Marisa 2

972 Kata
Najwa berjalan riang sambil menggandeng tangan Marisa. Mereka menyusuri trotoar di jalan kecil sepulang dari tempat les. Selesai menonton bersama Ari, Marisa langsung pulang dan turun di tempat les sang adik. Agar bisa menjemput si bungsu untuk pulang bersama. Bocah perempuan itu bercerita tentang sekolahnya hari ini. Najwa sangat bahagia karena nilainya selalu lebih bagus dari teman-temannya. Marisa terharu. Bulian yang selalu dilontarkan oleh teman-teman Najwa, tak membuat adiknya patah semangat dan bermuram durja. Najwa tumbuh ceria meski tidak ada sosok ayah yang mendampingi. Tidak seperti Ziyan yang sekarang menjadi pendiam setelah ayah mereka tiada. Bunyi klakson yang begitu dekat membuat Marisa dan Najwa menoleh. "Om," teriak Najwa saat melihat seorang laki-laki yang berkacamata hitam membuka jendela mobilnya. Marisa tak kalah kaget saat melihatnya. Sedangkan Aksara sudah lebih dulu kaget ketika iseng lewat jalan itu lagi dan melihat gadis kecil yang kemarin ditolongnya sedang bergandengan tangan dengan seseorang yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Makanya ia memelankan kendaraan dan mengikuti. "Mbak, Om itu yang kemarin menolongku," kata Najwa. "Oh ya?" Marisa berhenti. Begitu juga dengan Aksara yang menghentikan kendaraannya. Gadis itu menggandeng sang adik untuk menghampiri Aksara. "Mas, makasih ya. Kemarin nganterin adik saya pulang." "Nggak apa-apa. Itu kebetulan saja karena saya lewat sini. Tak menyangka juga kita bertemu beberapa kali, kan." Marisa mengangguk sambil tersenyum. Kemudian memerhatikan ke dalam mobil Aksara. "Loh, adik kecil tadi mana?" "Sudah saya antar pulang ke rumah ibunya. Dia anak dari kakak saya." "Oh ...," jawab Marisa sambil mengangguk. "Mari pulang bareng saya. Rumah kamu gang depan sana, kan?" "Enggak usah, terima kasih. Udah deket kok," tolak Marisa sopan. "Naiklah. Aku lewat sana juga nanti." Aksara membuka pintu mobilnya. Marisa masih termangu karena merasa asing dengan Aksara. Walaupun beberapa kali sempat bertemu, tapi itu pertemuan yang tidak sengaja. "Ayolah! Kenapa ragu. Apa aku terlihat seperti orang jahat?" Marisa tersenyum. Zaman sekarang ini buaya pun terlihat sangat atletis dan tampan. Banyak uang pula. Seperti bosnya yang terlihat dingin dan seperti enggan menatap perempuan lain, nyatanya punya pemikiran konyol ingin menjadikannya wanita simpanan. "Oke, saya nggak maksa. Kalau boleh tahu namamu siapa?" "Marisa." Oh jadi ini kakak yang kemarin disebut oleh gadis kecil itu. Gadis kecil yang sekarang menatapnya kagum. "Nanti kalau kita nggak sengaja bertemu, saya akan menyapamu." Marisa mengangguk. Kemudian izin jalan dulu bersama sang adik. Seperti kemarin, Aksara mengikuti hingga kedua kakak beradik itu sampai di gang rumah mereka. "Terima kasih, Mas," ucap Marisa ketika mereka berpisah di depan gang. Aksara mengangguk lantas melaju pergi. Marisa menepuk jidatnya sendiri, kenapa ia lupa menanyakan nama pria itu? ***LS*** Malam itu Aksara duduk menonton televisi berdua bersama sang mama. Awalnya Bu Arum bertanya mengenai sang cucu yang tadi diajak jalan oleh putranya. "Besok Mbak Mahika ke sini, Ma." "Iya, tadi dia sudah menelepon. Mama bilang kalau siang mau ada pengajian ibu-ibu di rumah kita." "Mama, serius mau melamar Hafsah?" tanya Aksara tidak sabar setelah beberapa hari ini tidak sempat menanyakan pada sang mama. "Sebenarnya sejak dulu mama dan papamu nggak pernah ikut campur soal gadis mana yang ingin kalian pilih sebagai istri. Mama nggak pilih-pilih menantu, Sa. Tapi sekarang mama kepikiran karena mama makin tua dan kamu nggak segera menikah. Udah beberapa tahun ini nggak pernah kamu kenalkan seorang perempuan pada mama." Bu Arum diam mengambil jeda, kemudian kembali bicara. "Hafsah gadis yang baik. Kita juga berhutang budi pada keluarga Pak Abdul Qodir. Mereka yang banyak berjasa pada kita saja merendah bilang ingin mengambilmu sebagai menantu, apa kita tega menolaknya? Mereka nggak mempermasalahkan kasus yang menimpa keluarga kita." Hening. Aksara menatap lurus ke layar televisi. Lawakan konyol di sana tak bisa memancing tawanya. Hatinya dalam dilema. Orang bilang 'tresno jalaran soko kulino'. Apa itu berlaku baginya? Setelah patah hati dari Delia, Aksara mencoba menjalin hubungan dengan gadis lain. Nyatanya cinta tetap tidak bisa dipaksa. Dan dia tidak ingin pada akhirnya akan melukai Hafsah. Sementara sekarang ada sosok lain yang kembali bisa mengetuk hatinya setelah kehilangan Delia. Walaupun dia belum mengenal baik siapa gadis itu. Dan tidak tahu apakah dia juga punya rasa yang sama atau tidak. Namun Aksara tidak ingin melukai perempuan lagi setelah ia putus dengan kekasihnya. Bagi Aksara, cinta itu diperlukan untuk memulai sebuah hubungan. Semalaman Aksara nyaris tidak bisa tidur. Ia kepikiran percakapan dengan sang mama. Benarkah ini titik final dia harus menyerah? ***LS*** Matahari pagi telah beranjak naik. Aksara bermandi keringat setelah joging di halaman samping rumahnya. Sesekali ia tersenyum dan menyapa ramah pada tetangga yang datang untuk membantu mamanya memasak di dapur. Sudah dua tahunan ini para tetangga bersikap seperti biasa lagi setelah kasus Johan tujuh tahun yang lalu. Dia memandang mobil Mahika yang memasuki halaman rumah. Setelah mobil berhenti Aksara mendekat. Membuka pintu untuk menyambut jagoan kecil yang selalu lengket dengannya. "Aksa, nanti kalau ada yang nganterin kue panggil Mbak di belakang, ya. Kemarin Mbak pesen kue dan langsung Mbak suruh antar ke rumah mama." Mahika bicara pada Aksara. "Ya, Mbak." Mahika dan ART-nya yang ikut serta langsung masuk ke dalam rumah. Aksara bermain dengan Ubaidillah di halaman. Tidak lama kemudian datang sepeda motor yang membawa kardus besar di boncengan. Aksara kaget saat gadis itu membuka helm. Marisa tersenyum ramah dan menyapanya. "Mas, ini rumah, Mas?" tanya Marisa sambil turun dari motor. Aksara tersenyum. "Ya." "Saya mau nganterin pesenan kue atas nama Bu Mahika." "Iya. Dia kakak saya." Aksara memanggil Mbak Siti yang ada di samping rumah untuk memanggilkan Mahika. Wanita itu keluar dan memberikan pembayaran pada Marisa. Mbak Siti yang membantu Mahika mengangkat kardus masuk ke dalam rumah. Aksara menahan dan mengajak Marisa berbincang-bincang sejenak. Dari sini akhirnya dia tahu Marisa kerja di mana. Dia gadis yang sopan dan gampang bergaul. Ubaidillah juga akrab dengannya. Tak lama kemudian datang Bu Abdul bersama dengan Hafsah. Gadis bertudung cokelat itu tersenyum ramah pada Aksara dan Marisa. "Ubed, sini. Tante punya cokelat untukmu," panggil Hafsah pada Ubaidillah yang langsung berlari menghampiri. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN