"Dalam diammu, aku melihat sebuah kesedihan dan kebahagian yang bercampur menjadi sebuah keikhlasan,"
Aku kembali terbaring dengan sebuah pemikiran tak bertuan. Sudah lama aku merindukan kedamaian dalam hidupku tapi tampaknya ini menjadi sebuah kisah panjang dan rumit.
Awal pertemuanku dengannya kuanggap sebagai sebuah keajaiban. Dimana dia menyadarkan aku akan pentingnya bersosialisasi meski aku belum juga dapat berbaur sepenuhnya. Setidaknya keberadaanku mulai disadari meski belum diakui.
Duta, ya dia adalah cinta pertamaku. Menjadi stalker dan mencintainya secara rahasia adalah sebuah takdir indah yang membawaku dalam sebuah pintu dunia. Dia membuka duniaku dan aku bahagia hanya dengan memandangnya dari jauh. Walau sempat berharap lebih.
Berkat dia, aku bisa mengenal Dika. Seorang cowok bawel yang terus saja mengajakku bicara meski kuabaikan. Dia begitu manis saat tersenyum. Kepercayaan dirinya yang tinggi terkadang membuatku sebal tapi terlepas dari apapun, dia memang teman yang baik.
Dika memberikan kesempatan bagiku untuk melakukan apa yang ingin aku lakukan selama ini. Dia memberitahuku arti sebuah pertemanan. Bagaimana rasanya pulang bersama teman, mengobrol, makan bersama bahkan berkunjung ke rumah tanpa rasa malu. Dia telah mengajariku banyak hal bahkan tanpa kusadari.
Ya, walau dia sempat pingsan awalnya saat pertama kali bertemu mama. Dika, si cowok bawel itu bahkan tanpa tahu malu sempat mengajak papa berantem karena mengira papa sebagai maling. Jika kuingat lagi, tanpa kusadari dia telah masuk dalam hidupku melebihi dari arti seorang Duta bagi Usually. Dia telah menjadi sebuah puzzle terakhir yang melengkapi hidup seorang Usually.
Ghazy?
Dia adalah adik kelas yang baik dan penuh perhatian. Aku akui, berkat dia akhirnya aku menyadari bahwa Dika adalah seseorang yang layak kupertimbangkan sebagai seseorang lelaki.
"Ada tamu,"
Aku memutar bola mataku ke atas dengan malas. Surai panjang dari rambut mama telah menutupi wajahku. Mama sudah di atasku, tanpa kusadari seperti biasanya.
"Dika?" tanyaku.
"Bukan," jawab mama.
"Siapa?" tanyaku lagi.
Mama menjauhkan tubuhnya, duduk manis di kasurku.
"Melly," jawabnya masih dengan suara pelan yang membuat bulu kuduk berdiri jika saja tidak terbiasa mendengarnya.
"Melly?" tanyaku heran.
Aku bangun, masih menatap mama dengan wajah tidak percaya.
Mama mengangguk sekali lagi.
"Teh? Jus? Kopi?" tanya mama menanyakan minuman yang harus dia suguhkan pada Melly.
"Teh," jawabku lantas beranjak dari kasurku.
Aku keluar kamar dengan agak terburu lalu menemui Melly yang sudah menungguku di ruang tamu.
"Melly," sapaku saat kulihat cewek kuliahan itu sudah duduk manis menunggu kedatanganku.
"Hai, Al!" dia balas menyapa.
Aku duduk di sampingnya.
"Ada apa?" tanyaku langsung, enggan berbasa-basi.
"Dika," jawabnya yang seketika membuatku menjadi tegang.
"Ada apa dengan Dika?" tanyaku sedikit merasa cemas.
"Apa kamu menolaknya?" tanya Melly.
"Heh?"
"Ya, aku nggak nyalahin kamu sih, Al. Perasaan kan emang nggak bisa dipaksa, cuma bisakah kamu menghiburnya? Sudah dua hari ini aku melihatnya murung!" Melly nyerocos. Dia memang Dika versi permpuan.
"Anu, aku,"
"Iya paham, kamu suka Duta. Aku tahu, cuma aku nggak tega ngeliat Dika nggak bersemangat. Dia udah kayak kehilangan pita suaranya tahu nggak? Sedih deh aku liat dia kayak gitu. Please, Al ikut aku kerumahnya ya. Hibur dia ya!" Melly memotong pembicaraanku dan nggak ngasih kesempatan aku ngomong.
Dika dan Melly ternyata mewarisi satu gen yang sama, Bawel!
"Aku belum memutuskan apapun, Mel!" ucapku yang langsung membuat Melly menganga tidak percaya.
"Lho? Kalau gitu kenapa Dika murung?" tanyanya balik.
Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.
"Justru itu, aku juga nggak tahu." jawabku.
Melly menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Oke, baiklah! Kita ke rumah dia aja sekarang!" usul Melly.
"Oke, aku mandi dulu!" ucapku.
Melly hanya mengangguk pelan.
"Jangan lama-lama. Mau mandi atau nggak, kamu nggak kelihatan!" guraunya yang seketika membuatku hanya mampu geleng kepala.
Selesai mandi dan bersiap, aku dan Melly segera menuju rumah Dika. Sepanjang perjalanan aku tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku. Akhirnya hari ini aku bisa bertanya langsung padanya, mengapa dia menghindariku dan mengapa dia murung. Akan aku tanyakan semuanya. Akan aku ungkapkan semua keluh-kesahku. Semuanya. Dan Dika, cowok bawel itu harus menjawab semua pertanyaan yang kuajukan. Harus!
Dik, wait me!
***
Aku sudah berada di ruang tamu, duduk dengan keringat yang sudah membasahi punggung. Kulihat Dika yang duduk di depanku. Sudah 30 menit berlalu sejak aku dipaksa masuk ke rumah Dika sendirian oleh Melly dan sejak itu pula aku dan Dika hanya diam dalam keheningan.
Baik aku ataupun Dika, kami berdua, tidak ada satu pun di antara kami yang bernyali untuk membuka suara. Agaknya Dika memang sudah kehilangan kemampuannya untuk bicara, cowok bawel itu hanya bungkam dan sama sekali tidak berminat untuk mengajakku bicara.
"Dik," aku memberanikan diriku memulai pembicaraan.
Dika mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahku. Tidak ada sahutan dari mulutnya, hanya sebuah tatapan tajam dari manik matanya yang hitam.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
Dika masih diam, malah sekarang berekspresi bingung.
"Kenapa kamu menghindariku? Apa aku buat salah?" tanyaku lagi, kali ini lebih jelas maksudnya.
Dika hanya menggeleng pelan.
"Lalu kenapa kamu murung? Akhir-akhir ini kamu juga nggak ke rumahku, nggak ngajak aku bicara dan bahkan kamu selalu ngejauh jika aku deketin. Kamu kenapa?" tanyaku bertubi-tubi. Kukeluarkan semua uneg-uneg di hatiku.
Dika hanya tersenyum getir.
"Nggak apa-apa, Al!" jawab Dika.
"Nggak apa-apa kok sikapmu gitu?" tanyaku sekali lagi, mendesaknya untuk berterus terang.
"Nggak apa-apa," sahut Dika lagi.
"Udah nggak mau temenan sama aku lagi?" tanyaku dengan nada suara serius membuat Dika segera mengelengkan kepalanya cepat.
"Bukan gitu," bantahnya.
"Lalu kenapa?" tanyaku dengan sedikit kesal.
"Aku hanya menyerah," jawab Dika pada akhirnya.
"Kenapa menyerah?" tanyaku menuntut penjelasan.
"Kamu hanya menyukai Duta dan aku paham itu," jawab Dika dengan ekspresi wajah yang menunjukkan kesedihan.
"Kata siapa?" tanyaku.
"Sudah jelas kan? Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku menyukaimu, tetapi kamu selalu saja mengatakan nggak!" Dika mulai meledak.
"Lalu?" tanyaku mencoba memancing kekesalannya.
"Ya, bayangkan Al. Ini sudah setahun. Sudah setahun aku berjuang untukmu tapi yang kamu lihat hanya Duta, Duta dan Duta. Kamu bahkan lebih memilih memberikan kesempatan pada orang baru seperti Ghazy untuk kamu pertimbangkan. Bagaimana denganku Al?" Dika mulai marah.
Aku tersenyum kecil menanggapi kemarahannya.
"Aku serius, Al! Parahnya dua hari yang lalu, saat aku mendatangimu, yang kamu sebut namanya dalam tidurmu Duta bukan aku," Dika tertunduk lemas.
“Kamu ke rumahku?’ tanyaku.
Dika tergagap lalu memalingkan wajahnya.
“Pokoknya, aku sudah menyerah!” rajuknya.
“Jangan Dik, aku bahkan belum memutuskan apapun,” cegahku.
“Jangan egois, Al! Aku nggak akan selamanya menunggumu untuk melihatku,” Dika menunduk dalam-dalam.
"Karena itu, aku menyerah, Al! Semoga kamu bahagia!" doanya tulus.
Saat itu yang kulihat darinya adalah sebuah ekspresi wajah kesedihan dan kebahagian yang menyiratkan sebuah keikhlasan. Dika tulus mengatakannya.
Entah aku terbawa suasana atau ini emang perasaanku, aku bergerak mendekati Dika. Kupeluk dia dan seketika kurasakan Dika yang tersentak kaget dan hendak mendorongku menjauh. Namun kucegah dengan melingkarkan tanganku di punggungnya.
"Dik, aku kangen," bisikku penuh kesungguhan.
Dika dan aku membatu sekali lagi. Tidak ada kata-kata lain yang terucap seolah kami sedang mentraslate debaran jantung masing-masing. Sedetik kemudian, Dika mulai membalas pelukanku membuatku jantungku brpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
“Aku juga kangen kamu, Al!” bisiknya dengan ketulusan yang langsung terasa.
Ah, Dika betapa nyamannya aku berada di sisimu seperti ini. Seandainya kamu tahu itu.