Di Antara Dua Pilihan
- Marisa
Sambil sesekali menatap ke arah Marisa, Aksara meladeni perkataan Ubed yang tengah makan puding. Tadi dia sudah menyuapi bocah kecil itu makan bakso. Sabtu ini dia lembur setengah hari dan langsung menjemput sang keponakan ke rumahnya. Sebab tadi malam Mahika menelepon, karena Ubaidillah minta diajak ke kid zone. Diajak sang ibu sendiri tidak mau dan memilih Aksara yang menemani.
Aksara sudah terbiasa mengajak keponakannya sendirian untuk jalan-jalan atau membeli mainan. Dia tidak kaku meski belum pernah memiliki anak sendiri.
Sebisa mungkin Aksara akan menjadi sosok yang membuat Ubaidillah tidak kehilangan figur ayah. Semoga tak lama lagi kakaknya akan terbebas dari penjara.
Marisa yang menoleh bersitatap dengan Ubed yang memandang ke arahnya. Marisa tersenyum, ingat kalau dia bocah yang menabraknya beberapa hari yang lalu. "Ar, itu anak kecil yang menabrakku waktu di ITC, kan?"
Ari menoleh, turut memperhatikan. "Iya. Ih, ganteng bingit. Tapi mana mamanya, waktu kita jumpa kemarin juga berdua saja dengan papanya."
Marisa menggedikkan bahu. Kemudian melambaikan tangan dan tersenyum pada bocah kecil yang menatapnya sambil mulutnya komat-kamit mengunyah makanan. Pada saat yang bersamaan, Aksara memandangnya. Marisa mengangguk sopan sambil menangkupkan tangan di d**a. Sebagai tanda meminta maaf karena telah mengganggu anaknya, itu pikiran Marisa.
Setelahnya mereka kembali sibuk di atas meja masing-masing.
"Kamu ini senyam-senyum. Dikira genit sama bapaknya. Entar emak anak itu tahu, kamu bisa dilabraknya. Belum kelar urusan Pak Daniel, ketambahan ini pula," tegur Ari.
"Aku cuman godain anaknya," bantah Marisa.
"Ar, apa tampangku ini seperti perempuan penggoda?"
Ari menatap sahabatnya. "Nggaklah. Pak Daniel aja yang kegenitan sama kamu. Istrinya juga cantik sebenarnya."
Marisa berdecak lirih kemudian melihat ke arah jam tangannya. "Masih sejam lagi kita nunggu. Mau ke mana dulu sekarang. Duduk kelamaan di sini nggak enak sama yang punya kedai."
"Ikut aku saja. Beliin kaos buat Mas Yoyok."
Marisa mengikuti ajakan Ari. Keduanya pergi meninggalkan foodcourt tanpa menoleh lagi pada Aksara dan Ubed. Marisa khawatir dengan ucapan Ari tadi kalau menjadi kenyataan. Bagaimana jika istrinya laki-laki itu tahu. Bisa berabe. Dia sedang berusaha menghindari si bosnya, eh sekarang malah menciptakan perkara meski itu bukan tujuannya. Marisa hanya merasa gemas pada bocah laki-laki itu.
Keduanya masuk sebuah toko pakaian pria. Marisa menemani Ari memilih pakaian untuk calon suaminya. Meski diam, pikiran Marisa tak tenang. Uang yang di transfer Daniel membuatnya ketakutan. Dia harus mencari cara bicara dengan pria itu. Tapi kalau Mbak Tari sudah masuk kerja, bagaimana bisa ia menemui Daniel tanpa alasan. Kalau mengirimkan pesan sekarang, takut diketahui istrinya. Siapa tahu maksud baiknya ternyata pas disaat yang sial. Takut dituduh dia ada affair dengan Daniel.
Disisi lain hatinya, Marisa harus menyiapkan mental untuk menghadiri pernikahan Dimas. Lelaki yang pernah sangat dicintainya, yang pernah membangun impian untuk hidup bersama, tapi tak lama lagi dia akan bergelar suami orang. Semenjak putus, Marisa sudah memblokir nomer ponsel dan akun media sosial laki-laki itu.
Ari dibiarkannya memilih kaos sendiri. Meski tubuhnya sangat berisi, tapi selera fashion Ari jauh lebih bagus dari Marisa. Sambil menunggu Marisa duduk di sofa puff yang tersedia di sana. Sebab dia sudah hafal dengan temannya, Ari bisa memakan waktu lama untuk memilih apa yang tengah diinginkannya.
Dari pintu kaca yang terbuka, Marisa melihat pria di kedai bakso tadi masuk sambil menggendong bocah lelakinya.
Aksara tercekat sesaat saat bersipandang dengan Marisa. Entah kebetulan atau apa, dia berserempak beberapa kali dengan gadis yang sering dicarinya di dalam angkot.
"Mau cari apa, Mas?" tanya ramah pramuniaga pria yang menghampiri Aksara.
"Cari celana jeans yang warna biru dongker, Mas."
"Mari sini, Mas!" Pemuda berseragam biru itu mengajak Aksara masuk ke bagian dalam. Marisa memperhatikan langkah mereka karena bocah lelaki itu terus menatapnya dari balik pundak si om.
Tak lama kemudian sang pramuniaga membawakan dua buah celana menuju meja kasir. Aksara mengikuti sambil menggendong Ubed.
"Apa nggak dicoba aja dulu, Mas. Takutnya nanti nggak muat," tanya penjaga kasir.
"Enggak, Mbak. Saya rasa itu sudah pas buat saya," tolak Aksara karena dia tidak tega meninggalkan sang keponakan di luar kamar ganti.
"Sayang banget udah mahal kalau nanti nggak muat, Mas. Kami nggak menerima penukaran barang soalnya." Pramuniaga itu menjelaskan dengan sopan. "Beda merk terkadang juga selisih meski ukurannya sama," tambahnya lagi.
"Baiklah, saya coba." Aksara mengambil dua celana tadi dan menuju ruang ganti baju. Dia masuk sekalian dengan sang keponakan.
Semua yang Aksara lakukan diperhatikan oleh Marisa. "Lelaki itu tidak tega meninggalkan anaknya di luar sendirian," batinnya. Marisa menatap keluar. Memang tak ada perempuan yang mengikuti mereka. Diam-diam dia kagum pada lelaki yang tak canggung momong anaknya sendirian di tempat umum. Apalagi anaknya masih sangat kecil.
Tak lama Aksara keluar kamar fitting sambil menggandeng Ubed. "Om bayar dulu, ya. Setelah itu kita beli mainan," tutur Aksara pada keponakannya. Ubaidillah mengangguk.
Om? Marisa dengan jelas mendengar ucapan Aksara. Jadi, bocah itu bukan anaknya?
Pada saat yang bersamaan, Ari selesai memilih pakaian dan segera membayarnya ke kasir.
Akhirnya pertemuan itu berlalu begitu saja. Aksara sendiri tidak ingin gegabah bertindak. Meski Marisa sangat menarik perhatiannya.
***LS***