BAB 18

2271 Kata
"Cinta terkadang berbanding terbalik dengan logika sehingga  tinggal menunggu sebuah momentum dengan kelentingan sempurna untuk menjadi gila," Aku menghela napas panjang dan berat. Ini hari kedua Dika mengacuhkanku. Dia benar-benar tidak mau memperdulikan aku lagi. Hariku jadi sepi, aku rindu suaranya. Aku rindu kebawelannya dan aku rindu senyum manisnya itu. Semuanya, aku rindu Dika. Pagi ini juga yang kujumpai menjemputku bukan Dika, bukan pula Duta melainkan Ghazy. Adik kelas yang dua tahun di bawahku itu juga mencoba melucu dan menghiburku, sayangnya aku tidak ada niatan untuk tertawa. Pikiranku melayang jauh. Isi kepalaku hanya ada Dika, Dika dan Dika. Cogan nomer dua itu sudah benar-benar membuatku pusing. Aku butuh penjelasan darinya. Harus. Pada jam istirahat pun yang mendatangiku bukan lagi Dika, tetapi Duta. Dika tidak lagi mau mengunjungiku, padahal aku menunggunya. Semua temanku yang naksir Dika termasuk si Benni merasa kehilangan. Benni mngoceh kesal padaku dan menyalahkan aku karena Dika tidak lagi ke kelas saat jam istirahat. Apa Benni pikir hanya dia yang kecewa? Aku juga kecewa, sangat. Kejamnya, cowok bawel itu bahkan tidak lagi datang ke rumah untuk berkunjung atau sekedar numpang makan. Sepertinya dia benar-benar menghindariku. Awalnya kupikir hanya aku atau teman-temanku yang naksir Dika yang merasa kehilangan Dika tetapi rupanya mama dan papa juga merasakan hal yang sama.Tadi pagi, saat sedang sarapan bersama, papa menanyakan Dika padaku. "Al, Dika nggak jemput ke sekolah hari ini?" tanya papa. Aku menggeleng. "Kemarin juga nggak jemput kan?" tanya papa. Aku mengangguk sekali lagi. "Dika sakit?" tanya mama yang secepat cahaya sudah berada di dekat daun telingaku. Aku bergidik ngeri sebentar lalu menggeleng. "Lalu kenapa?" tanya mama lagi, tiupan angin dari mulut mama membuatku semakin merinding. "Sibuk, Ma!" jawabku berbohong. Mama menjauh lalu sudah duduk di dekat papa. Beliau melanjutkan makannya dan tidak mengeluarkan suara apapun lagi. "Kalian berantem?" tanya papa mencoba menebak alasan Dika tidak lagi datang menjemputku. Aku hanya mengangkat kedua bahu. "Mama juga kangen, Dika!" ucap mama pelan yang membuatku hanya mampu terdiam. Sejujurnya, aku juga merindukan Dika. Tawanya, bicaranya yang panjang dan nyaring itu-perlahan-lahan sudah mengakar di telingaku sehingga menunaskan sebuah rasa di hatiku. "Kak, makan dong!" Teguran itu menyadarkan aku dari lamunanku. Kuamati Ghazy yang berada di depanku. Dia mengajakku makan bareng tadi. Ya, walaupun sekarang pun yang kulakukan hanya mengaduk-aduk makananku tanpa berniat menyantapnya sedikitpun. "Aku udah kenyang," ucapku lalu meletakkan sendokku. Ghazy menautkan alisnya. "Perasaan kakak belum makan apapun," ujar Ghazy heran. Aku hanya tersenyum getir. "Aku balik kelas dulu ya," pamitku pada Ghazy lalu bangkit dari dudukku. Ghazy terlihat akan berdiri, aku pun buru-buru mencegahnya. "Nggak usah, aku mau ke kelas sendirian!" ucapku membuat Ghazy duduk kembali di tempatnya. "Thanks," ucapku lalu mulai melangkah pergi. Sepanjang jalan menuju kelasku, pikiranku melayang entah kemana. Aku masih bertanya-tanya mengapa Dika menjauhiku. Aku sudah berpikir selama dua malam terakhir dan belum juga menemukan jawabannya. Aku menghentikan langkahku. Aku melihat Dika yang tengah duduk sendiri di depan kelasnya. Dia tampak termenung, seperti ada yang tengah dia pikirkan. Kakiku tergerak mendekatinya, kuhampiri dia dan duduk di sampingnya. Dika masih diam dalam lamunannya seolah pikirannya tengah berkelana hingga dia tidak menyadari kedatanganku. Kutunggu beberapa lama dan Dika masih saja sama. Tiba-tiba dia menghela napas panjang dan menoleh ke arahku. Dia tersentak kaget saat melihatku di dekatnya. "Oh my God, Ally!!!!" pekiknya dengan nyaring. Aku tertawa geli melihat keterkejutannya. "Apa sih Dik sampai segitunya, lucu deh!" ucapku menertawakan Dika. Dika terpaku, menelan ludah sebentar lalu buru-buru masuk ke dalam kelasnya. Apa aku melakukan kesalahan hingga dia bersikap dingin begitu? Jika iya, kesalahan apa? *** Bel pulang sekolah sudah berdering sepuluh menit yang lalu. Kelasku sudah sepi dan kulihat seseorang sudah berdiri di depan kelasku. "Al," panggilnya. Aku tersenyum lalu berjalan menghampirinya. "Pulang bareng yuk!" ajaknya. Aku mengangguk mengiyakan. "Boleh," sahutku. Kami pun berjalan beriringan. Kulihat Duta yang tampak senang karena aku bersedia pulang bareng dengannya. "Dut, boleh kutanya sesuatu?" tanyaku saat kami masih menyusuri koridor sekolah. Duta mengangguk. "Silahkan, tanya apa saja pasti kujawab!" jawab Duta. "Kamu tahu nggak Dika kenapa?" tanyaku. Duta mengernyitkan keningnya. "Maksudmu? Dika baik-baik saja, nggak sakit." kata Duta tidak paham atau hanya pura-pura tidak paham dengan apa yang kumaksudkan. "Bukan, sudah dua hari ini dia nggak menjemputku, nggak menyapaku dab bahkan terkesan menjauh. Apa kamu tahu sesuatu?" tanyaku setengah memaksa Duta agar mau mengatakan hal yang sebenarnya. Duta hanya mengangkat pelan kedua bahunya. "Aku nggak tahu, Al. Hanya saja Dika mendatangiku dua hari yang lalu," ucap Duta mulai angkat bicara. "Mendatangimu? Ngapain?" tanyaku penasaran. "Dia bilang aku harus memanggilmu Ally jika aku ingin meraih hatimu lagi," jawab Duta. "Heh?" "Dika juga berpesan agar aku menjagamu," Duta melanjutkan. "Kok gitu? Dia mau pergi?" tanyaku mulai merasa gelisah. Duta menggeleng. "Aku juga nggak tahu. Dika juga bilang kalau dia berhenti mencintaimu, Al!" ujar Duta yang seketika membuatku terhenti. Aku pandang Duta lekat, tidak ada tanda-tanda dia tengah berbohong. Duta serius. "Dika bilang gitu?" tanyaku masih nggak percaya dengan pendengaranku. Duta mengangguk. "Iya, Al. Karena itu, pilihlah aku sekarang. Dika sudah menyerah!" ucapnya. "Melly pun sudah berbahagia dengan Angga. Sudah nggak ada yang perlu dipikirkan lagi. Ya kan?" desak Duta. Aku hanya diam, mendadak pusing. Dika menyerah? Kenapa? Padahal hatiku mulai berdebar untuknya. Aku bahkan sudah merindukannya sekarang. Jika dia menyerah sekarang, lalu untuk apa semua perjuangannya selama ini? "Dut," panggilku. "Ya?" "Kamu tahu Dika dimana?" tanyaku. Duta menggeleng. "Dika dimana, Dut? Kamu pasti tahu kan?" desakku. Duta menggeleng sekali lagi. "Nggak tahu, Al. Dia hanya bilang pulang duluan tadi," jawab Duta sejujurnya. Aku menghela napas panjang. "Kalau gitu, antar aku ke rumahnya!" pintaku pada Duta. Duta menautkan alisnya. "Buat apa?" tanya Duta penasaran. "Ada yang ingin kupastikan!" jawabku tegas. Duta diam, berpikir sejenak. "Apa hatimu sudah mulai menyukai Dika Al?" tanya Duta dengan nada yang sedikit menunjukkan kekesalan dan kekecewaan. Aku hanya bungkam. "Aku akan tanya Melly jika kamu nggak mau ngasih tahu," kilahku lalu mulai berjalan pergi. Grap. Duta menarik lenganku dengan kuat. "Al, jangan pergi!" cegahnya. "Lepas, Dut!" pintaku sembari meringis kesakitan karena cengkraman kuatnya di lenganku. "Aku mencintaimu Salsabila Usually," Duta menegaskan. "Hatimu hanya milikku, ya kan Al?" tanyanya dengan amarah yang mulai terlihat. "Duta, tenangkan dirimu!" ucapku sembari mencoba melepas cengkeramannya. "Al, kamu harus jadi milikku!" Duta menarik tubuhku mendekat ke arahnya dan dalam satu gerakan dia memajukan wajahnya. Plaaakk.. Tamparan itu mendarat dengan cepat hingga membuatku dan Duta sama-sama ternganga. Kami terkejut dengan peristiwa yang sama sekali tidak pernah kuduga ini. Beberapa detik kami saling diam. Duta hanya menatapku dengan sedih lalu berjalan menjauh tanpa mengatakan sepatah katapun. Setelah Duta pergi baru kurasakan rasa panas dan sedikit sakit di tangan kananku. Rasanya berdenyut-denyut, sama halnya dengan relung hatiku yang mulai terasa sakit dan menyesal. Aku baru saja menampar Duta. Bagaimana ini? *** 23 "Dalam diammu, aku melihat sebuah kesedihan dan kebahagian yang bercampur menjadi sebuah keikhlasan,"   Aku kembali terbaring dengan sebuah pemikiran tak bertuan. Sudah lama aku merindukan kedamaian dalam hidupku tapi tampaknya ini menjadi sebuah kisah panjang dan rumit. Awal pertemuanku dengannya kuanggap sebagai sebuah keajaiban. Dimana dia menyadarkan aku akan pentingnya bersosialisasi meski aku belum juga dapat berbaur sepenuhnya. Setidaknya keberadaanku mulai disadari meski belum diakui. Duta, ya dia adalah cinta pertamaku. Menjadi stalker dan mencintainya secara rahasia adalah sebuah takdir indah yang membawaku dalam sebuah pintu dunia. Dia membuka duniaku dan aku bahagia hanya dengan memandangnya dari jauh. Walau sempat berharap lebih. Berkat dia, aku bisa mengenal Dika. Seorang cowok bawel yang terus saja mengajakku bicara meski kuabaikan. Dia begitu manis saat tersenyum. Kepercayaan dirinya yang tinggi terkadang membuatku sebal tapi terlepas dari apapun, dia memang teman yang baik. Dika memberikan kesempatan bagiku untuk melakukan apa yang ingin aku lakukan selama ini. Dia memberitahuku arti sebuah pertemanan. Bagaimana rasanya pulang bersama teman, mengobrol, makan bersama bahkan berkunjung ke rumah tanpa rasa malu. Dia telah mengajariku banyak hal bahkan tanpa kusadari. Ya, walau dia sempat pingsan awalnya saat pertama kali bertemu mama. Dika, si cowok bawel itu bahkan tanpa tahu malu sempat mengajak papa berantem karena mengira papa sebagai maling. Jika kuingat lagi, tanpa kusadari dia telah masuk dalam hidupku melebihi dari arti seorang Duta bagi Usually. Dia telah menjadi sebuah puzzle terakhir yang melengkapi hidup seorang Usually. Ghazy? Dia adalah adik kelas yang baik dan penuh perhatian. Aku akui, berkat dia akhirnya aku menyadari bahwa Dika adalah seseorang yang layak kupertimbangkan sebagai seseorang lelaki. "Ada tamu," Aku memutar bola mataku ke atas dengan malas. Surai panjang dari rambut mama telah menutupi wajahku. Mama sudah di atasku, tanpa kusadari seperti biasanya. "Dika?" tanyaku. "Bukan," jawab mama. "Siapa?" tanyaku lagi. Mama menjauhkan tubuhnya, duduk manis di kasurku. "Melly," jawabnya masih dengan suara pelan yang membuat bulu kuduk berdiri jika saja tidak terbiasa mendengarnya. "Melly?" tanyaku heran. Aku bangun, masih menatap mama dengan wajah tidak percaya. Mama mengangguk sekali lagi. "Teh? Jus? Kopi?" tanya mama menanyakan minuman yang harus dia suguhkan pada Melly. "Teh," jawabku lantas beranjak dari kasurku. Aku keluar kamar dengan agak terburu lalu menemui Melly yang sudah menungguku di ruang tamu. "Melly," sapaku saat kulihat cewek kuliahan itu sudah duduk manis menunggu kedatanganku. "Hai, Al!" dia balas menyapa. Aku duduk di sampingnya. "Ada apa?" tanyaku langsung, enggan berbasa-basi. "Dika," jawabnya yang seketika membuatku menjadi tegang. "Ada apa dengan Dika?" tanyaku sedikit merasa cemas. "Apa kamu menolaknya?" tanya Melly. "Heh?" "Ya, aku nggak nyalahin kamu sih, Al. Perasaan kan emang nggak bisa dipaksa, cuma bisakah kamu menghiburnya? Sudah dua hari ini aku melihatnya murung!" Melly nyerocos. Dia memang Dika versi permpuan. "Anu, aku," "Iya paham, kamu suka Duta. Aku tahu, cuma aku nggak tega ngeliat Dika nggak bersemangat. Dia udah kayak kehilangan pita suaranya tahu nggak? Sedih deh aku liat dia kayak gitu. Please, Al ikut aku kerumahnya ya. Hibur dia ya!" Melly memotong pembicaraanku dan nggak ngasih kesempatan aku ngomong. Dika dan Melly ternyata mewarisi satu gen yang sama, Bawel! "Aku belum memutuskan apapun, Mel!" ucapku yang langsung membuat Melly menganga tidak percaya. "Lho? Kalau gitu kenapa Dika murung?" tanyanya balik. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan. "Justru itu, aku juga nggak tahu." jawabku. Melly menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Oke, baiklah! Kita ke rumah dia aja sekarang!" usul Melly. "Oke, aku mandi dulu!" ucapku. Melly hanya mengangguk pelan. "Jangan lama-lama. Mau mandi atau nggak, kamu nggak kelihatan!" guraunya yang seketika membuatku hanya mampu geleng kepala. Selesai mandi dan bersiap, aku dan Melly segera menuju rumah Dika. Sepanjang perjalanan aku tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku. Akhirnya hari ini aku bisa bertanya langsung padanya, mengapa dia menghindariku dan mengapa dia murung. Akan aku tanyakan semuanya. Akan aku ungkapkan semua keluh-kesahku. Semuanya. Dan Dika, cowok bawel itu harus menjawab semua pertanyaan yang kuajukan. Harus! Dik, wait me! *** Aku sudah berada di ruang tamu, duduk dengan keringat yang sudah membasahi punggung. Kulihat Dika yang duduk di depanku. Sudah 30 menit berlalu sejak aku dipaksa masuk ke rumah Dika sendirian oleh Melly dan sejak itu pula aku dan Dika hanya diam dalam keheningan. Baik aku ataupun Dika, kami berdua, tidak ada satu pun di antara kami yang bernyali untuk membuka suara. Agaknya Dika memang sudah kehilangan kemampuannya untuk bicara, cowok bawel itu hanya bungkam dan sama sekali tidak berminat untuk mengajakku bicara. "Dik," aku memberanikan diriku memulai pembicaraan. Dika mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahku. Tidak ada sahutan dari mulutnya, hanya sebuah tatapan tajam dari manik matanya yang hitam. "Kamu kenapa?" tanyaku. Dika masih diam, malah sekarang berekspresi bingung. "Kenapa kamu menghindariku? Apa aku buat salah?" tanyaku lagi, kali ini lebih jelas maksudnya. Dika hanya menggeleng pelan. "Lalu kenapa kamu murung? Akhir-akhir ini kamu juga nggak ke rumahku, nggak ngajak aku bicara dan bahkan kamu selalu ngejauh jika aku deketin. Kamu kenapa?" tanyaku bertubi-tubi. Kukeluarkan semua uneg-uneg di hatiku. Dika hanya tersenyum getir. "Nggak apa-apa, Al!" jawab Dika. "Nggak apa-apa kok sikapmu gitu?" tanyaku sekali lagi, mendesaknya untuk berterus terang. "Nggak apa-apa," sahut Dika lagi. "Udah nggak mau temenan sama aku lagi?" tanyaku dengan nada suara serius membuat Dika segera mengelengkan kepalanya cepat. "Bukan gitu," bantahnya. "Lalu kenapa?" tanyaku dengan sedikit kesal. "Aku hanya menyerah," jawab Dika pada akhirnya. "Kenapa menyerah?" tanyaku menuntut penjelasan. "Kamu hanya menyukai Duta dan aku paham itu," jawab Dika dengan ekspresi wajah yang menunjukkan kesedihan. "Kata siapa?" tanyaku. "Sudah jelas kan? Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku menyukaimu, tetapi kamu selalu saja mengatakan nggak!" Dika mulai meledak. "Lalu?" tanyaku mencoba memancing kekesalannya. "Ya, bayangkan Al. Ini sudah setahun. Sudah setahun aku berjuang untukmu tapi yang kamu lihat hanya Duta, Duta dan Duta. Kamu bahkan lebih memilih memberikan kesempatan pada orang baru seperti Ghazy untuk kamu pertimbangkan. Bagaimana denganku Al?" Dika mulai marah. Aku tersenyum kecil menanggapi kemarahannya. "Aku serius, Al! Parahnya dua hari yang lalu, saat aku mendatangimu, yang kamu sebut namanya dalam tidurmu Duta bukan aku," Dika tertunduk lemas. “Kamu ke rumahku?’ tanyaku. Dika tergagap lalu memalingkan wajahnya. “Pokoknya, aku sudah menyerah!” rajuknya. “Jangan Dik, aku bahkan belum memutuskan apapun,” cegahku. “Jangan egois, Al! Aku nggak akan selamanya menunggumu untuk melihatku,” Dika menunduk dalam-dalam. "Karena itu, aku menyerah, Al! Semoga kamu bahagia!" doanya tulus. Saat itu yang kulihat darinya adalah sebuah ekspresi wajah kesedihan dan kebahagian yang menyiratkan sebuah keikhlasan. Dika tulus mengatakannya. Entah aku terbawa suasana atau ini emang perasaanku, aku bergerak mendekati Dika. Kupeluk dia dan seketika kurasakan Dika yang tersentak kaget dan hendak mendorongku menjauh. Namun kucegah dengan melingkarkan tanganku di punggungnya. "Dik, aku kangen," bisikku penuh kesungguhan. Dika dan aku membatu sekali lagi. Tidak ada kata-kata lain yang terucap seolah kami sedang mentraslate debaran jantung masing-masing. Sedetik kemudian, Dika mulai membalas pelukanku membuatku jantungku brpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya. “Aku juga kangen kamu, Al!” bisiknya dengan ketulusan yang langsung terasa. Ah, Dika betapa nyamannya aku berada di sisimu seperti ini. Seandainya kamu tahu itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN