BAB 8

1800 Kata
“Seperti air yang akan selalu bermuara ke lautan, aku akan selalu melihatmu sekeras apapun aku berusaha menjauh.” Pagi ini Dika menepati janji, cowok bawel yang selalu menyebut dirinya sebagai pangeranku itu datang menjemputku sekitar jam setengah tujuh. Dia bahkan ikut bergabung untuk sarapan. Dika bahkan berkenalan dengan Papa tanpa perlu disuruh. Papa yang tidak pernah melihatku kedatangan tamu ke rumah sempat menangis haru. Papa memang seorang lelaki yang sentimentil, suka nangis untuk hal-hal yang tidak perlu seperti saat tim bola kesayangannya kalah, saat melihat uang logam di jalan dan hal tidak perlu lainnya. “Dika, Om,” kata Dika saat memperkenalkan dirinya ke Papa tadi. “Hoooo.” Papa menatap Dika dengan mata lebar penuh kekaguman. “Pangerannya Ally, Om,” kata Dika dengan bangga sehingga membuatku berdecak mendengar ucapannya itu. Alih-alih membenarkan ucapan ngawurnya dan mengenalkan dirinya sebagai adik kelas atau temanku, Dika malah tetap bersikukuh menyebut dirinya pangeran. Dika juga tanpa diminta segera menceritakan pertemuan pertamanya denganku dengan gaya hiperbola yang menyebabkan papaku makin terhura. Sepertinya mereka benar-benar lelaki drama, alay amat. Mama yang ada di sana juga hanya diam menyimak apa yang Dika katakan. Mama dan Papa sudah terpikat pesona kebawelan Dika. “Udah sampai,” kata Dika membuatku tersadar. “Tuh, kelasmu!” tunjuk Dika ke arah kelasku. Aku hanya mengerjapkan mata dua kali. Sebelum sempat melangkah, Dika meraih tanganku. “Al,” panggilnya. “Apa?” “Aku antar,” katanya sambil mulai berjalan ke kelasku dengan menggandeng tanganku. Sampai di kelas, ditemani dengan wajah kaget teman-temanku yang tidak percaya seorang Dika, cogan nomer dua di kelas X—kata Dika menggandeng tangan seorang cewek transparan yang awalnya tidak diakui, aku hanya berdiri bungkam dengan kepala tertunduk. “Nggak ada uang di bawah, Al! Angkat kepalamu, busungkan dadamu, biar nggak bungkuk.” celoteh Dika sambil tertawa geli. Aku menurut tanpa perlawanan. Dika yang melihatku begitu tampak senang. Dika kembali mengusap rambutku beberapa kali. “Good girl,” pujinya. Aku lagi-lagi tersipu dengan perlakuannya itu. “Jangan naksir lho, kemarin bilangnya nggak mau,” goda Dika sambil tersenyum. Cowok bawel itu bahkan melambaikan tangannya membuatku seketika diserbu teman-temanku yang memang penggemar Dika, Beni dan kawan-kawan maksudku. “Kamu ada hubungan apa sama Dika-sama?” tanya Beni dengan wajah merengut. “Iya, kamu sepupunya? Kakaknya atau tetangganya?” tanya Dinda, teman sekelas sekaligus koloninya si Beni. Aku mengerutkan keningku. Kesel sebenarnya, dari semua dugaan Dinda, kenapa dia tidak mengira aku ini gebetan atau pacarnya Dika? Emang aku kelihatan seperti tetangganya Dika? “Ngomong-ngomong, Dika tambah ganteng ya,” kata Mulya, koloni Beni. “Iya, ganteng banget.” Dinda menimpali. “Tapi aku sih tetep naksirnya sama ayang Duta,” Wardah ikut bergabung. Aura kehadiranku lenyap dalam sekejap. Aku tidak sedih kali ini, karena bagiku itu hal yang menguntungkan. Aku jadi tidak perlu menjawab pertanyaan kepo dari mereka. Aku masuk ke kelas, mencoba tidak disadari sama sekali. Malas berurusan dengan orang lain yang tidak ingin dekat denganku karena memang ingin. Maksudku, didekati hanya untuk menggali informasi dari orang yang dianggap dekat denganku, itu menyebalkan. Memuakkan dan aku tidak suka itu. Apa hanya aku yang merasa begitu? Jika iya, aku rasa hanya aku satu-satunya manusia normal di dunia ini. *** Bel istirahat berbunyi ketika aku masih berkutat dengan materi sejarah yang harus dicatat. Gurunya terlalu asyik menulis di papan sehingga hari ini banyak sekali tulisan materi di papan yang harus aku tulis. “Nitip, dong!” “Mie ayam satu,” “Siomay ya, nggak pedes!” Aku mendongakkan kepalaku, menatap jejeran uang yang kembali tersodor ke arahku. Aku tidak keberatan sebenarnya dengan kebiasaan ini tetapi kali ini aku merasa terganggu. Catatan di papaun tulis biasanya terhapus jika ditunda kutulis di buku catatan dan aku tidak ingin ketinggalan materi. Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan kegiatan rutinitas ini. “Anu,” dengan kikuk aku mencoba menjelaskan bahwa aku akan melakukan aktifitas itu setelah aku selesai menulis. Namun rasanya lidahku menjadi kelu, kata-kata itu seolah tertahan meski sudah berada di ujung bibirku. “Dih lama, deh! Ini uangnya, keburu habis siomayku,” desak temanku. “Iya, nih! Udah mulai nggak guna jadi teman.” Seorang lagi menimpali. “Anu.” Aku sekali lagi mencoba menjelaskan. “Dih, yaudah kalau nggak mau,” desis yang lain lalu berbalik pergi. “Pelit amat sih! Mentang-mentang udah jadi tetangganya Dika ya,” sergah yang lain. “A-.” “Nggak guna!” Aku mengunci bibirku, percuma, jika mencoba menjelaskan sesuatu kepada seseorang yang bahkan tidak memberi kesempatan bicara. Bangkuku kembali sepi. “Hai, Ally!” Sapaan lembut dari cowok bawel alias Dika itu membuatku menoleh. Dika tersenyum tipis sambil menatap menggoda ke arahku. Aku yang melihatnya begitu hanya bisa memutar bola mataku malas. “Kusut amat itu muka, mau kusetrika?” godanya. Aku hanya manyun, kesal. “Kantin yuk!” ajaknya. Aku membuang muka, malas. “Dih gitu aja ngambek, baperan amat,” rengutnya sebal. Aku hanya diam. Bodo amatlah dia mau ngomong apa. “Lapar nih, Al! Kantin yuk!” ajaknya sekali lagi. Aku hanya diam. Malah berharap dia membiarkan aku sendiri tapi si Dika kali ini tidak peka. Dia terus saja memohon agar aku mau ke kantin. Lama-kelamaan aku jadi bosan mendengar kebawelannya. Aku bangkit dari kursiku dan mulai berjalan keluar kelas. Dika kegirangan, dia segera mengikutiku dan mensejajarkan langkahnya denganku. “Eh Al, tadi aku ulangan mendadak lho!” Mulai deh aksi-curhat-gratisnya si Dika. “Terus kan aku nggak belajar nih ya, panik dong aku. Teman-temanku juga panik, ngemis deh kami sama gurunya biar nggak jadi ulangan. Eh bukannya kasihan, gurunya tetep bersikukuh buat ulangan, Al!” cerita Dika dengan semangat. Aku yang diceritain hanya jalan lurus, malas menanggapi. Sementara Dika sudah over dosis, exited banget buat cerita. “Yaudah ya ulangan, aku kan udah gugup plus deg-deg-an gitu kan ya, trus tahu ndak Al, pas ulangan apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatapku. Aku yang ditatap hanya mengarahkan pandanganku ke depan. “Tahu nggak Al, pas ulangan apa yang terjadi?” ulang Dika, kali ini dia menghadangku dengan wajahnya yang sengaja dipalingkan ke depan wajahku. Aku terpaksa menatapnya yang sudah berbinar-binar, minta ditanggapi. “Oh, trus?” tanyaku. Dika senyum lalu menjauhkan wajahnya dariku lagi. “Ternyata pas aku baca soalnya, aku bisa jawab semua Al. Setelah kupikir-pikir, ternyata bener dugaanku selama ini, Al,” kata Dika sambil duduk di kursi kantin. Kami sudah sampai. Aku pun duduk di samping Dika. “Dugaan apa?’ kutanya, penasaran. “Kalau aku benar-benar jenius,” katanya lalu cekikikan. Aku menghela napas, menyesal karena sudah bertanya. Dika benar-benar sudah tidak bisa diselamatkan. Tingkat kenarsisannya sudah parah, stadium empat akhir mah kalau kanker. “Al, pesan apa?”tanya Dika. “Nggak, aku hanya ikut kamu aja,” jawabku. Dika menautkan alisnya lalu memasang wajah seperti orang yang hendak menangis. “Heh? Ada apa?’ tanyaku. “Al, nggak kusangka kamu sesuka itu sama aku. Sampai rela ke kantin buat nemenin aku gini,” katanya dengan alay. “Huh?” “Ntar ya, kubeliin batagor sebagai reward udah ngefans,” katanya lalu berlari pergi tanpa mendengarkan penjelasan dariku. “Dasar,” dengusku lalu mengalihkan pandanganku ke sekeliling. Deg! “Kak,” Aku membatu. Duta, si cogan plus-plus itu sudah berdiri di depanku dengan wajah tampan dan senyumannya yang menawan. Pesonanya benar-benar tidak tertandingi. “Pagi,” sapanya dan duniaku yang bising seketika menjadi sepi. Waktu seakan terhenti, aku merasa ini masih bagaikan mimpi. Aku cubit pelan tanganku. “Aw,” rintihku. “Heh? Kok cubit diri sendiri, Kak? Kakak emang lucu, deh!” katanya sambil tertawa geli. Bibirnya yang menyunggingkan senyuman itu membuatku menganga, pintu hatiku terbuka dengan segenap jiwa, sudah lupa kalau sebenarnya dia tidak boleh diharapkan lagi. “Oh iya,” kata Duta tiba-tiba. Cowok ganteng itu merongoh saku celananya dan mengeluarkan sebotol yakult lalu menyodorkannya padaku. “Nih!” katanya. Aku masih membeku, tidak sanggup untuk menggerakkan tanganku atau sekedar membalas ucapannya. “Makasih banget sudah nemuin ini,” katanya sambil menunjuk ke magnetic earring yang dia pakai di telinga kiri. “Ah,” kataku sambil menaik-turunkan kepalaku. “Aku jadi selamat dari amukan Melly,” lanjutnya. “Ini buat kakak,” kata Duta lalu meletakkan yakult ditangannya ke meja di depanku. “Aku ke kelas dulu, kak! Bye!” pamitnya lalu berjalan pergi setelah sebelumnya melambaikan tangan padaku. Aku masih diam, menatapnya dalam sebuah nestapa yang kelam. Melly? Jadi, nama cewek itu Melly? Beruntungnya kamu, Mel. “Pacar orang,” tegur Dika yang ternyata sudah duduk di sampingku lagi. Aku menatapnya sinis, kesal. Mengganggu imajinasi saja. Aku tersentak dengan bola mata melebar ketika kulihat Dika lagi minum yakult-istimewa-limited edition dari Duta milikku satu-satunya. “Aih, jangan diminum!” dengusku seraya merebut yakult yang sudah tinggal separuh itu. “Dih, yakult doang, Al! Ntar aku beliin!” sahut Dika enteng. “Nggak!” ujarku lalu bangun dari dudukku. “Mau kemana?” tanya Dika heran. “Kelas,” sahurku sewot. “Yakin? Batagor tuh!” tunjuknya sama batagor di depanku. Aku diam sebentar lalu duduk lagi. “Nggak jadi ke kelas?” goda Dika. Aku hanya diam, mulai makan batagor yang Dika beliin. “Laper?” goda Dika. Aku masih diam, mencoba tidak memperduliaknnya. Aku pun mulai membantai batagor yang tersaji di depanku. Entah kenapa enak banget, benar kata pepatah kalau yang gratis selalu dua kali lebih enak. Soal yakult biarlah, toh emang yakult tercipta untuk diminum bukan disimpan. Dika hanya cekikikan menatapku makan. Cowok bawel itu pun mulai memakan makanan miliknya. Kulirik, ternyata dia beli siomay. Kuincar telur rebus miliknya, kuambil dalam sekejap mata dan memasukkannya ke mulutku bulat-bulat. “Lah, Ally balas dendam,” ledek Dika. Aku hanya diam, mulai membantai telur rebus yang kuambil dari Dika. “Buat cewek cantik, jangankan telur rebus, hatiku yang merah merekah dan suci ini aku berikan,” Dika ngegombal. Aku tidak peduli, keasyikan ngunyah. “Dicuekin, nasib cogan kegantengan yang ngegoda cewek biasa dengan rambut pendek seukuran rambut Dora dengan poninya yang lucu dan muka datarnya gini nih!” ledek Dika. “Shock ya Al ada cowok ganteng naksir?” Dika mulai nyengir, aku yakin dia lupa minum obatnya pagi ini. Aku hanya diam, selain malas menanggapi Dika, mulutku masih penuh dengan telur rebus. “Tapi Al, kalau suatu saat aku jadi serius gimana?’ tanya Dika yang seketika membuatku berhenti mengunyah. “Aku bakal serius sepertinya, Al!” Dika menatap mataku lekat. Uhuk. Aku batuk, nyaris ngeluarin telur rebus dari hidung kalau seandainya tidak buru-buru minum yakult yang kupegang. “Al,” panggil Dika lembut. Kami bertatapan lagi, hanya sebentar lalu aku buru-buru bangkit dari dudukku dan bergegas kabur tanpa perlu menunggu Dika selesai bicara. “Oi, Al!” panggil Dika. Aku tidak peduli, tetap jalan bahkan setengah berlari. Jadi serius itu gimana maksudnya? Dia paham nggak sih sama apa yang dia omongin? Bahaya banget nih buat kesehatan jantungku!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN