11

2956 Kata
Aku dan Adam tiba di sebuah pemukiman penduduk di sebuah daerah padat penduduk yang lumayan jauh dan menghabiskan banyak waktu. Operasi Dimas akan dilaksanakan dari jam 9 pagi sampai jam 2 siang. Jadi ada cukup waktu bagiku yang sudah keluar sejak pagi untuk menemui Dimas yang asli, bicara dengannya dan kembali ke kota asalku. Tadi malam aku sudah berunding dengan Adam dan kak Deden. Kami berbagi tugas. Aku dan Adam menemui Dimas yang asli, mencoba membujuknya sekuat tenaga agar mau ikut kami ke Padang dan tentu saja kemungkinan terburuk adalah kami juga harus membujuk istri dari kak Dimas agar mau meminjamkan sebentar suaminya. Walau aku pesimis dengan keberhasilan kami, setidaknya selama ada peluang, aku akan mencoba. Bagaimanapun ini bukan hanya soal hidupku tetapi hidup kami berempat, aku, Adam, kak Deden dan juga Rio. Ditambah lagi ini juga menyangkut kebahagian terakhir untuk seorang Ve. Karena wajahnya yang mirip dengan cinta pertama kak Fariz, dia harus menderita dan berkorban dengan merelakan cintanya pada kak Dimas. Kak Fariz itu DID. Kepribadiannya ada lima dan dari semua kepribadiannya, jati dirinya yang aslilah yang paling menyebalkan. Cowok jahat itu selalu berkata mencintai kak Ve tetapi melakukan hal yang membuat kak Ve menderita. Kak Fariz sebenarnya hanyalah anak yatim piatu yang kemudian diadopsi oleh keluarga angkatnya yang kaya raya. Namun dia tidak pernah mengetahui kebenaran ini atau justru dia telah tahu sehingga dia memiliki watak angkuh untuk menyembunyikan sisi dirinya yang lemah? Entahlah, aku enggan melakukan pembelaan bagi cowok jahat seperti dirinya. Aku dan Adam turun dari mobil yang kami sewa tadi pagi. Dengan sebuah keraguan dan keyakinan yang minim, kami berjalan menyusuri jalan kecil sehingga sampailah pada sebuah rumah No.34 sesuai dengan alamat yang diberikan Dimas. "Woi, Tik sepi gila rumahnya!" kata Adam setengah berbisik. "Tentu saja sepi, ini masih setengah lima pagi," sahutku. Adam tersenyum tipis. "Tapi di sini sudah cerah begini jam segini, kalau ini di Padang jam 6 pagi saja kabut masih kelihatan!" imbuh Adam. "Ini Surabaya, Jawa Timur jangan samakan dengan Padang yang berada di pulau Sumatera!" sanggahku. Adam mengerucutkan bibirnya sebagai tanda protes. "Aku hanya mengeluarkan uneg-unegku saja Tika, mengapa kamu begitu sensitif huh?" dengus Adam BT. "Kita tidak memiliki banyak waktu. Daripada kamu mengoceh tidak jelas dan absurd, tekan saja belnya agar urusan kita cepat selesai!" suruhku. Adam mengangguk malas. "Ya, ya, baginda ratu!" sahut Adam setengah menyindir. "Baginda ratu apaan, kamu pikir ini zaman kerajaan?" "Mending ibunda ratu, daripada kamu kusebut kepala suku?" sahut Adam lagi. "Cepat tekan!" perintahku lagi. Adam mengangguk lagi. "Iya, ini mau kutekan. Bawel!" gerutu Adam. Adam pun menekan bel rumah itu. Satu-dua kali tidak ada jawaban. Lalu pada tekanan yang ketiga, kudengar langkah kaki tergesa yang mendekati pintu. Tak lama kemudian pintu rumah terbuka, seorang wanita muda keluar dan melihat kami dengan wajah bingung. "Siapa ya?" tanyanya karena merasa asing dengan kami yang baru pertama kali dilihatnya. Belum lagi aku dan Adam mendatangi rumahnya sepagi ini. "Hm, saya Tika dan ini Adam. Apa benar ini rumah kak Dimas Nur Ari Prasetya?" tanyaku. Wanita muda itu mengangguk. "Benar," jawabnya mengiyakan. "Ada apa mencari suami saya?" tanyanya sedikit menahan napas. "Ah, tidak apa-apa. Kami dulu satu panti dengan kak Dimas. Boleh kami bertemu dengannya?" tanyaku sedikit berbohong. Wanita muda itu tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan sebuah kecemasan yang tidak bisa disembunyikan sama sekali. Dia beberapa kali menyentuh tengkuknya tanpa sadar, dia gelisah. Walaupun aku belum tahu pasti apa yang menyebabkan wanita itu mendadak berubah sikap saat kami mengatakan ingin menemui kak Dimas. "Su-suamiku masih tidur," katanya terbata. "Heh?" "Sebaiknya kalian pergi! Pergi!" katanya sambil mendorongku agar mundur. Adam menangkap tubuhku yang sedikit terdorong mundur karena wanita itu. Dia segera menutup rapat pintu rumahnya dan bahkan mematikan lampu depan. "Ah, sepertinya kita diusir!" gumam Adam. Aku melepaskan diriku dari rangkulan Adam dan memperbaiki letak rambutku yang sedikit berantakan karena harus keluyuran di pagi buta. "Jadi bagaimana selanjutnya?" tanya Adam. "Kita tunggu saja," jawabku. Adam mengangguk. "Baiklah jika itu maumu," Kami pun duduk di teras depan rumah itu. Tidak ada obrolan yang hadir di tengah kami meski saat ini aku sedang berdua dengan Adam. Rasanya basa-basi atau berpura-pura mengobrol santai di situasi yang genting seperti sekarang sulit sekali dilakukan. Dua jam berlalu dalam diam dan matahari mulai menunjukkan pesonanya. Pintu rumah terbuka dan tampak seorang lelaki keluar yang diikuti oleh wanita muda yang tadi. "Pa, jangan lupa nanti siang mam-," wanita muda itu menghentikan ucapannya saat melihatku dan Adam. "Kalian? Kalian masih disini huh? Sudah kukatakan pergi, pergi!" usirnya lagi, kali ini suaranya meninggi dengan signifikan. Lelaki di dekat wanita muda itu menoleh pada kami dan menatap kami dengan bingung. "Kalian siapa?" tanyanya. "Ah, kami-," "Bukan siapa-siapa, Pa! Berangkat kerja sana, nanti telat!" potong wanita muda itu. Pa? Mungkinkah dia itu kak Dimas? "Kak Dimas?" tanyaku ragu. Lelaki itu mengangguk. "Iya, saya Dimas. Ada apa ya?" tanya lelaki yang ternyata adalah kak Dimas yang kami cari. "Ah, kak, syukurlah akhirnya kami menemukan kakak! Kami datang kesini untuk mengajak kakak bertemu seseorang!" jawabku. "Seseorang? Siapa?" tanya kak Dimas penasaran. "Tidak! Tidak boleh! Pergi! Pergi kalian!" usir wanita muda itu yang tiba-tiba saja mengamuk. Kak Dimas meraih kedua tangan wanita muda itu dan memeluknya. "Tenanglah, Tiara!" katanya dengan lembut. "Tenanglah, aku hanya milikmu!" imbuh kak Dimas lagi. Wanita muda bernama kak Tiara itu terdiam. Sesaat kemudian dia mulai tenang. Namun dia menangis sambil memeluk kak Dimas erat-erat. "Jangan kembali pada Ve. Kamu milikku," gumamnya pelan. Adam memandangku seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tik," panggil Adam setengah berbisik. "Ada apa?" tanyaku ikutan berbisik. "Matilah kita hari ini," jawab Adam pesimis. Kucubit pelan Adam dan cowok boncel itu mengerucutkan bibirnya sebagai tanda protes. "Sakit tauk!" dengusnya kesal. "Bodo!" sahutku. Setelah menunggu agak lama, akhirnya aku dan Adam dipersilahkan masuk ke ruang tamu. Kak Dimas duduk di depan kami setelah membawa kak Tiara ke kamarnya. "Maafkan istriku, dia memang sangat posesif!" kata kak Dimas menjelaskan tanpa diminta. Aku dan Adam hanya tersenyum canggung. "Ah, tidak masalah, Kak! Ini salah kami karena datang tanpa pemberitahuan!" kataku berbasa-basi. "Lantas apa tujuan kalian mendatangiku?" tanya kak Dimas. Aku memandang Adam, Adam pun hanya mengangguk seolah berkata agar aku segera mengatakan maksud dan tujuan kami menemuinya. "Kami ingin kakak ikut kami ke Padang," ucapku. "Padang? Sumatera Barat?" tanya kak Dimas memastikan. Aku mengangguk mengiyakan. "Untuk apa?" tanya kak Dimas heran. "Kami ingin kakak menemui kak Ve," jawab Adam. "Ve?" Aku mengangguk. "Teman kecil kakak saat di panti!" kataku menegaskan. Kak Dimas menghela napas panjang. "Maaf, aku tidak bisa. Sebaiknya kalian pergi dari sini!" ujar kak Dimas sambil menunjuk ke pintu keluar. Sepertinya kami diusir. "Tapi kak, kak Ve itu-," "Pergi!" bentak kak Dimas. Aku menutup kembali mulutku. "Wanita jahat seperti dia untuk apa mencariku lagi? Aku sangat membencinya!" kata kak Dimas dengan tangan terkepal. Kemarahan tampak jelas di wajahnya. Adam berdiri dari duduknya dan menarik tanganku. "Ayo pergi!" ajaknya. Aku masih tidak bergeming. "Ayo!" ajak Adam lagi. "Tidak mau!" tolakku. "Dia sudah menyuruh kita pergi. Kita pergi saja!" kata Adam. "Hah? Dam, aku-," "Diamlah Tika! Kita sudah diusir jadi kita pergi saja!" bentak Adam. Aku terdiam, baru kali ini kulihat Adam seperti itu. Aku terpaksa mengikuti Adam. Cowok boncel itu berhenti dan menoleh pada kak Dimas sesaat sebelum menarikku pergi. "Ve bukan meninggalkanmu, tetapi dia diancam oleh tunangannya yang sekarang. Jika dia masih menemuimu, tunangannya yang sekarang akan menghancurkan usahamu, hidupmu dan semua yang kamu punya. Ve mengorbankan hidupnya untukmu tetapi kamu malah membencinya. Kamu sungguh lelaki yang tahu diri sekali. Mengenai istrimu, jika dia tidak ingin kehilanganmu harusnya dulu dia tidak berbohong pada Ve kalau dia itu adalah pacarmu saat Ve lebih memilihmu dan membatalkan pertunangannya dengan Fariz, tunangannya yang kejam. Dia begitu bukan karena posesif tetapi karena rasa bersalah yang teramat sangat!" kata Adam panjang lebar. "Satu lagi, Ve sekarat! Kami akan pergi di penerbangan jam 15.34 wib, kalau kamu berubah pikiran, temui kami disana!" kata Adam menimpali. Aku dan Adam pun pergi dari tempat itu. Entah mengapa hari ini aku merasa kalau si boncel keren sekali. *** Adam hanya diam selama perjalanan pulang. Cowok boncel itu tidak berniat sedikitpun untuk sekedar berbasa-basi, kemarahan terlihat jelas dari sorot matanya. Jujur saja, aku tidak mengerti mengapa Adam bisa semarah itu. Aku bahkan heran, bagaimana bisa dia tahu mengenai apa yang terjadi pada kak Ve, Dimas dan Tiara. "Dam," panggilku ragu. Adam masih diam, tidak menjawab. "Adam," panggilku lagi, tetapi kali ini lebih keras. "Diamlah, Tika! Pikiranku sedang kacau!" ucap Adam tegas membuatku seketika langsung bungkam. "Maaf," ucapku singkat. Adam hanya menghela napas berat. "Aku benci keadaan ini," guman Adam pelan seolah itu diperuntukan pada dirinya sendiri. Aku hanya diam saja, menunggu amarah Adam reda. Aku tidak ingin menjadi pelampiasan keamarahannya jika aku salah bicara. Tak lama kemudian, setelah perjalanan yang begitu panjang dan penuh kecanggungan, kami tiba di rumah sakit. Waktu menunjukkan jam setengah sembilan, jadi aku segera bergegas menemui Dimas sebelum operasinya dimulai. "Dimas," sapaku begitu memasuki ruangan. "Tika," sapa Dimas dengan senyum yang menggembang. "Aku sudah menunggumu sejak tadi," ucapnya. Aku mengangguk kecil lalu kudekati Dimas dan menggenggam erat kedua tangannya. "Berjuanglah! Kamu pasti bisa!" kataku memberikan motivasi. Dimas mengangguk pasti. "Aku pasti akan berjuang!" sahut Dimas menyanggupi. "Tapi," Dimas menggantung ucapannya. "Bisakah aku memelukmu sebelum operasiku dimulai?" pinta Dimas sedikit merasa ragu. "Tentu saja," jawabku membuat Dimas seketika tersenyum bahagia. Kami pun berpelukan. Namun tidak lama karena Dimas harus segera melakukan persiapan untuk proses operasinya. Tepat jam 9 pagi, operasi Dimas dimulai. Aku, Adam dan kak Deden hanya bisa menunggu di ruang tunggu dengan sebuah pengharapan agar operasi Dimas berjalan lancar dan dia bisa segera sembuh. Walaupun kami tahu bahwa Dimas yang saat ini sedang berjuang itu bukanlah Dimas yang kami cari. "Jadi, bagaimana hasilnya?" tanya kak Deden. Aku hanya diam lalu melirik pada Adam. Kak Deden yang sepertinya memahami situasi yang terjadi tanpa perlu kujelaskan segera mengalihkan pandangannya ke arah Adam. "Oi boncel, bagaimana hasilnya?" tanya kak Deden pada Adam. Adam masih diam. "Apa kita akan mati?" tanya kak Deden tanpa basa-basi sehingga membuat Adam hanya mengangkat kepalanya dan memandang kesal ke arah kak Deden. "Ada apa?" tanya kak Deden. Adam hanya diam, menatap lekat sosok di hadapannya. "Apa kamu sudah melihat kebenarannya?" tanya kak Deden. Aku menautkan alisku. Melihat kebenarannya? Apa maksudnya? Apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan? Aku sungguh tidak mengerti. Aku yang bingung pun segera membalikkan badanku menghadap Adam dan menatapnya serius. "Ada apa? Mengapa kamu semarah ini? Jelaskan padaku!" pintaku pada Adam. Adam menghela napas berat. "Aku sungguh berharap kita mati saja, Tik!" Adam menundukkan kepalanya. "Aku tidak ingin Ve menemui Dimas," Adam meneteskan airmatanya yang berharga. "Apa yang terjadi, Adam?" tanyaku lembut. Adam hanya menangis tanpa suara. Cowok boncel itu tampak tulus, tidak terlihat sama sekali kalau tangisnya ini adalah sebuah kebohongan. Airmatanya penuh kejujuran. "Ada apa, kak?" tanyaku beralih pada kak Deden. Aku masih belum merasa puas jika belum mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Kak Deden tersenyum tipis. "Kebenaran kadang begitu menyakitkan dibandingkan sebuah kebohongan yang manis," jawab kak Deden berteka-teki. "Hah? Berhentilah berteka-teki. Aku tidak memiliki kemampuan membaca pikiran atau melihat kebenaran dari sifat manusia seperti kalian. Jadi cepat jelaskan!" omelku membuat Adam yang sedang menangis mulai menghentikan aliran airmatanya. Cowok boncel itu menyeka airmata di kelopak mata dan pipinya lalu beralih memandangku. "Tik, Dimas membenci Ve tanpa mengetahui kalau Ve mengorbankan hidupnya demi seorang Dimas. Ve rela menderita dan terluka demi cintanya pada Dimas. Tetapi cowok tidak tahu diri itu malah menganggap Ve sebagai wanita matre yang rela menjual dirinya demi harta. Dia membenci wanita yang telah menyelamatkan hidupnya. Aku muak dengannya yang telah buta karena ketidakberdayaannya untuk melindungi Ve." Adam menjelaskan panjang lebar. "Terlebih Tiara, istrinya yang munafik itu benar-benar membuatku ingin membunuh mereka berdua!" Adam menimpali. Aku tercenung, kaget dengan penjelasan yang baru saja aku dengar. Sungguh kenyataan itu sangatlah menyedihkan. Sungguh kasihan sekali kak Ve. Wanita polos itu telah terjebak dalam obsesi orang-orang yang telah dibutakan oleh cinta : Fariz, Dimas dan Tiara. Dia telah terluka oleh tiga orang sekaligus. Ironisnya mereka mengatasnamakan cinta untuk menyakiti orang lain. "Jadi, itukah penyebab kamu marah, Dam?" tanyaku. Adam mengangguk. "Darimana kamu tahu, Dam? Bukankah kamu harus menyentuh targetmu untuk melihat masa lalu mereka?" tanyaku heran. Adam hanya mengangkat kedua bahunya lemah. "Entahlah," katanya dengan malas. "Aku bahkan terkejut saat aku bisa 'melihat' masa lalu mereka berdua sekaligus tanpa harus menyentuhnya," "Apa jangan-jangan kemampuanmu mengalami peningkatan sehingga sekarang kamu tidak perlu lagi menyentuh targetmu jika ingin melihat, memanipulasi atau menghapus pikiran orang lain?" ujar kak Deden mencoba memberikan tebakan yang paling masuk akal. "Aku tidak yakin mengapa aku bisa melakukannya, tetapi terlepas dari apapun alasannya. Aku sangat tidak suka apa yang kulihat hari ini!" kata Adam lemas. "Bersemangatlah, Dam!" kataku menyemangati. Adam hanya mengangguk lemah. "Iya, aku sedang mencobanya," jawab Adam sembari memejamkan matanya seolah ingin menjernihkan pikirannya kembali. "Jadi, apa kamu mengatakan sesuatu yang keren yang bisa mengubah takdir kematian kita?" tanya kak Deden tiba-tiba membuat Adam yang sedang mencoba menjernihkan pikirannya kembali membuka mata. "Kamu sengaja mengusikku bukan?" tuduh Adam. Kak Deden hanya menyeringai licik. "Aku tidak memiliki maksud busuk begitu," elak kak Deden. "Apa kamu yakin? Aku mencium bau kebohongan darimu!" sanggah Adam. "Jangan membuatku tertawa, kebohongan tidak bisa dicium!" ujar Adam santai sehingga membuat kak Deden hanya terkekeh pelan. Kak Deden hanya tersenyum malu-malu membuat Adam ingin sekali meninjunya seandainya aku tidak menghentikan mereka. Kami pun kembali tenang setelah seorang perawat memberikan peringatan pada mereka berdua agar tenang. Tepat jam satu siang-lebih singkat dari dokter yang lain, operasi Dimas selesai dilaksanakan. Operasinya berjalan lancar. Sebentar lagi cowok kesepian itu akan segera sembuh dan bersekolah kembali. Aku senang sekali dengan kenyataan itu. Setelah berpamitan pada Dimas yang dipaksa sadar oleh Adam dengan menjelajah 'pikiran'nya, akhirnya aku, Adam dan kak Deden pun telah tiba di Bandara, menunggu jadwal keberangkatan kami. Ada lima tiket dan jika dua orang yang kami harapkan datang tidak datang, misi kami gagal. Jika itu terjadi, maka aku dan ketiga cowok-Adam, Rio dan kak Deden akan the end. "Sudah jam tiga, Tik!" ujar kak Deden mengingatkan. Aku hanya diam, menunggu dengan penuh harap kedatangan mereka. "Kita akan ditinggal jika tidak segera boarding," Adam menimpali. Aku menghela napas panjang dan berat. "Baiklah, mari kita pulang!" kataku mengalah. Kami bertiga pun mulai berjalan memasuki tempat yang akan membawa kami pergi meninggalkan kota Surabaya dan kembali ke kota asalku, Padang. "Tunggu!" Tepat di detik terakhir dalam doa keputusasaanku, akhirnya seseorang yang kami tunggu menampakkan batang hidungnya. Aku yang tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku hanya mampu tersenyum lebar. "Aku ikut!" katanya mantap. "Yes!" seru Adam bersemangat. "Kamu nyaris membuatku ke rumahmu dan menjeretmu ikut," kata kak Deden setengah bergurau. "Tidak perlu," tolaknya. "Karena aku dengan senang hati bersedia ikut dengan kalian!" katanya melanjutkan. "Terimakasih, kak Dimas!" ucapku tulus. "Sudah basa-basinya, sebaiknya kita bergegas!" kata kak Deden mengingatkan. Kami bertiga pun memasuki pesawat dan duduk di kursi masing-masing. Aku duduk sebaris dengan kak Deden. Sementara Adam dengan Dimas. Aku menghela napas lega saat kulihat kak Dimas yang duduk di depan kursiku. Tunggulah kami kak Ve, Dimasmu akan segera tiba. *** Manusia akan merasakan penyesalan di kala mendekati akhir. Kata itu, sebelumnya hanya kuyakini sebagai sugesti semata. Namun kini, aku menyaksikannya dengan kedua mataku sendiri. Dimas terpaku dengan sebuah pemikiran panjang yang tidak terjamah oleh otakku. Namun melihat reaksi yang sama ditunjukkan oleh kak Deden dan Adam, aku rasa kami bertiga memang dalam level yang sepadan. Kami sama-sama tidak bisa mengerti perasaan manusia. Walau sedikit berbeda, kami ini nyatanya memang juga manusia. "I-itu Ve?" tanya kak Dimas masih dengan berdiri di dekat pintu. "Ya, itu Ve!" jawab kak Deden mengiyakan pertanyaan kak Dimas yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan. "Mendekatlah!" saran Adam. Kak Dimas mengangguk. Lelaki itu perlahan menggerakkan kakinya, berjalan mendekati seorang wanita yang tengah terbaring tak berdaya. Entah hanya perasaanku atau aku sudah banyak menyaksikan kematian sehingga terlalu sensitif, saat kulihat kak Dimas berjalan seperti kulihat angin kecil yang terus mengiringi kedatangannya. Lelaki itu duduk dan mulai tersenyum getir. Bola matanya menunjukkan sebuah kerinduan yang mendalam dengan tatapan mata sendu dan nanar sehingga menggetarkan setiap mata yang melihatnya. Perlahan kak Dimas meraih tangan kak Ve. Airmatanya pun menetes pelan bersama suara isak yang kian lama makin mengeras. Wanita itu-masih disana, dengan senyum tipis dari wajah pucatnya yang begitu sedih. Arwahnya masih disana, di luar tubuhnya. "Hm, dua puluh detik lagi," gumam Adam yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatku. "Kamu melihatnya juga?" tanyaku pada Adam. Adam mengangguk pelan. "Ya, aku melihatnya." jawab Adam. Aku menaikkan setengah alisku. "Bukankah awalnya kamu tidak melihatnya?" tanyaku heran. "Kaum watcher memiliki keistimewaan yang menyebalkan dan aku yakin kamu tahu apa itu, Tik! Jadi berhentilah menanyakan sesuatu yang sudah pasti!" jawab Adam sedikit kesal. Aku hanya tersenyum kecil lalu kembali mengarahkan perhatianku pada kak Dimas dan kak Ve. "Ve, maafkan aku karena sudah membencimu tanpa tahu apa-apa," ucap kak Dimas saat dia sudah berhasil mengendalikan dirinya. "Sejujurnya, dari dulu hingga sekarang, perasaanku tidak berubah," imbuhnya. Kak Dimas semakin mempererat genggaman tangannya pada kak Ve. "Aku mencintaimu," Tittttttttttttttttttttttt Monitor jantung kak Ve menunjukkan flatline (garis lurus). Itu artinya jantung kak Ve telah berhenti berdetak. Tubuh itu kini sudah tak bernyawa. Pemiliknya sudah mengalami kematian. Bayangan kak Ve pun menghilang seperti buih bersamaan dengan pengakuan cinta yang sudah sekian lama ditunggunya. Kak Dimas menjerit dan menangis histeris. Dari betapa besar luka yang dia rasakan saat ini, aku bisa merasakan bahwa cintanya pada kak Ve pun sama besarnya dengan rasa itu. Mungkin mimik wajah manusia bisa berdusta, tetapi hanya dengan melihatnya sekilas aku bisa yakin kalau kak Dimas tidaklah sedang berpura-pura. Dia begitu mencintai wanita yang baru saja meninggal dunia itu. Tepat saat kata cinta yang selama ini raga kosong itu tunggu, roh wanita malang itu memudar dan sirna dengan sebuah senyuman bahagia tersungging di bibirnya. Ini memang sebuah kisah cinta yang menyedihkan. Aku turut berduka cita untukmu, kak Dimas. Selamat jalan kak Ve, semoga kakak tenang di alam sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN