Di Antara Dua Pilihan
- Mulai Dekat
Hafsah berjongkok sambil memberikan sebatang cokelat pada bocah kecil yang menggemaskan di depannya. Sekilas dia memandang Marisa yang duduk tak jauh dari Aksara.
Marisa sendiri segera bangkit dari duduknya. "Maaf, Mas. Saya permisi dulu ya. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya pada mbaknya tadi."
Meski tak rela Marisa pergi secepat itu, tapi Aksara hanya bisa mengangguk dan memerhatikan Marisa yang tengah memakai helmnya.
"Mari, Mbak." Marisa mengangguk sopan pada Hafsah. Gadis berjilbab itu tersenyum sambil mengangguk juga. Marisa pergi mengendarai motor matic-nya.
Setelah memberikan cokelat, Hafsah kembali berdiri. Tersenyum sebentar pada Aksara kemudian masuk rumah lewat pintu samping. Dalam hati sempat bertanya-tanya tentang gadis cantik yang duduk bersama Aksara. Rasa nyeri sangat terasa di lubuk hati. Apakah dia kekasih pria yang dikagumi diam-diam? Namun akhirnya lega setelah mendengar dari Mbak Siti, bahwa gadis tadi hanya pengantar kue.
Sementara Aksara masih menemani Ubaidillah makan cokelat. Pandangannya bergantian antara sang keponakan dan jalan depan rumah, di mana Marisa pergi bersama motornya.
Dalam perjalanan pulang, Marisa baru ingat kalau belum tahu nama laki-laki tadi. Bodohnya kenapa tak bertanya? Dibalik kaca helm-nya gadis itu tersenyum. "Dia pria yang sangat menarik. Tapi apa gadis tadi kekasihnya? Sepertinya bukan. Laki-laki itu bersikap sangat biasa dengan kedatangannya." Marisa berspekulasi sendiri.
***LS***
Acara pengajian ibu-ibu muslimah di rumah Bu Arum berjalan lancar dan hampir semua anggota pengajian bisa hadir siang itu. Mahika sendiri tidak canggung berinteraksi dengan mereka. Tak peduli mereka berpikir apa tentang dirinya dan Johan. Yang penting tetap menjaga sikap dan bersilaturahmi dengan tetangga sang mertua.
"Mbak, kenal gadis yang nganterin kue tadi?" tanya Aksara pelan setelah duduk di karpet sebelah Mahika yang sedang memangku Ubaidillah.
Malam itu Mahika memang menginap di sana. Besok pagi-pagi baru pulang.
"Enggak, sih. Yang kenal itu si mbak yang jagain Ubed. Mereka tetanggaan. Dari dia Mbak bisa pesan kue ke ibunya gadis tadi. Kalau nggak salah gadis itu namanya Marisa."
Aksara mengangguk. "Ya, namanya Marisa."
"Kamu kenal dia?"
"Belum lama kenal."
"Kamu suka dia?" Selidik sang kakak ipar sambil tersenyum. Mahika sudah berpengalaman membaca bahasa tubuh orang yang tengah kasmaran. Apalagi terlihat sikap Aksara yang berbeda.
Aksara menatap kakaknya sejenak kemudian beralih ke layar televisi. "Dia punya pacar?"
"Mana Mbak tahu, Sa." Kemudian Mahika menoleh ke arah dapur. Wanita itu berteriak memanggil asisten rumah tangganya yang sedang membantu Mbak Siti membereskan dapur. Saat itu Bu Arum masih salat isya di kamarnya.
"Mbak, duduk sini. Adikku mau tahu tentang Marisa."
Aksara tidak membantah. Dia tetap tenang dan tidak merasa malu.
"O, Mbak Marisa. Dia tetangga saya, Mas. Ibunya yang melayani pesanan kue. Kalau Mbak Marisa sendiri kerja di sebuah perusahaan, tapi saya nggak tahu di perusahaan apa." Si mbak diam sejenak sebelum melanjutkan bicara. "Mbak Marisa ini seperti jadi tulang punggung keluarga sekarang karena bapaknya sudah meninggal dan ketiga adiknya masih butuh biaya. Ketiganya masih sekolah."
"Umurnya berapa dia, Mbak?" Mahika yang bertanya.
"Seumuran adik bungsu saya. Dua puluh enam. Mereka dulu teman sekolah. Tapi adik saya sudah nikah dan punya anak."
"Marisa punya pacar, Mbak?"
Si mbak menggeleng. "Saya nggak tahu, Mas. Yang saya tahu pacarnya akan nikah nggak lama lagi. Nikah dengan gadis lain pilihan orang tua cowok itu."
Mendengar keterangan dari si mbak, perasaan Aksara jauh masuk ke dalam. Rasa tertarik, simpatik, dan kagum berkumpul jadi satu. Marisa terlihat memang sangat berbeda di matanya.
Setelah Mbak pergi, Mahika memandang sang adik ipar. "Gimana? Kamu suka dia?" Tanpa tedeng aling-aling, Mahika langsung to the point bertanya pada Aksara. Wanita itu bisa melihat ada kobaran cinta di mata adik iparnya. Kobar yang telah lama padam. Selama mereka kembali berhubungan baik, Mahika baru kali ini merasakan kalau Aksara sedang kembali jatuh cinta.
Tanpa berpikir lama, pria itu langsung mengangguk pasti. Cerita tentang Marisa tidak menghalanginya untuk mendekati gadis itu.
"Bagaimana dengan Hafsah? Mama sudah berencana untuk melamarnya untukmu."
"Kami belum ada pembicaraan serius mengenai rencana perjodohan itu. Aku juga merasa nggak sepadan dengan keluarga mereka, meski mereka telah memberikan kesempatan. Nanti aku akan bicara sama mama. Hafsah jauh diatasku, Mbak. Aku merasa nggak pantas saja. Sebagai pemimpin rumah tangga, aku merasa rendah jika dia terlalu sempurna."
Mahika mengangguk-angguk. Dia paham maksud adik iparnya.
"Tapi kamu sudah mendengar tentang Marisa yang memiliki banyak beban, kan? Dia punya tanggungjawab terhadap keluarganya. Dia yang paling sulung dan menjadi tumpuan ibunya saat ini."
"Aku paham," jawab Aksara cepat. Selama ini dia banyak berkecimpung di yayasan. Uangnya sudah berapa saja yang ia gunakan untuk keperluan anak-anak di sana. Jadi permasalahan Marisa tidak mengagetkannya. Ia percaya rezeki sudah diatur oleh Allah. Selagi mau berusaha, jalan keluar pasti ada.
Setelah banyak hal ia alami dan terjadi dalam keluarganya. Aksara bisa mengambil inti pehamaan dari apapun yang telah berlaku dan sedang dihadapi.
"Bicarakan dengan mama secara baik-baik, Sa. Mbak yakin, apa yang kamu putuskan tentu telah kamu pertimbangkan."
"Oke."
Sekarang butuh mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan sang mama. Memilih kata-kata yang tidak menyakiti tentunya. Semoga mamanya mengerti dan tidak kecewa.
***LS***
Di kamarnya Marisa berbaring sambil menatap tembok depannya. Hingga jam sebelas malam dia belum bisa terlelap. Sosok Aksara memenuhi ruang hatinya.
"Hati, tolonglah jangan jatuh cinta pada seorang yang mungkin tidak bisa aku miliki lagi. Tolonglah, aku masih ingin sendiri. Aku tak ingin kembali patah hati," batin Marisa sambil tangannya meremas d**a.
Pikiran Marisa bergolak. Antara Aksara yang menarik baginya dan Daniel yang bersikap konyol padanya.
Tidak munafik dia butuh uang. Namun Marisa bisa berpikir jernih. Diberi uang tentu minta imbalannya. Dia makin merinding saat membayangkan imbalan apa yang harus diberikan. Bukan hanya sekedar menerima ajakannya untuk berkencan, tapi lebih dari itu. Tidak. Demi uang ia tidak akan menghalalkan banyak cara. Dia tidak ingin kehilangan kehormatan yang ia jaga selama ini.
"Mbak," panggil Ulfa lirih.
"Mbak Risa, sudah tidur?" tanya sang adik.
"Belum. Ada apa?" Marisa membalikkan badan. Kedua kakak beradik itu sekarang sama-sama terlentang menatap langit-langit kamar.
"Gimana kalau aku berhenti kuliah saja."
Marisa kaget kemudian menoleh pada Ulfa. "Kenapa?"
"Aku kasihan sama, Mbak Risa, sama ibu. Biarlah aku berhenti kuliah dan bekerja. Jadi buruh pabrik juga nggak apa-apa, supaya bisa bantu nyekolahin Ziyan dan Najwa. Aku nggak bisa lagi ngandelin beasiswa karena tahun depan mungkin aku nggak dapat lagi. Nilaiku menurun akhir-akhir ini. Aku nggak bisa konsentrasi belajar dengan situasi seperti ini."
Hening.