"Cinta akan berubah menjadi sebuah obsesi saat kepercayaan diri terlalu tinggi,"
Aku tersenyum simpul saat kubuka pintu dan kutemui Dika yang sudah berdiri menungguku di depan rumah.
"Pagi, Al!" sapanya ramah.
"Pagi," balasku menyapa Dika.
Kami pun berjalan bersama, beriringan walau tidak sampai gandengan tangan.
Kemarin, berkat Melly-sepupu Dika sekaligus temanku dan mantan Duta, aku dan Dika akhirnya baikan. Walau aku belum menjawab apapun soal pengakuan cinta Dika, kami sudah bicara kembali itu sudah cukup.
Entah sejak kapan, aku tidak mau kehilangan Dika. Lagi.
Selamanya.
Meski aku belum memberitahukan tentang itu padanya karena tidak mau salah melangkah dan akhirnya menyakiti Dika lagi. Aku ingin meyakinkan diriku tentang siapa yang akan kupilih nanti.
"Nanti mampir?" tanyaku pada Dika.
Dika mengangguk yakin.
"Mampirlah, sudah dua hari aku absen makan masakan mamamu," sahutnya bersemangat.
"Bagus, deh!" ucapku.
"Kok gitu?" tanya Dika penasaran.
"Mama sudah masak lebih tadi. Papa juga sudah nanyain mulu," jawabku menjelaskan.
"Wah, aku dikangenin sama keluarga tak kasat mata," kata Dika setengah bergurau.
"Ih, apa sih Dik. Kamu pikir kami keluarga hantu?" gerutuku kesal.
Dika hanya tertawa sambil mengacak-acak rambutku asal.
"Ih, jangan! Berantakan ntar!" larangku mencegah Dika melakukan kegiatannya.
Dika hanya senyum.
"Akhir-akhir ini kamu banyak bicara, Al. Aku suka." katanya yang seketika membuatku menunduk diam. Malu.
"Lah, langsung nggak ada suaranya. Itu pujian lho!" kata Dika.
Aku tidak peduli, hanya mencoba menyembunyikan wajahku yang sedikit memerah karena ucapan Dika yang bahkan nggak mengandung kegombalan sama sekali.
Tiba-tiba Dika berhenti membuatku mendongakkan kepalaku. Kulihat Duta yang sudah berdiri di depan gerbang sekolah. Sepertinya dia menungguku.
"Aku mau bicara sama Ally, boleh?" tanya Duta pada Dika.
Dika hanya menoleh ke arahku.
"Gimana Al?" tanya Dika balik.
Aku hanya menatap Duta ragu.
"Please," mohon Duta.
Aku pun mengangguk mengiyakan.
"Maaf, Dik!" ucapku merasa tidak enak.
Dika hanya tersenyum kecil.
"Nggak apa-apa," katanya lalu berjalan mendekati Duta.
"Jangan sakiti dia, oke!" pesan Dika pada Duta lalu pergi.
Tinggallah aku dan Duta, berdiri canggung dengan perasaan kalut yang menyelubung.
Rasanya sungguh aneh. Kini saat kulihat Duta, walau perasaan itu masih ada, kuakui tidak seperti waktu itu lagi. Ini perasaan yang sedikit berbeda.
"Kita kesana saja," usul Duta sembari menunjuk ke pojok kiri dari gedung sekolahku.
Aku mengangguk mengiyakan.
Kami pun berjalan ke sana. Duta dan aku memang sengaja menjauh dari para siswa-siswi yang mulai berdatangan, kami ingin mengobrol dari hati ke hati.
"Al," panggil Duta saat kami sudah berdiri berhadapan.
"Ya, Dut?" sahutku.
"Aku minta maaf," ujar Duta bersungguh-sungguh.
Aku menggeleng pelan.
"Nggak, Dut harusnya aku yang minta maaf sama kamu," sanggahku.
"Kemarin aku sudah bersikap kasar sama kamu, aku sungguh minta maaf!" ucapku panjang-lebar.
Duta menggeleng pelan.
"Nggak, ini salahku Al. Aku udah egois jadi ini salah aku," sanggah Duta lagi.
"Nggak, salahku," elakku.
"Bukan, salahku,"
"Salahku,"
"Aku, Dut!" kataku rada maksa.
Duta hanya tersenyum tipis.
"Yaudah salahmu," katanya lalu tergelak membuatku pun akhirnya ikut tertawa.
"Ngomong-ngomong kemarin tamparanmu sakit lho," sindir Duta
Aku tempelkan tanganku di pipinya yang kutampar kemarin.
"Cepat sembuh ya, pipi!" ucapku.
Duta terdiam, cowok itu menatapku lekat hingga aku pun membalas tatapannya. Kami bertatapan selama beberapa detik.
Duta tiba-tiba mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Al,"
"Ya?"
"Kalau nggak kau lepasin tanganmu dariku, aku bakal khilaf lho!" katanya mengingatkan.
"Ah, maaf!" kataku seraya menarik tanganku dari pipi Duta.
Duta hanya mengangguk kecil.
"Nggak apa-apa, Al!" kata Duta.
Tak lama kemudian bel sekolah berbunyi, aku dan Duta pun segera masuk dengan hati lega karena sudah menyelesaikan masalah.
Sejujurnya aku merasa terbebas dari rasa bersalah karena telah menampar Duta dan menyakiti Dika. Walau hatiku belum memutuskan, setidaknya saat ini kami bertiga baik-baik saja.
***
Bel tanda istirahat berbunyi, tanpa perlu ditunggu para pelanggangku sudah mengulurkan uang mereka.
"Mie bakso pak Cing satu,"
"Roti cokelat dua,"
"Jus jambu 3,"
Aku hanya menghela napas panjang. Lelah sudah dua tahun begini tapi tidak ada alasan buat berhenti.
"Al!!"
Teriakan itu seketika membuatku menoleh, kulihat Dika yang langsung datang dan menarikku agar berdiri.
"Mulai hari ini dilarang nyuruh Ally!" katanya tegas.
"Dih kok gitu sih?" ketus salah satu temanku.
"Ayang Dika, jangan gitu ah!" Benni, si banci Thailand kw ikutan.
"Dia calon pacarku, dilarang nyuruh dia!" ucap Dika tegas lalu menarik tanganku untuk pergi.
Aku tidak melawan, hanya mengikuti Dika yang menggandeng tanganku dengan gagah. Sekilas, kupikir dia pangeran.
Kami menuju kantin, duduk bersama seperti biasa lalu Duta datang, bergabung.
"Dik, bantuin dong! Aku nggak kuat tauk bawa tiga mangkok bakso sama tiga gelas es teh sendirian," protes Duta.
"Iya, iya, aku bantuin!" kata Dika lalu berdiri dari duduknya.
"Aku bantuin juga ya?" kataku menawarkan bantuan.
"Nggak!" teriak Duta dan Dika bersamaan membuatku yang mau berdiri akhirnya duduk lagi.
"Ally duduk aja!" kata Duta.
"Hu'um, calon pacarku dilarang capek!" Dika menimpali.
"Dih, calon pacarku tauk!" protes Duta.
"Sama aja," sahut Dika.
Keduanya pun saling merangkul, tertawa renyah seolah apa yang mereka katakan bukanlah sesuatu yang serius.
Aku hanya tertawa melihat kedua cowok ganteng yang menyebut diri mereka cogan nomer satu dan dua sejak kelas X. Melihat mereka seakur itu membuatku sedikit merasa lega seolah aku baru saja menemukan jalan untuk segera memutuskan.
Hatiku, sudahkah kamu temukan jawabannya?
***
"Al,"
Panggilan itu membuatku menoleh, agak kaget.
"Wah saingan berkurang satu," celotehnya.
Dia mendekat lalu mencolek pelan hidungku.
"Kok disini?" tanyaku heran.
Cowok berpakaian olahraga itu hanya tersenyum simpul.
"Kangen calon pacarku," jawabnya membuatku seketika merona, tersipu.
"Apa sih, Dik!" ucapku seraya berusaha menahan senyum yang sudah berontak ingin lepas.
"Dih senyum aja kali, Al nggak usah ditahan-tahan," goda Dika.
"Siapa yang mau senyum, nggak tuh!" elakku.
"Senyum nggak apa-apa," Dika masih menggodaku.
"Nggak, tauk ah!" kataku lalu memalingkan wajahku.
"Udah naksir aku ya?" tanyanya, rada maksa dikit.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku seraya berusaha menjauh dari Dika.
"Ciyee, nggak mau ngaku!" godanya.
Aku hanya terus berjalan pergi dan si Dika tidak henti-hentinya mengoceh dengan pertanyaan yang sama.
"Udah naksir aku ya, Al?"
Untuk pertanyaaan itu, tidak akan aku jawab.
Untuk sekarang. Tidak tahu nanti. Cukuplah hari ini hanya satu hati yang aku patahkan dan semoga nanti tidak akan ada lagi yang kukecewakan. Semoga.
***
Aku menghentikan langkahku saat kulihat Duta sudah berdiri di depan kelasku.
"Al," sapanya ramah.
"Ah, iya," sahutku sambil celingak-celinguk.
"Nyari Dika?" tebak Duta.
Aku hanya menggeleng ragu.
"Nggak, kok!" elakku.
"Pulang sama aku hari ini," kata Duta.
"Oh, oke!" kataku.
Aku dan Duta pun berjalan beriringan.
"Al,"
"Ya?"
"Bentar lagi kau ujian kan ya," kata Duta membuka obrolan.
"Iya, Dut!" jawabku.
"Habis itu lulus dong," kata Duta.
"Iya," jawabku.
"Mau lanjut kemana?" tanya Duta.
Aku berpikir sejenak lalu mengangkat kedua bahuku.
"Entahlah," jawabku.
"Masih belum tahu?" tanya Duta.
Aku mengangguk.
"Iya, masih bingung!" jawabku jujur.
"Kalau aku sih ntar masuk kampus S," kata Duta.
"Oh ya? Padahal masih setahun lagi, udah ada rencana?" tanyaku.
Duta mengangguk.
"Iya, Al. Aku mau ke kampus S karena disana ada program beasiswa yang akan membuatku bisa lanjut ke Jepang. Impianku kuliah disana," terang Duta.
"Wah, selamat berjuang Dut!" kataku menyemangati.
"Makasih, Al!" kata Duta senang karena aku menyemangatinya.
"Oh iya, Dika kemana?" tanyaku kembali teringat Dika.
"Kudengar dia sedang menemui adik kelas yang menembaknya," jawab Duta.
Langkah kakiku terhenti.
"Heh?"
"Dika sedang ditembak cewek, kamu nggak tahu? Dia kan sangat populer akhir-akhir ini," Duta menambahkan.
Kepalaku mendadak puyeng.
"Ditembak dimana?" tanyaku.
"Di belakang sekolah," jawab Duta.
"Hah?!!"
"Mau nyusul?" tanya Duta membuatku hanya diam, bingung.
Kalau pergi, Duta terluka. Kalau tidak pergi, nanti Dika jadi milik orang lain.
Bagaimana ini?!!
"Al!" panggil Duta mencoba menyadarkan aku yang hanya bengong.
"Dut, aku-,"
Aku berbalik, hendak lari tapi s**l. Kakiku tersandung sehingga aku terjatuh.
Brakk.
Pingsan.