan. Yang pasti staff payroll tahu rekening bosnya. Dia yang memegang semua rekening para karyawan. Tentu salah satu rekening milik Daniel pihak staff payroll pasti tahu. Marisa benar-benar tidak tenang. Walaupun saat lewat di depan mejanya tadi pria itu tidak menoleh sama sekali. Sok tak peduli. Justru malah membuat gadis itu kelimpungan. [Kenapa kamu gelisah?] Sebuah pesan masuk dari Daniel. Pesan sok tahu tentang apa yang dirasakan Marisa. Dengan cepat Marisa mengetik balasan. [Maaf, saya mau mengembalikan uang, Pak Daniel. Saya tidak bisa menerima uang pemberian, Bapak.] [Kenapa?] [Karena saya tidak bisa menerimanya. Uang itu bukan hak saya.] [Kamu takut saya meminta imbalan? Kamu takut saya menuntut sesuatu darimu?] [Maaf, Pak. Saya ingin mengembalikan uang itu. Kirimkan nomer rekening milik Pak Daniel. Saya akan transfer balik uangnya.] Satu menit, dua menit, hingga hampir lima menit ia menunggu tapi tidak ada balasan dari bosnya. Padahal Daniel masih dalam keadaan online. Marisa gelisah sambil mengetik di keyboard komputer dan memperhatikan layar bening di depannya. Pekerjaannya butuh konsentrasi dan harus dikerjakan dengan cepat. Namun permasalahan dengan Daniel mengganggu pikirannya. Tidak lama kemudian Daniel lewat depan meja kerjanya sambil mengancingkan jas hitam yang dipakai. Tak sedikit pun pria itu menatap ke arahnya. Marisa makin gusar. "Sssttt, bagaimana?" tanya Ari lirih sambil melonggok dari batas sekat meja kerjanya. Setelah memastikan si bos masuk ke dalam lift. Marisa menggeleng sambil menunjukkan chat-nya dengan Daniel. Ari membaca sejenak kemudian mengembalikan ponsel temannya. "Mbak Tari tadi membookingkan tiket pesawat untuk Pak Daniel. Katanya beliau akan ke Balikpapan selama dua mingguan." Ari bicara sangat lirih. "Oh ya?" Ari mengangguk, kemudian kembali duduk. Bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu dengan sahabatnya. Takut di dengar oleh rekan sebelahnya. Sambil bekerja, Marisa memperhatikan ponselnya. Tak ada pesan lagi dari Daniel. Dia sendiri tidak berani mengirimkan pesan lebih dulu, takut berada di situasi yang tidak tepat. Jika mengembalikan secara tunai juga kesulitan kapan akan memberikan uang sebanyak itu. Marisa dilema. Namun dia punya waktu dua minggu ini untuk mencari solusi. ***LS*** Matahari sore nyaris tenggelam di langit barat. Lampu-lampu kota juga telah menyala. Marisa masih duduk di halte untuk menunggu angkutan umum. Dari sekian angkot yang berhenti, tidak ada yang menuju ke rumahnya. Mungkin Ari yang pulang dengan motornya telah sampai di rumah. Alamat mereka memang berlawanan arah, makanya tidak bisa saling berboncengan. Marisa mengambil ponsel untuk menghubungi ojek online. Duduk menunggu di sana hanya membuang waktunya saja. Belum sempat ia mengirimkan pesan lewat aplikasi, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Marisa berdecak lirih. Kenapa mobil itu harus parkir tepat di depannya yang menghalangi pandangannya pada angkot yang lewat. Kaca pintu mobil di turunkan. Sosok laki-laki tampak melongok dari dalam. "Marisa, mari kuantarkan pulang," teriaknya. Marisa kaget melihat Aksara yang telah tersenyum padanya. Hatinya mendadak lega sekaligus bahagia. Namun masih sungkan jika harus menerima tawaran pria yang baru ia kenal. "Makasih, Mas. Saya ngrepotin nanti. Biar saya naik angkot saja," tolaknya. Aksara turun dari mobilnya dan menghampiri Marisa. "Nggak apa-apa. Aku juga mau ke rumah kamu. Mau pesan kue untuk acara anak-anak di yayasan minggu depan." Gadis itu seketika berbinar. Orderan adalah rezeki yang tidak boleh ditolak. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Marisa menerima tumpangan dari Aksara dan dia memilih duduk di bangku tengah daripada duduk di samping pria itu. Sebentar saja mereka bisa berbincang dengan akrab. Marisa gadis yang sangat ramah dan menyenangkan. Nalurinya mengatakan, Aksara bukan seperti pria yang memanfaatkan keadaan. Dia sopan dan tidak banyak bicara. Mobil berhenti di ujung gang. Keduanya turun dan berjalan kaki hingga ke rumah. Bu Rahmi kaget saat putri sulungnya pulang bersama seorang laki-laki. Aksara dengan sopan memperkenalkan diri. Marisa juga memberitahu kalau pria ini adik dari wanita yang tempo hari memesan kue yang di antarnya Minggu pagi. "Kamu buatin minum dulu, Ris," suruh Bu Rahmi pada Marisa. Beliau sendiri pamit pada Aksara karena hendak menunaikan salat Maghrib. Gadis itu segera melangkah ke dapur. Rumahnya sepi karena Ziyan dan Najwa biasanya masih ada di mushola setelah mengaji hingga selesai salat Maghrib. Sedangkan Ulfa baru pulang dari kerja part time-nya nanti jam setengah delapan. Di ruang tamu, Aksara memperhatikan rumah yang jauh lebih kecil dari rumahnya. Tapi sangat bersih dan rapi. Di depan rumah ada pohon mangga yang rindang. Juga ada tanaman obat dan bunga. Membuat rumah sederhana itu tampak sejuk dan teduh. Bermula dari pertemuan sore itu, hubungan mereka menjadi lebih akrab. Seminggu setelahnya Aksara sering mengirimkan pesan pada Marisa untuk bertanya kabar. Mereka juga sharing tentang beberapa hal. Perbedaan usia delapan tahun membuat Marisa menemukan sosok yang mengayomi. ***LS*** Pagi itu Marisa telah bersiap di kamarnya dengan dandanan yang berbeda. Hari Minggu ini adalah hari pernikahannya Dimas. Meski bilang tidak apa-apa, nyatanya dadanya bergejolak hebat. Rasa sakit dan sedihnya kembali terasa. "Nggak usah pergi deh, kalau Mbak Risa nggak sanggup," kata Ulfa khawatir saat melihat sang kakak diam di depan cermin. "Mbak tetap akan pergi, Ul. Tadi sudah janjian sama Ari." "Mbak Risa, naik apa? Masa mau naik angkot dandan cakep begini?" "Naik taksi saja nanti." "Kenapa nggak minta tolong di anterin sama calon pacar Mbak itu?" goda Ulfa sambil tersenyum pada kakaknya. "Siapa?" "Mas Aksara." "Dia bukan pacar Mbak." "Iya, tadi kubilang kan calon pacar." "Bisa aja kamu," jawab Marisa kemudian disambut tawa oleh adiknya. "Mbak, ponselmu bunyi itu!" tunjuk Ulfa pada benda pipih yang berpendar di atas meja. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN