Bab 6. Sudah Takdir

1116 Kata
Happy Reading Dila masih kepikiran dengan ucapan Sophia tentang Shaka. Apa benar mantan suaminya itu dulu menyesal setelah berpisah dengannya? "Ah, apaan sih! Kenapa gue jadi kepikiran itu terus?!" Dila menggetok kepalanya dengan pulpen yang dia bawa. "Mending pulang aja, udah jam 5. Eh, Dika katanya mau ngajak gue ke suatu tempat. Gue telepon aja deh, jadi nggak?" Dila memutuskan untuk menghubungi sahabat sekaligus atasannya itu. Kebetulan tadi dia pergi ke kantor tidak membawa mobil karena sedang diperbaiki di bengkel. "Halo, Dik. Jadi nggak?" "Hai sweet, jadi donk." "Bisa nggak sih manggilnya Dila aja, aku geli tahu kamu panggil kayak gitu!" "Ya gimana donk, kan udah dari dulu juga manggilnya gitu." "Ya udah, oke-oke terserah! Tapi kalau di depan umum itu larangan!" "Oke sweet, tenang aja. Sekarang kamu siap-siap, kita ketemu di bawah, ya. Aku mau ngajakin kamu ke suatu tempat." "Ya udah, ini juga lagi beres-beres." Setelah mematikan teleponnya, Dila langsung membereskan meja kerjanya. *** "Mau kemana? Makan?" tanya Dila saat Dika memutar mobilnya masuk ke kawasan belanja elite. Berjejer toko-toko mulai dari toko perhiasan, pakaian, pernak-pernik, dan ada juga beberapa restoran mewah. Dika masih diam saja sampai dia memarkirkan mobilnya di sebuah toko yang lumayan besar. Dila menatap Dika dengan menaikan sebelah alisnya. "Ayo kita keluar," ucap Dika membuka pintu mobil dan langsung keluar diikuti Dila. "Kamu mau membeli baju?" tanya Dila saat dia diajak sahabatnya itu masuk ke sebuah toko pakaian. "Iya, aku mau membeli baju, bukan untukku tapi untuk kamu," jawab Dika. Dila berhenti dan menatap pria itu. "Nggak usah, dik. Pakaian ku masih banyak," ujar Dila menolak. "Ayolah, aku hanya ingin membelikanmu baju, mumpung besok adalah ulang tahunku jadi aku hanya ingin mentraktir sahabatku ini, jadi kamu harus terima dan tidak ada penolakan," jawab Dika memaksa. "Tapi—" "Tidak ada tapi-tapian, pokoknya kamu harus nurut. Aku tahu baju-baju kamu banyak. Tapi aku pengen beliin buat kamu." Dila menghela napas, memang sejak dulu Dika selalu bisa menyenangkan hatinya, pria yang dulu begitu dekat Dila saat SMA hanya Dika saja. Dila pun pasrah. Wanita itu hanya menurut dan tidak bisa membantah lagi. Dika menyuruh salah seorang pegawai untuk memilihkan dress yang kekinian. Kemudian dia juga memilihkan sepatu dan heels yang sesuai dengan ukuran Dila. Tidak lupa ada beberapa tas wanita cantik dari berbagai merek ternama. Dika menyuruh pegawai toko itu untuk membungkus semuanya yang telah dicoba Dila. "Udah, cukup Dika." "Iya, ini besok kamu pakai pas kita ke Lombok untuk meninjau lokasi proyek," ujar Dika menyerahkan kartu hitam pada pegawai toko. Dila mendengus. Memangnya dia kekurangan baju sampai harus dibelikan segala. Dila tahu kalau pakaiannya memang biasa saja, maksudnya bukan dari brand ternama atau merek terkenal. Tetapi masih sangat layak dipakai jika harus menemani Dika yang memang semua pakaiannya dari designer terkenal. "Makasih, ya." "Kamu jangan tersinggung loh, aku memang ingin beliin kamu, jadi jangan berpikir yang enggak-enggak," ujar Dika. "Iya-iya, aku paham." Di saat perjalanan pulang, dila menggerutu sedari tadi, wanita itu benar-benar merasa sahabatnya ini terlalu berlebihan. "Ayolah Dila, aku kan hanya ingin ngasih pajak karena besok aku ulang tahun," ucap Dika. "Tapi jangan terlalu berlebihan seperti ini, aku kan jadi nggak enak sama kamu," jawab Dila. "Dibikin biasa aja, manis." Dila berdecak lagi. Tetapi kali ini dia diam tidak menggerutu. Mereka saat ini sudah dalam perjalanan pulang. "Oh ya, aku mau mampir ke rumah ibu. Anter aku ke sana aja." Dika menoleh, kemudian mengangguk. Dika sudah hapal di mana rumah ibunya Dila dan dia pun langsung meluncur ke sana. Setelah sampai di depan rumah ibunya, Dila langsung mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabatnya itu. "Jangan mengucapkan terima kasih terus, ini semua juga karena keinginanku sendiri, sudahlah tidak usah terlalu sungkan, kalau begitu aku pulang dulu, ya? Salam buat Tante." "Baiklah, hati-hati di jalan," ucap Dila melambaikan tangan. "Siap, sweet." Kemudian Dika pergi melajukan mobilnya dari halaman rumah minimalis itu. Dila menghela napas, kemudian dia masuk ke dalam rumah dengan menenteng beberapa paper bag berisi barang belanjaan yang dibelikan oleh Dika. Ibu Dila yang bernama Nara melihat putrinya masuk dan kaget saat melihat putrinya membawa banyak paper bag. "Kamu gajian?" tanya Bu Nara. "Nggak, Bu. Ini tadi dibeliin sama Dika. Bu Nara tersenyum senang mendengar hal itu. "Apa kalian sudah berpacaran?" tanya sang ibu. Dila terkejut mendengar pertanyaan ibunya. Kemudian Dila tertawa kecil. Ibunya ini selalu memintanya untuk menikah lagi setelah beberapa tahun bercerai. Dulu sang ibu sering sekali mengenalkan anak-anak dari kenalannya, tetapi tidak ada yang cocok. Dila masih malas untuk membuka hati kembali. Dia masih trauma mencintai seorang laki-laki. "Bu, aku dan Dika tidak ada hubungan apa-apa, kami hanya berteman. Dika sudah seperti kakakku sendiri," ujar Dila meletakkan paper bag itu di atas sofa. "Sayang, seandainya saja dulu mantan suamimu seperti Dika, pasti saat ini kalian masih bersama," ucap Bu Nara sendu. Tentu dia masih merasa bersalah karena menerima perjodohan yang dilayangkan oleh Pak Revan–kakeknya Arshaka. "Bu, sudahlah. Tidak usah menyesali semuanya, ini sudah takdirku dan aku juga bersyukur bisa menjadi seperti ini sekarang. saat ini yang aku inginkan hanyalah bekerja keras agar kehidupan kita bisa lebih baik," ucap Dila menatap ke arah ibunya. Dila tahu jika sebenarnya ibunya sangat merasa bersalah, tetapi Dila juga tidak pernah menyalahkan sang ibu. Menurut Dila semua itu sudah takdirnya dan dia juga tidak menyesal pernah mencintai Shaka. Hanya saja, sekarang dia sulit untuk membuka hati lagi. Bu Nara memeluk putrinya itu dan mengelus punggung Dila, memberi semangat atas kesabaran dan ketulusan Dila. "Maafkan Ibu ya, nak. Semoga suatu saat nanti kamu bisa mendapatkan jodoh yang lebih baik. Ibu hanya bisa mendoakan, jangan sampai kamu seperti ibu," ujar Bu Nara. "Iya Bu. Doakan saja, Dila." *** Di sisi lain. "Ferdy, Minggu depan kamu ikut ke Lombok," ujar Dika menatap berkas-berkas yang ada di tangannya. "Loh, bukannya Anita yang akan ikut, Bos?" "Kamu bilang ke dia, suruh stay di kantor. Kamu yang aku butuhkan untuk menemani," jawab Shaka. Ferdy mengerutkan keningnya. "Tapi kan persetujuannya kamu pergi sama Anita, Bos. Kenapa malah jadi sama aku?" Shaka melototi asisten pribadinya. "Kamu mau gaji dipotong?" "E-enggak Bos, jangan gitulah. Oke, nanti aku bilang sama Anita. Tapi kenapa bukan Bos sendiri yang bilang?" "Sekali lagi kamu tanya, langsung saya suruh Pak Iwan potong gaji—" "Iya Bos, Iya. Yaelah, kenapa sih jadi sensitif gini," gerutu Ferdy berjalan ke arah pintu ruang kerja Shaka. "Satu lagi, referensi hotel yang kamarnya bersisian sama klien kita nanti." Ferdy melongo, tetapi tidak berani berkomentar. Takut gajinya dipotong 50% lagi sama Shaka. "Baik, Bos." Ferdy akhirnya keluar dari dalam ruang kerja atasannya. Mereka berdua memang lembur dan belum pulang padahal sudah jam 7 malam. Shaka di dalam ruangan senyum-senyum sendiri. Ada banyak sekali ide yang ada di dalam kepalanya. Bukan ide masalah pengerjaan proyek, tetapi ide yang lain. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN