10

3284 Kata
Angin berhembus pelan tetapi hawa panas masih saja terasa saat kami sudah tiba di Bandara Juanda, Surabaya. Cuaca disini, terutawa suhu udaranya, keadaannya, sangat jauh berbeda dengan kota dingin dan sejuk yang selama ini aku tinggali. "Panas banget!" keluh Adam begitu kami keluar dari pintu kedatangan domestik. "Ini dimana sih? Gerah!" imbuh Adam lagi sambil menyeka keringat di keningnya. "Kamu amnesia, Dam? Kita di Surabaya!" jawabku. Adam manyun. "Panas banget dah, kenapa kita harus kesini sih?" gerutu Adam kesal. Aku menghela napas ringan lalu kutepuk pundak Adam pelan. "Jangan mengeluh begitu, kita memang harus kesini jika tidak ingin mati muda!" ucapku. Adam mendecih kesal lalu menatapku dengan ekor matanya dengan tatapan sinis. "Ini salahmu!" tudingnya padaku. Aku menautkan alisku. "Bagaimana bisa ini salahku huh?" tanyaku setengah protes. Adam menghela napas sambil menggeser sedikit rambut bagian depannya yang panjang ke pinggir. "Dengar, Tika! Rio sudah memperingatkan kamu sebelumnya untuk jangan memilih klien yang merepotkan. Kamu mengiyakannya tetapi lihat apa yang kamu lakukan?" Adam mulai mengomel. "Kamu memilih klien yang sedang koma, membuatku menggunakan kekuatanku pada banyak orang tidak berdosa serta membuat Rio mengeluarkan uang untuk membelikan kita tiket. Namun, yang paling s**l dari semuanya adalah aku harus pergi bersamanya!" kata Adam sambil menunjuk kesal pada kak Deden. Aku melirik kak Deden dan kakakku yang bisa membaca pikiran itu terlihat santai. Dia hanya mengenggam erat koper miliknya sambil memasang kacamata hitam. "Kak," panggilku. Kak Deden menoleh. "Ada apa, Tika?" tanya kak Deden. "Kita kesini untuk mencari orang, bukan liburan!" kataku mengingatkan. Kak Deden tersenyum tipis. "Aku tahu," sahutnya santai. "Kalau tahu, untuk apa kakak bawa dua koper besar?" sindirku. Kak Deden lagi-lagi hanya tersenyum tipis. "Ini adalah perlengkapan yang kakak butuhkan untuk proses pencarian kita," jawab kak Deden. "Huh? Isinya apa?" tanyaku penasaran. "Semua barang yang mendukung penampilanku agar tetap ganteng!" jawab kak Deden sombong. "PD gila!" sahutku sewot. "Kamu sendiri, bawa satu koper besar! Isinya apa coba? Pasti kamu mau bilang kalau itu semua adalah perlengkapan yang kamu butuhkan kan? Cewek emang ribet!" kata kak Deden setengah menyindir. Aku mendecih kesal lalu perlahan menyeret koperku. "Mau kemana, Tik?" tanya kak Deden. "Mulai mencari target!" jawabku. "Tunggu aku!" seru Adam lalu berlari menyusulku. Kulirik dia, cowok pendek tetapi imut yang suka meninggikan nama kaumnya itu malah hanya membawa sebuah ransel yang sepertinya tipis ( sedikit isinya ). Dia bahkan bergaya santai, terlalu santai. Adam memakai kaos pendek dengan jaket, celana pendek dan sandal. Rambutnya yang agak panjang hanya dia ikat sedikit agar tidak menyentuh matanya. Kami naik taxi meninggalkan bandara dan langsung menuju panti asuhan Bunda yang sudah kucari alamatnya lebih dulu sebelum terbang ke Surabaya. Walau aku belum tahu apakah lokasi panti asuhan itu masih sama atau tidak, panti asuhan itu masih berdiri atau tidak, aku harus tetap kesana. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya kami tiba di tujuan. Kami keluar dari taxi dengan tatapan kecewa. "Tik, beneran di sini?" tanya Adam ragu. Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. "Berdasarkan informasi yang kucari, memang di sini!" jawabku. Kak Deden menghela napas panjang. "Tik, kamu bercanda? Ini bukan panti asuhan. Tetapi kuburan!" sanggah kak Deden. Aku menghembuskan napas ringan. "Aku tahu, aku sudah lihat! Tapi di penglihatanku, ini panti asuhan dulu!" Adam menepuk jidatnya. "Beneran s**l. Kita pasti mati kali ini!" kata Adam kecewa. "Lantas, bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan?" tanya kak Deden sambil menatapku dengan wajah bingung. "Kita tanya orang yang tinggal disini saja, kak! Aku yakin pasti akan ada seseorang yang bisa memberi kita petunjuk!" usulku. Kak Deden melirik Adam. "Baiklah, tapi aku tidak mau pergi dengannya!" tolak kak Deden tegas. "Baiklah, kita berpencar saja. Kakak ke arah sana!" tunjukku pada jalan sebelah kanan. "Dam, kamu kesana!" suruhku pada arah sebaliknya. "Oke, lantas kamu kemana?" tanya Adam. "Aku akan mengikuti kemana aku pergi. Ingat! Tanyakan pada setiap rumah barangkali ada yang tahu keberadaan cinta pertama kak Ve," ucapku memperingatkan mereka. Kak Deden dan Adam mengangguk. "Tik," panggil kak Deden. "Ya?" sahutku. "Ciri-ciri atau nama cinta pertama Ve itu bagaimana?" tanya kak Deden. Aku menepuk jidatku ringan. "Oh iya, lupa!" "Hm, kamu ini. Bagaimana kita tahu siapa yang kita cari kalau begitu," ujar Adam. "Dih, daritadi juga kamu tidak bertanya tuh!" sindirku. "Sudah, jangan berantem! Cepat katakan!" lerai kak Deden. "Namanya Dimas, di penglihatanku dia seorang anak lelaki yang imut, manis dan ramah. Dia memiliki hidung yang mancung, alis yang tebal dan mata bulat yang indah!" jelasku. Kak Deden dan Adam garuk-garuk kepala mereka. "Tik, susah jika mencarinya begitu," ucap Adam. "Ada ciri khusus?" tanya kak Deden. Aku menggeleng pelan. "Tidak ada. Coba tanyakan saja, tentang keberadaan Dimas yang berasal dari panti Asuhan Bunda ini!" usulku. "Baiklah!" kata kak Deden setuju. "Kita berpencar dan apapun hasilnya kita ketemu disini lagi setelah 1 jam!" kataku. Kak Deden dan Adam mengangguk tanda mereka mengerti. Mereka berdua pun mulai berjalan sesuai arah yang kuusulkan. Selepas kedua cowok itu pergi, aku memandang tajam ke arah panti asuhan yang kini bangunannya sudah rata dengan tanah dan berganti menjadi komplek pemakaman. "Neng!" Aku tersentak kaget dan menoleh pada seseorang yang menepuk pundakku pelan. Kupandangi seorang lelaki setengah baya yang tengah memandangku dengan tatapan penasaran yang amat sangat. "Neng lapo nek kene (Nona sedang apa di sini)?" tanyanya. Aku menggaruk-garuk kepalaku. "Heh?" kataku tidak paham. Lelaki itu tersenyum ramah. "Bukan orang Surabaya ya?" tebaknya. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, Pak!" Lelaki itu tersenyum lagi. "Darimana?" tanyanya. "Padang, Pak! Sumatera Barat!" jawabku. "Jauh ya," Aku mengangguk. "Kalau begitu, ada apa kesini? Mencari seseorang?" tanyanya lagi. Aku mengangguk. "Bapak tahu sesuatu tentang panti asuhan di sini?" tanyaku. Lelaki itu mengerutkan keningnya. "Ah, panti asuhan yang dulu di sini?" tanyanya mulai memahami jalan pembicaraan kami. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, Pak! Saya mencari seseorang dari panti asuhan ini!" kataku menjelaskan. "Siapa? Saya dulu sempat bekerja di panti Asuhan Bunda," kata lelaki itu. "Benarkah?" tanyaku dengan senyuman lebar. Lelaki paruh baya itu mengangguk mengiyakan. "Tentu saja benar, neng tidak lihat betapa banyaknya rambut putih yang saya punya?" jawab lelaki itu meyakinkan. Aku tergelak dengan gurauan dari lelaki itu. "Bukan begitu, kalau begitu apa bapak tahu mengenal atau pernah tahu mengenai salah satu anak panti bernama Dimas?" tanyaku. Lelaki paruh baya itu tampak terdiam, sedang berpikir dan mengingat-ngingat tentang 'Dimas' yang kumaksud. "Dimas ya, setahu bapak Dimas itu sedang berada di rumah sakit!" kata lelaki itu memberikan informasi. "Heh?" seruku kaget. "Dimas sudah lama sakit jantung dan saya dengar dia akan dioperasi jantung hari ini!" kata lelaki paruh baya itu menimpali. Aku ternganga. "Operasi jantung, Pak? Bapak yakin itu Dimas yang dulu tinggal di panti asuhan Bunda?" tanyaku ragu. Lelaki itu mengangguk pasti. "Bapak sangat yakin," Aku mengucapkan terimakasih pada lelaki itu setelah mendapatkan informasi tempat Dimas dirawat dan akan di operasi. Setelah itu aku meraih handphone milikku lantas menelpon kak Deden dan Adam secara bergantian. "Kamu dimana? Segera kembali ke titik awal! Aku sudah berhasil menemukan petunjuk tentang Dimas!" *** Author's Pov Tika, Adam dan Deden sedang berdiri menatap sebuah kamar yang berada tepat di depan mereka. Ketiganya terlihat bimbang, terutama Tika. Gadis manis itu tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Dia sangat dilema. Tika memang sangat berharap bahwa Dimas yang ada di ruangan itu adalah orang yang dia cari. Namun, jika memang benar begitu, dia memiliki masalah baru. Jika benar dia Dimas yang dicarinya, maka dia akan gagal melaksanakan misinya. Karena besok Dimas akan dioperasi. Itu artinya dia akan mati. Jika Dimas yang di ruangan itu bukan Dimas yang dia cari, dia juga akan mati. Karena dia juga gagal menjalankan misinya. Sungguh sebuah dilema yang menyebalkan. "Oi, Tik!" tegur Adam. "Ho?" "Kita sudah berdiri lebih dari 30 menit, kakiku kram!" protes Adam. "Aku juga, kakiku kesemutan dan sejak tadi kita sudah menarik perhatian banyak orang!" Deden menimpali. Tika menghela napas panjang. "Baiklah," kata Tika lalu meletakkan tangannya di knop pintu. "Putar, Tik!" suruh Deden. "Aku takut!" sahut Tika dengan cemas. "Hah? Kamu minta dibanting?" kata Adam kesal. Tika mengerucutkan bibirnya. "Bagaimana kalau itu Dimas yang kita cari?" tanya Tika. "Ya baguslah, kita menemukannya!" jawab Adam santai. "Tapi, bukankah itu artinya aku akan gagal menjalankan misi?" tanya Tika lagi. "Kamu takut mati?" tebak Adam. "Apakah ada manusia di dunia ini yang tidak takut mati?" tanya Tika balik. Adam terkekeh. "Ada, dia!" jawab Adam sambil menunjuk Deden. Deden manyun. "Diam kamu, boncel!" ledek Deden pada Adam. "Siapa yang kamu bilang boncel, Jerapah!" balas Adam. "Kamu! Dasar boncel!" sahut Deden. Adam mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Ka-," "Hentikan! Ini rumah sakit, jangan bertengkar di sini!" Suara larangan itu tanpa sengaja telah melerai Adam dan Deden yang nyaris bertengkar. Keduanya terdiam dalam sekejap. Tika sebagai satu-satunya manusia yang cukup normal segera mengambil tindakan. "Maaf, suster!" katanya merasa tidak enak. "Tidak apa-apa," sahut wanita berseragam putih yang ternyata seorang perawat itu. "Apa kalian ingin menemui Dimas?" tanyanya. Tika mengangguk cepat. "Benar, boleh kah kami menjenguknya?" tanya Tika. Perawat itu tersenyum lalu mengangguk. "Boleh saja, masuklah! Tapi ingat jangan membuat keributan!" kata perawat itu sambil mempersilahkan ketiga orang itu masuk ke dalam. "Baik, suster!" ujar Tika. Ketiga orang itu pun masuk ke dalam dan Tika terdiam melihat seorang lelaki yang sedang duduk di kasurnya dengan wajah yang tertunduk lemas. Wajahnya menunjukkan sebuah keputusasaan yang nyaris tidak bisa disembunyikan lagi. Tika mendekat dan tersenyum setelah berada di depan lelaki itu. "Apa kamu Dimas?" tanyanya langsung. Lelaki itu terpaku. Namun beberapa detik kemudian dia menganggukkan kecil kepalanya. "Aku Tika," kata Tika memperkenalkan diri. "Ini Adam, dan itu kak Deden!" imbuh Tika memperkenalkan kedua lelaki yang juga ikut bersamanya. "Kalian siapa?" tanya Dimas. "Kami datang kesini untuk menemuimu," kata Tika tanpa menjawab pertanyaan Dimas. "Mengapa?" tanya Dimas heran. "Ada seseorang yang ingin menemuimu," jawab Tika. "Siapa?" tanya Dimas lagi. "Ka-," "Kamu kan, Tik!" celetuk Deden dengan segera. "Heh?" seru Tika kaget. Deden mendekat dan tersenyum pada Tika. "Kamu yang bilang bukan, kalau kamu jatuh cinta pada pandangan pertama dan ingin menemui Dimas. Kamu bahkan membuat kami ikut, benar-benar sebuah cinta yang rumit!" "Hah?!!" Adam ikutan-ikutan berseru. Lelaki ganteng bertubuh pendek itu mengerutkan keningnya. "Kamu bilang ap-," "Adow!!" pekik Adam kesakitan saat Deden dengan kecepatan cahaya telah berdiri di dekatnya dan mencubit keras pinggangnya. "Apa yang ka-," "Jangan banyak membantah. Ikuti saja apa yang sedang aku pentaskan!" bisik Deden pada Adam. Adam seketika diam dan menoleh pada Dimas. "Benar, Tika datang kesini untuk bertemu denganmu!" kata Adam. "Iya kan, Tika?" tanya Adam sambil tersenyum licik pada Tika. Tika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, bingung. "Benarkah itu?" tanya Dimas dengan antusias. Matanya berbinar-binar sambil menatap Tika. Tika menghela napas panjang dan memaksakan dirinya tersenyum. "Iya, aku kesini karena jatuh cinta padamu. Jadi, lakukan saja operasinya besok dan bahkan jika kami bertiga mati, itu bukan salahmu!" ucap Tika lalu keluar dari ruangan itu. Deden melirik Adam dan keduanya tersenyum canggung pada Dimas yang sedang memperhatikan mereka berdua. "Apa dia marah?" tanya Dimas polos. "Tidak! Dia hanya kelebihan hormon saja!" jawab Adam. "Temani dia! Aku akan bicara dengan Tika dulu!" suruh Deden setengah berbisik. Adam mengangguk pelan. "Baiklah!" Deden pun keluar dari ruangan dan segera menyusul Tika. "Tik! Tika!" panggil Deden pada Tika yang berjalan cepat dengan wajah merah karena menahan amarah. "Oi, Tik!" seru Deden lagi. Lelaki itu mempercepat langkahnya dan menangkap lengan Tika sehingga gadis itu mau tidak mau akhirnya berhenti. "Apa maksud kakak mengatakan hal seperti itu huh?" tanya Tika marah. "Tik  tenanglah! Akan kujelaskan!" kata Deden mencoba menenangkan Tika. "Cepat jelaskan dan berikan aku jawaban yang paling bagus agar aku tidak marah lagi!" kata Tika mulai calm down. "Tik," panggil Deden lembut. "Apa?" "Dia putus asa," kata Deden dengan sorot mata yang menunjukkan sebuah keseriusan yang belum pernah Tika lihat sebelumnya dari seorang Deden Dwi Permadi, kakaknya. "Hah? Apa maksud kakak?" tanya Tika tidak mengerti. "Kamu belum lupa kan, Tika? Aku ini pembaca pikiran!" kata Deden. Tika mengangguk. "Lantas?" "Dia sudah nyaris menyerah dan ingin bunuh diri tepat sebelum kita masuk. Dia sudah ingin meloncat keluar dari jendela kamarnya. Namun terhenti saat dia mendengar keributan yang kita buat." kata Deden menjelaskan. "Mengapa?" tanya Tika lagi. "Dia sebatang kara. Kondisi jantungnya memburuk karena kedua orangtua angkatnya meninggal seminggu yang lalu. Dia sebatang kara Tik. Walau dia kaya, dia tidak butuh semua itu. Dia putus asa!" jawab Deden. Tika terdiam. "Lalu kenapa kamu berbohong? Bisa saja kan kak kita mengatakan padanya kalau kak Ve menunggunya di Padang. Dia tidak sendirian, dia-," "Dia bukan Dimas yang kita cari, Tik!" potong Deden cepat. "Heh?" Tika terpaku, shock. "Dia bukan Dimas yang kita cari," ulang kak Deden. "Kok bisa? Seharusnya Adam menyadarinya bukan? Mengapa kalian berdua ti-," "Adam tadi belum menyadarinya, Tika! Tapi sekarang aku yakin dia telah tahu bahwa Dimas yang sedang bicara dengannya bukanlah Dimas yang kita cari." kata Deden memotong ucapan Tika. Tika menghela napas berat. "Lalu bagaimana nasib kita, kak? Kita pasti mati jika dia bukan Dimas yang kita cari. Mengapa kakak masih peduli pada orang lain padahal kita juga terancam oleh kematian?" tanya Tika sambil terduduk lemas di lantai rumah sakit yang dingin. Deden mendekat dan menepuk ringan pundak Tika. "Bahkan jika waktuku yang tersisa hanya dua detik, aku ingin menolong orang Tika!" ucap Deden bersungguh-sungguh. "Kamu helper bukan? Ini sudah tugasmu, jadi bertanggungjawablah sampai akhir!" kata Deden menimpali. Tika terdiam. Gadis itu berdiri dan menegakkan punggungnya. "Baiklah, ini memang tugasku dan kalaupun aku mati besok, jangan salahkan aku jika kalian semua ikut mati!" kata Tika lalu mulai berjalan menuju ruangan Dimas kembali. Deden terkekeh pelan. "Kalaupun kamu tidak mati, aku belum tentu hidup Tika. Karena kematian sudah ditentukan bahkan sebelum kita dilahirkan!" gumam Deden lalu menyusul Tika. *** Aku terdiam menatap Dimas yang sedang senyum-senyum melihatku. Entah mengapa enggan rasanya melihatnya begitu. Aku merasa bersalah karena telah membohonginya. Rasanya jika aku terus berpura-pura begini, aku seperti telah memberikan harapan palsu pada seseorang yang hendak mati. Namun, aku tidak mendapat panggilan apapun darinya. Jadi, aku rasa Dimas di hadapanku ini belum ditakdirkan untuk segera mati atau aku hanya tidak mendengar kematiannya karena aku masih terikat kontrak dengan klienku saat ini, kak Ve. "Namamu Tika bukan?" tanya Dimas tiba-tiba sehingga memecah keheningan di antara kami dalam sekejap. "Iya, Aku Tika!" jawabku. "Hm, Darimana asalmu?" tanya Dimas lagi. "Padang, Sumatera Barat!" jawabku jujur. Dimas menautkan kedua alisnya yang agak tebal. "Hm, Padang ya, aku tidak pernah kesana. Jadi kapan kamu pernah melihatku?" tanya Dimas lagi. "Hm, yah, dulu, dulu sekali," jawabku terbata. Sungguh aku ini pembohong kelas amoeba. "Dulu kapan?" tanya Dimas lagi, sepertinya dia belum puas dengan jawabanku atau memang dia sudah mulai curiga karena sejak tadi apa yang kami bicarakan sungguh tidak saling berkaitan. "Dulu, waktu kita kecil!" jawabku. "Apa kamu sakit?" tanya Dimas lagi. "Heh?" seruku kaget. "Sejak kecil aku sudah menjadi pasien di rumah sakit ini. Jadi, seharusnya kalau kita bertemu, tempat pertemuan kita pasti di rumah sakit. Ya kan?" kata Dimas menyudutkanku. Aku terdiam, mencoba bersikap tenang dan berpikir jernih. Aku harus bisa mengelak sampai akhir. "Aku tidak sakit, kita bertemu di tempat lain!" elakku. Dimas hanya manggut-manggut. Apa dia percaya dengan apa yang kukatakan? Apa dia sudah puas dan akan berhenti untuk menanyakannya? "Jadi, kapan kita ketemu sehingga kamu menyukaiku?" tanya Dimas sambil senyum lebar. Rupanya dugaanku salah, cowok penyakitan ini malah menskakmat diriku. "Heh? Hm," aku berpikir sejenak, pertanyaannya benar-benar di luar dugaan. "Anu, hm," aku melirik Adam dan cowok boncel itu tersenyum tipis seolah mengejekku agar berpikir sendiri. Aku beralih menatap kak Deden dan kakakku yang bisa membaca pikiran itu berdiri dari duduknya dan mendekat padaku. "Tik, bicaralah berdua dengannya. Dia sudah tahu kalau kita berbohong!" bisik kak Deden lalu keluar. Tepat di depan pintu kak Deden berhenti, cowok tinggi itu menoleh pada Adam. "Boncel, ayo kita keluar!" suruhnya sambil memberi isyarat tangan yang menyiratkan agar Adam mengikutinya. Adam berdiri dan menyusul kak Deden dengan wajah BT. "Aku bukan boncel, tinggiku 160 cm tauk!" dengus Adam sebelum keluar dari ruangan. "Aku 175 cm," ledek kak Deden. "Dasar tiang listrik!" balas Adam. "Diamlah, Boncel!" sahut kak Deden agak berteriak sehingga membuat Adam seketika membungkam mulutnya. Selepas kak Deden dan Adam pergi, aku mendekat pada Dimas dan berdiri di samping ranjangnya. "Jadi, kamu sudah tahu rupanya," ucapku berterus terang. Dimas tersenyum geli. "Tentu saja ketahuan, aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama atau cinta pertama. Bagiku itu hanyalah sebuah tipuan yang disebabkan oleh hormon!" sahut Dimas. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Pernyataannya sungguh luar biasa menggelikan. "Jadi, kenapa tipuan hormon ini mampu mencegahmu untuk bunuh diri?" tanyaku membalik kata-katanya. Dimas mendesah pelan. "Ah," katanya. "Ketahuan ya," imbuhnya dengan nada santai. "Tentu saja ketahuan, kamu tidak akan bisa menipu kami!" kataku sedikit merasa sombong. "Mengapa?" tanya Dimas penasaran. "Karena kami lebih unggul dalam memanipulasi pikiran," jawabku sekenanya. Dimas tertawa kecil mendengar gurauanku. Dia sedikit memegang d**a sebelah kirinya. Aku rasa jantungnya merasakan beban tiap kali dia tertawa. "Jangan tertawa sekarang! Kondisimu tidak memungkinkan! Tertawalah esok hari!" ucapku. Dimas menghela napas pelan. "Mengapa aku harus menunda tawaku sampai besok?" tanya Dimas heran. "Karena besok kamu akan mendapat jantung baru! Di kondisi kesehatanmu yang lebih baik dari sekarang, aku tidak akan mencegahmu untuk tertawa!" terangku. Dimas tersenyum lebar. "Kamu berkata begitu seolah operasiku berjalan lancar. Dokter bilang kemungkinannya 50:50. Jadi bisa saja besok aku mati," kata Dimas dengan helaan napas yang menunjukkan betapa takut dan putus asanya dia. Aku mendekati Dimas dan memeluknya. "Aku melihatnya," bisikku. "Melihat apa?" tanya Dimas sambil berbisik pula. "Melihatmu di teras rumahmu dengan banyak pohon di depannya. Di sebuah kursi goyang dan secangkir teh hangat, kamu akan tersenyum bahagia. Jadi, kamu akan selamat besok dan hidup sampai kamu tua!" kataku menjelaskan. Dimas terkekeh pelan. "Kamu sungguh luar biasa, Tika. Aku tahu hiburanmu itu hanya gurauan semata, tetapi entah mengapa aku sangat terhibur!" puji Dimas. "Ya, aku memang luar biasa! Aku mengakui itu," ucapku. Dimas memandangku lekat. "Kalau begitu, mau mengabulkan satu permintaanku?" tanya Dimas bersungguh-sungguh. "Apa itu?" tanyaku penasaran. "Kamu mau jadi temanku?" tanya Dimas dengan wajah serius. "Hm? Teman?" tanyaku ragu. "Teman," kata Dimas mengulangi lagi permintaannya. "Baiklah," jawabku. "Kalau begitu, sebagai seorang teman maukah besok saat aku membuka mataku pasca operasi kau ada disana?" tanya Dimas. Aku terdiam lalu mengangguk mengiyakan. "Tentu saja," jawabku yakin. "Terimakasih," ucap Dimas tulus. "Sama-sama," sahutku. Kami pun kembali saling pandang dan tersenyum. "Kamu cewek yang baik, Tika. Jadi, apa yang bisa kubantu untuk membalasmu?" tanya Dimas. Aku tersenyum tipis. "Apa kamu tahu sesuatu tentang Dimas yang kami cari?" tanyaku. Dimas mengangguk. "Benarkah?" tanyaku senang. Dimas mengangguk sekali lagi. "Iya, aku teman masa kecil mereka!" jawab Dimas. "Heh?" Dimas tersenyum. "Wanita yang ingin menemui Dimas, Ve bukan?" tanya Dimas lagi. Aku mengangguk. "Dimas dan Ve temanku sejak kecil. Mereka selalu mengunjungiku yang tidak bisa pergi kemanapun selain di rumah sakit. Pada akhirnya Ve diadopsi dan tidak pernah datang kesini lagi. Sedangkan Dimas, sejak panti asuhannya digusur dan dijadikan komplek pemakaman 6 tahun yang lalu, dia tidak pernah datang lagi. Terakhir dia kesini dua bulan yang lalu," kata Dimas menjelaskan. "Jadi, kamu tahu dia dimana?" tanyaku. Dimas mengangguk lalu tersenyum. "Tentu saja," "Bisakah kamu memberitahuku?" pintaku. Dimas mengangguk. "Tapi, sebaiknya kalian berhenti menyinggung soal Ve saat tiba di sana," kata Dimas memberikan syarat. "Kenapa?" tanyaku. Dimas hanya tersenyum tipis. Tak lama kemudian, dia menyuruhku mendekat dan membisikkan alamat Dimas yang baru. Setelah itu aku keluar ruangan dan menemui Adam dan kak Deden yang sudah menungguku. "Apa kamu mendapatkan informasi, Tik?" tanya Adam begitu melihatku. Aku mengangguk. "Lantas kenapa wajahmu tidak menunjukkan kebahagian?" tanya kak Deden heran. "Ada sedikit masalah," kataku. "Masalah apa? Apa Dimas yang kita cari sudah mati?" tanya Adam cemas. Aku menggeleng pelan. "Apa dia sakit parah seperti Dimas yang di dalam?" tanya kak Deden. Aku menggeleng sekali lagi. "Bukan," "Lalu apa?" tanya kak Deden penasaran. "Dimas yang kita cari, hm," aku terdiam, ragu-ragu. "Kenapa?" tanya Adam. "Cepatlah katakan!" desak kak Deden. "Sudah menikah," jawabku lalu tertunduk lemas. Kak Deden dan Adam mengusap d**a mereka. "Matilah kita," gumam mereka bersamaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN