“Garis singgung cinta tercipta dari dua hati yang saling berpotongan di satu titik, kalau cuma satu, namanya koordinat tidak berbalas.”
Pagi yang menyebalkan. Aku seharusnya olahraga tetapi ditiadakan karena hujan sejak pagi. Aku belum bertemu Dika, sengaja menghindarinya sejak kemarin. Untuk pertama kalinya aku pulang cepat—berbaur dengan teman-temanku, berdesak-desakan lebih tepatnya dan berangkat pagi-pagi buta untuk menghindarinya.
Kelasku bising dengan berbagai keramaian yang tercipta dari banyaknya kegiatan dari teman-temanku yang tenggelam dengan kesibukannya masing-masing. Kulihat ada yang tengah berkoloni membentuk komunitas game players di pojok kelas. Sebagian yang lain nonton bareng dari laptop yang dibawa salah satu temanku, sengaja bawa speaker mini malah, mungkin agar lebih bisa menghayati film yang ditonton. Ada yang berkelompok sambil bercanda dan ngegosip berbagai hal, ada yang tidur dan ada yang hanya bengong sepertiku. Dia bengong bukan karena tidak ada teman, mungkin sedang dirudung masalah dan enggan cerita. Jadi dibiarkan saja oleh temannya, menunggu agar si dirudung duka mau terbuka sendiri.
“Al,” panggilan itu membuyarkan lamunanku.
Aku menautkan alis, Wardah—bukan merek kosmetik, tapi teman sekelasku memanggilku dari bangkunya.
Aku tidak salah dengar kan ya? Dia manggil Al bukan kau atau oi.
“Dicari tuh,” katanya lalu menunjuk ke pintu kelas.
Aku menahan napas begitu melihat siapa yang berdiri di sana. Ya, itu si Dika, cogan nomer dua di kelas X.
Dika menggerak-gerakkan tangannya seolah memberikan isyarat padaku untuk mendekat kepadanya. Aku terpaksa bangkit dari dudukku lalu menemuinya.
“Ada apa?” tanyaku malas.
“Nanti pulang sekolah aku mau pergi,” jawabnya.
“Ooh,” kataku ogah-ogahan.
“Jalan-jalan,” kata Dika lagi. “Sama Duta juga.”
Aku menganga.
“Ikut nggak?” tanyanya menawarkan.
Aku masih bengong, tidak percaya.
“Ikut kan ya, pulang sekolah jangan kabur!” kata Dika tanpa menunggu persetujuanku.
“Bye,” pamitnya lalu segera berlari ke kelasnya saat dia melihat guru mata pelajarannya mulai berteriak-teriak marah karena Dika kabur.
Aku tertegun.
Dika ke aku hanya untuk itu? Dia gila? Jadi ucapannya kemarin hanya bercanda? Tidak mungkin kan dia naksir aku tetapi terkesan mau membantuku untuk lebih dekat sama Duta? Iya kan? Ya kan?
“Ngapain?”
Aku menoleh, kulihat Beni, si banci Thailand mulai kepo lagi.
“Hm,” aku membuat jeda panjang.
“Nggak mau bagi cerita ya? Pelit deh!” dengus Beni kesal.
“Bu-bukan, maksudku,”
“Apa?” potong Beni tidak sabaran.
Aku menghela napas panjang, menatap lantai yang pagi ini sudah disapu. Mencoba menenangkan detak jantungku yang sudah tidak beraturan. Tidak sanggup menatap mata Beni lama-lama. Sepertinya hanya dengan Dika aku bisa bicara dengan lancar atau memang aku cocoknya dengan manusia sejenis Dika?
Aih, aku mulai ngawur. Sepertinya ini efek omongan Dika kemarin.
“Ngapain Dika ganteng kesini?” tanya Mulya mendekati Beni.
“Entah, dia bisu kali, nggak mau jawab!” sindir Beni padaku.
Aku yang disindir hanya bisa menunduk dalam-dalam. Aku ingin berontak, ingin aku jawab pertanyaannya yang sebenarnya mudah sekali dijawab, tapi entah kenapa berat untuk melakukan hal sepele semacam itu.
“Balik TK sana, belajar ngomong!” Mulya ikut-ikutan.
“Namanya aja Usually, nggak cocok! Ganti aja jadi BISUSEKALI,” ledek Dinda sambil cekikikan.
Ketiga Trio itu pun mulai menyebalkan, mengusikku lagi dengan gerutu-gerutuan, ejek-ejekan yang membuatku semakin enggan berinteraksi dengan mereka. Memang sebaik-baiknya manusia memang yang bermanfaat untuk orang lain, tetapi adakah manusia di dunia ini yang secara sukarela dimanfaatkan? Manusia itu bagian dari ekosistem, udah lumrah jika mengharapkan timbal-balik. Benar bukan? Atau aku saja yang pemikirannya sempit.
Aku berjalan menuju bangkuku, menenggelamkan diriku dalam keheningan dan dunia yang kuciptakan sendiri. Bersama rinai hujan ynang kini sudah berganti gerimis, aku menjadikan diriku embun yang membentuk setengah lingkaran untuk melindungi diri dari kejamnya pertemanan di SMA.
Kata siapa mencari teman itu mudah? Sejak TK sampai SMA, aku belum pernah memiliki teman yang sebenarnya. Hanya menjadi sebuah pelengkap, teman musiman dan teman satu kelas tanpa membuat sebuah kenangan atau memiliki peran penting yang membuatku akan dicari saat hilang atau akan dirindukan meski hanya sekali.
Kata siapa mencari teman itu perkara yang sepele? Butuh banyak usaha untuk membuat seseorang diakui keberadaannya, dihargai perannya dan juga mendapatkan tempat walau sedikit di sudut hati seseorang. Hal itu sama sekali bukan hal yang sepele. Berat dan meski tidak kuat, tidak ada yang akan rela menggantikan di posisi sulit itu. Tidak ada! Itu kenyataannya, sudah dari dulu dan tidak bisa dibantah kebenarannya. Bahkan sahabat yang mengatas namakan ikatan mereka sehidup semati pun akan menjadi janji angin di kala salah satunya meninggal dunia. Tidak mungkin sahabat yang hidup akan menghabisi nyawanya untuk menyusul temannya yang sudah meninggal. Dia—hanya akan berduka selama beberapa hari, menitikkan air mata selama beberapa hari lalu melupakannya.
***
Waktu berjalan cepat, tidak terasa sudah pulang sekolah saja. Selama jam istirahat aku hanya menghabiskan waktuku di toilet sekolah. Bukan melarikan diri tetapi sedang sembelit. Aku rasa sarapan kopi dan sebuah apel yang mama sajikan tadi pagi benar-benar tidak cocok untuk perutku yang rapuh. Organ pencernaanku menjerit saat kafein memasuki lambungku. Perpaduan kandungan apel dengan kafein memperburuk reaksi lambungku. Semuanya menjadi kacau, nyeri dan akhirnya sembelit jadi makin melilit.
Aku tertegun saat mendengar langkah kali. Bukan dari satu orang tetapi dua orang. Aku nyaris melompat kegirangan saat melihat Dika dan Duta dari jendela kelas, tengah berjalan sambil mengobrol ke kelasku.
Dika muncul duluan di pintu kelasku, disusul oleh Duta. Keduanya tersenyum, walau aku lebih fokus pada Duta dan mengabaikan Dika.
“Siang, Cantik,” sapa Dika.
Aku pura-pura tuli.
“Oi, Al! Buruan!” panggil Dika dengan kesal karena diabaikan.
Aku bergeming, kakiku mendadak tidak bisa digerakkan.
“Hai, Kak,” sapa Duta dengan senyumnya yang super manis.
Aku tersenyum, tanpa sadar melambaikan tangan.
“Hai,” balasku.
“Dih, giliran Duta dibalas, aku nyapa dicuekin. Buruan ah, pangeranmu ini udah kelaparan,” gerutu Dika yang seketika membuatku menatap kesal ke arahnya.
“Buruan! Nanti aku tinggal lho!” kata Dika setengah mengancam.
Aku pun terpaksa menyandangkan tas ranselku dengan terburu-buru lalu sedikit berlari menghampiri Dika. Walau sebenarnya aku selalu mencari kesempatan untuk mencuri-curi pandang pada Duta. Hatiku senang sekali bisa sedekat ini dengannya. Terlebih kami akan jalan bersama, meski tidak berdua saja, bertiga sama Dika.
“Mau kemana?’ tanyaku saat kami sudah berada di parkiran.
“Jalan-jalan,” jawab Dika sambil naik ke sepeda motor miliknya.
Kulihat Duta yang juga naik ke atas sepeda motor miliknya yang berada di samping sepeda motor Dika. Dika memasang helmnya, begitu pula Duta dan keduanya menatap kompak ke arahku yang hanya diam di depan mereka.
“Nggak mau ikut?” tanya Dika.
“Hm,” aku menatap ragu ke arah Dika.
“Kamu nebeng akulah, kan pangeranmu aku, Al!” kata Dika mengusir tanda tanya di hatiku yang sebenarnya sudah jelas jawabannya.
Aku manyun, tidak rela mendengar jawaban Dika. Aku pun berjalan mendekati Dika sementara Duta tersenyum geli melihat Dika yang bergaya sok keren di depanku.
“Kalau mau nebeng aku, boleh kok!” celetuk Duta.
Uhuk.
Aku terbatuk, demikian pula Dika. Kami berdua sama-sama menatap Duta dengan pupil mata yang melebar, sementara Duta hanya tertawa kecil.
“Kompak amat batuknya,” goda Duta. “Aku bercanda,” lanjutnya yang entah kenapa membuatku merasa kecewa.
“Jangan bengong, buruan naik!” tegur Dika membuatku segera naik ke sepeda motornya. Namun entah karena gugup, sepeda motor Dika yang ketinggian atau aku saja yang pendek, aku kesulitan naik ke sepeda motor Dika.
“Sini, kubantu!”
Aku meleleh, sedikit lagi bakal jadi lelehan lilin saat Duta memegang tanganku, mencoba membantuku yang sedikit kesulitan naik ke atas tanpa berpegangan pada sesuatu.
“Aih, manja!” Dika menepis tangan Duta dari tanganku lalu meletakkan tanganku di bahunya.
“Pegang sini, itu tangan dari pacar orang!” protesnya.
Aku hanya manyun, kecewa, sedih dan sebal. Kecewa karena tangan lembut Duta yang awalnya bergesekan dengan tanganku tidak bisa lagi kupegang, sedih karena Duta kenyataannya sudah punya pacar dan kesal karena Dika yang bilang. Kalau dia tidak ingin aku berharap pada Duta, bukankah seharusnya dia menjauhkan aku dari Duta? Jika kami sedekat ini, bukankah itu sama dengan menggagalkan proses move on yang memang tidak aku niatkan sama sekali?
“Mau makan soto di sana?” tanya Dika pada Duta setelah berhasil membuatku duduk dibelakangnya, nebeng.
Duta mengangguk mengiyakan.
“Iya, disana aja, Dik. Lagi diskon, dengan harga biasa kita bisa dapat taburan ayam dua kali lebih banyak,” jawab Duta.
“Wah, capcus aja buruan kalau gitu!” kata Dika semangat.
Dasar Dika, giliran urusan makanan aja semangat banget.
Sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang. Tidak ada percakapan sama sekali sepanjang perjalanan, arah bola mataku hanya mengikuti Duta yang berada sejajar dengan Dika. Walau sesekali Duta berada di depan atau di belakang, ekor mataku tidak bisa melepas pandanganku darinya. Hatiku berdebar untuknya, masih untuknya. Langit menjadi saksi bisu betapa aku bahagia bisa sedekat ini dengan Duta.
Tiba di sebuah warung soto, Dika memarkirkan sepeda motornya sementara aku sudah turun duluan. Duta menghampiriku, sementara Dika masih harus berurusan dengan tukang parkir.
“Kak,” sapanya.
Aku hanya tersenyum tipis.
“Aku kira kakak pemalu, kalau sama Dika kayaknya nggak ya,” kata Duta, entah sedang menyindirku atau tidak. Sorot matanya menatapku dengan aneh membuatku hanya memalingkan wajahku ke arah Dika yang baru datang, minta pertolongan.
“Lho? Kenapa, Al? Kok matamu berair?” tanya Dika heran.
Dika segera menatap Duta dengan penuh selidik.
“Kamu apain, Ally-ku?’ tanya Dika dengan penuh selidik.
“Heh? Nggak aku apa-apain, kok!” sanggah Duta cepat.
“Kenapa, Kak? Aku buat salah ya?” Duta beralih menatapku dengan cemas.
Aku hanya tertunduk sambil geleng-geleng kepala.
“Maaf deh kalau aku salah, aku--.” Duta menghentikan ucapannya. Duta menerima telpon dari seseorang. Duta berjalan agak menjauh dariku dan Dika setelah menekan tombol hijau di handphonenya.
“Kalau Duta pulang, kita makan di rumahmu aja, Al,” kata Dika.
Aku mendongakkan kepalaku, menatapnya dengan wajah bingung. Dika hanya nyengir membuatku sedikit merasakan firasat buruk. Tak lama kemudian Duta kembali.
“Maaf, Dik, aku harus pergi,” kata Duta merasa bersalah.
“Melly?” tebak Dika.
Duta mengangguk ragu sembari menatapku.
“Maaf,” katanya pelan.
“Heh? Ng-nggak apa-apa,” jawabku kikuk.
“Yaudah, duluan ya, Dik.” pamit Duta.
“Hooh, hati-hati!” sahut Dika.
“Duluan, Kak,” pamit Duta padaku lalu segera bergegas ke parkiran.
Selepas kepergian Duta, aku menoleh ke arah Dika. Dika yang ditatap segera menatapku balik.
“Udah ketahuan kalau ngejauh berarti dari pacar, nggak usah shock kok aku bisa tahu,” cerocos Dika menjelaskan tanpa perlu kutanyakan langsung.
“Nggak usah sedih, aku juga ganteng lho,” godanya seraya mengacak-acak rambutku gemas.
Aku hanya bisa membiarkan suasana di antara kami berlalu tanpa suatu tindakan pasti saat kami bertatapan. Mata Dika menunjukkan sebuah rasa yang sama saat aku menatap Duta. Namun, jika kubiarkan semua akan terasa runyam. Karena sesungguhnya, cinta yang tidak berbalas itu menyakitkan, sekuat apapun ditahan dan bertahan.
“Kamu teman terbaikku, Dik,” cetusku.
Dika sedikit kaget tetapi segera menguasai dirinya. Dia hanya tersenyum, lebar dengan setengah hati yang begitu kentara terasa.
“Aku tahu,” sahutnya.
Kemudian hanya keheningan yang tersisa.