BAB 10

1453 Kata
“Kuat-rendahnya gelombang cinta bergantung pada besar-kecilnya frekuensi hati dan kuat-lemahnya amplitudo usaha yang dikeluarkan,” Bayangan wajah Dika—terus bermunculan di pikiranku. Aku sungguh merasa bersalah padanya. Aku sudah mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan padanya kemarin. Rasanya kemarin itu, aku seperti menolak Dika secara halus. Tanpa tahu maksud dari sikap Dika secara jelas selama ini, apakah ia benar-benar menyukaiku atau sekedar bercanda mengatakan bahwa dia menyukaiku, aku sudah mengatakan hal seperti itu. Benar-benar tidak tahu diri. Aku pantas dihukum mati. “Ada apa?” tanya Mama yang seperti biasa sudah muncul saja di dekatku tanpa disadari. “Nggak ada apa-apa, Ma,” jawabku berbohong. “Yakin?’ tanya Mama meragukan jawabanku. Aku mengangguk mengiyakan. “Kalau begitu, sepatunya perbaiki, ketuker,” tunjuk Mama ke kakiku. Aku tersentak lalu menatap sepatuku yang dipasang terbalik, sepatu untuk kaki kiri kupakai di kaki kanan, demikian pula sebaliknya. Aku hanya tersenyum kaku, malu sama mama. “Berantem sama Dika?” tanya Mama. Aku hanya menggeleng pelan. “Nggak, kok,” elakku. “Memangnya kenapa, Ma?” tanyaku penasaran kenapa mama bisa berpikiran kalau aku sedang bertengkar dengan Dika. “Dika nggak datang untuk sarapan,” jawab Mama. Aku hanya tertawa geli mendengar jawaban Mama. “Dika sibuk, Ma. Ada bimbingan pagi ini, kan unggulan,” jelasku. Mama hanya menaik-turunkan kepalanya. “Baiklah,” jawabnya singkat lalu masuk ke dalam rumah. Aku hanya menggeleng-geleng kepalaku. Selesai memakai sepatu, aku segera menyampirkan tas sekolahku ke punggungku lalu berpamitan pada mama yang sepertinya sudah berada di dapur. “Ally berangkat, Ma!” pamitku setengah berteriak. Aku memasuki gerbang sekolah dan melihat pak satpam yang sedang asyik ngopi. Aku melambaikan tangan, mengucapkan selamat pagi dengan tambahan senyuman manis untuknya. Kegiatan ini sudah kulakukan terus-menerus walau sepertinya cara menyapaku masih belum membuahkan hasil. Entah kenapa hanya bisa melakukannya pada pak satpam, susah menerapkannya pada orang lain bahkan meski itu teman sekelasku. Aku berjalan lurus menuju kelasku, sengaja memperlambatkan langkahku ketika tiba di deratan kelas XI IPS. Aku mencari-cari keberadaan Duta tetapi pagi ini dia tidak tampak dimanapun. Aku mencoba mencari Duta sekali lagi tetapi rasa kecewa menjadi hasil akhir dari pemindaianku. Aku menghembuskan napas pelan, menatap linglung ke arah kelas X yang berada di depanku. Pintu kelasnya tertutup, demikian pula kelas di sebelahnya. Sepertinya Duta dan Dika, kedua jenius yang berada di kelas unggulan IPA-1 dan IPA-2 itu sedang menikmati proses pembelajarannya. Pluk. Aku berbalik ke belakang begitu pundakku ditepuk ringan. Aku tertegun, tidak percaya sebenarnya dengan apa yang kulihat sekarang. “Nyari siapa?’ tanyanya dan aku hanya membisu, mengunci mulutku rapat-rapat. “Si Dika lagi ke toilet, bimbingan udah kelar kok!” ia menjelaskan dan aku hanya mampu merutuki diriku yang bukannya fokus ke apa yang dia bicarakan, mata khilafku ini malah mengamati gerak bibirnya yang seksi itu. “A-anu.” Bibirku bergerak pelan. “Iya?” “Bu-bukan.” Aku terbata. Gugup. “Nyariin aku?” tanyanya. Seketika pupil mataku melebar. Dia terkekeh dengan reaksiku. “Kakak beneran lucu. Aku bercanda, kok” sanggahnya. “Tapi kalau beneran, aku senang lho! Aku juga mau jadi teman kakak kayak Dika. Bisa ngobrol santai sama kakak, bisa jalan berdua, pokoknya iri,” oceh Duta dengan nada bicara yang terkesan imut. “Nggak bisa gitu ya, Kak?” rajuk Duta, menatap penuh pengharapan. Aku hanya diam, mencoba mencari jawaban terbaik dari pertanyaannya yang tiba-tiba. Tahu nggak, Dut. Aku nggak mau temenan sama kamu. Aku mau lebih dari itu. “Hm.” Duta bergumam, mungkin ia merasa tidak sabaran atau bingung dengan sikapku yang hanya bisa membisu tanpa menjawab satu pun  pertanyaannya. “Jadi, kalau bukan Dika, kakak nggak bisa ngomong lancar ya?” Aku mendongakkan kepalaku, menatap Duta yang entah mengapa terlihat sedang tersenyum paksa. Ada kesedihan di matanya walau aku tidak terlalu ingin mempercayainya. “Ya sudah, aku pergi dulu, Kak!” pamit Duta lalu berlari ke kelasnya. Aku masih mematung, menatap punggung Duta yang menjauh dariku. Aku menggeser sudut pandangku dan melihat Dika yang berjalan santai dari ujung koridor yang lain, sepertinya dia baru kembali dari toilet. Aku menautkan alisku, saat kulihat di kejauhan seorang cewek tengah menatap Dika dengan teropong miliknya. Cewek itu agak menyembunyikan dirinya di balik pintu, tetapi sebagai pengamat yang cukup hebat, aku bisa jamin bahwa yang sedang diperhatikan oleh cewek itu adalah Dika. “Al,” lambai Dika ke arahku mirip anak kecil yang girang karena melihat pesawat terbang rendah dan melewati atas rumah. Aku mengangkat tanganku, membalas lambaian Dika. Dika tersenyum cerah dan aku sedikit lega melihatnya begitu. setelah itu, Dika masuk ke kelasnya. Aku menolehkan lagi pandanganku ke tempat cewek itu berada dan ia sudah tidak ada di sana. Bel sekolah berbunyi nyaring sekali dan aku segera masuk ke kelasku. Soal cewek itu, akan kutanyakan nanti. Siapa tahu, dia adalah salah satu dari teman Dika. *** Saat bel istirahat berbunyi, aku sudah stand by, menerima beberapa helai rupiah yang sudah disodorkan, siap untuk menjalankan tugas harian. Aku melangkah ke kantin dengan penuh suka cita. Dika sedang ada rapat katanya. Jadi, aku tidak perlu khawatir dia akan menceramahiku jika aku melakukan apa yang teman-temanku suruh. Selesai menjalankan tugasku, aku pergi ke perpustakaan. Niatnya mau menghabiskan waktu disana membaca novel baru yang baru saja dibeli sekolah tetapi batal saat di perjalanan kulihat cewek yang tadi pagi tengah mengamati Dika kembali mengamati Dika dengan teropongnya. Dika tampak sedang mengobrol di depan ruang OSIS dengan Royhan, ketua OSIS di sekolahku. Aku tergoda untuk mencari tahu soal cewek itu. Jadi, atanpa sadar aku telah bergerak pelan menuju ke tempat cewek itu berada. Setelah aku berada di dekatnya, kucolek  ringan bahunya beberapa kali. Dia langsung menoleh dan nyaris melempar teropongnya jika saja tidak kuletakkan jariku di bibirnya sebagai isyarat agar dia diam dan tidak berteriak. Cewk itu pun mengambil napas beberapa kali dengan cepat, sudah mirip ikan yang tidak mau kehilangan kesempatan bernapas saat tercelup ke air yang dangkal. Setelah agak tenang, dia menatapku—kesal atau dingin entah, yang jelas sorot matanya menunjukkan sebuah kecemburuan. “Kamu siapa huh? Ngagetin aja,” dengusnya kesal. Aku hanya diam lalu tersenyum kecil, entah kenapa rasanya lucu menggodanya begini. Dia tambah kesal dan menyipitkan matanya lalu berfokus kepada nametagku. “Cih, si Ally,” katanya begitu tahu siapa namaku. Aku mengerutkan keningku. “Sudah kenal?” tanyaku dan dia mengangguk cepat. “Kenallah, si Dika kan selalu nyebut nama Ally, Ally, kesal!” gerutunya. “Jadi, kamu siapa?” tanyanya. “Lah, katanya udah tahu aku siapa, kok masih nanya?’ tanyaku bingung. Dia menarik napas panjang. “Iya, aku tahu kamu si Ally. Trus kamu itu siapanya Dika?” ketusnya. “Ooh,” kataku pelan. “Cih, malah ooh doang, kamu siapa kutanya,” katanya lagi, mulai emosi meski begitu dia tampak lucu sekali. “Ally, temannya Dika.” jawabku. “Kamu?” tanyaku balik. “Nuri Aprilia Muharoni, calon pacar Dika,” jawabnya penuh keyakinan. “Ooh, naksir Dika?” tanyaku. Dia mengangguk. “Kenapa nggak nembak aja?” usulku. “Aku takut,” jawabnya sambil nunduk-nunduk, melihat ujung sepatunya yang sudah mengkilat. Sepertinya sudah disemir tadi pagi. “Kok takut? Takut ditolak?” tanyaku mencoba menebak rasa takut yang dia maksud. Dia menggeleng pelan membuatku semakin penasaran. “Kalau gitu, kenapa?’ tanyaku, ngotot minta jawaban. “Hm,” dia menggantungkan kalimatnya. “Dika tipe cowok lunak bukan?” tanyanya malu-malu. Aku diam, memikirkan maksud lunak yang lagi-lagi sulit kupahami maksudnya. “Lunak, kok! Walau dia bukan molusca,” jawabku lantas tertawa geli, sudah tidak bisa menahan diri karena lawakan sendiri. ‘Cih, Ally ngelawak. Garing!” dengusnya BT. Aku menghentikan tawaku dan melihat warna di bawah logo sekolahnya yang berwarna merah,  rupanya dia adik kelas. Tapi kenapa dia selalu memanggilku dengan Ally tanpa embel-embel kakak  atau mbak? “Cih, Al! Malah bengong. Kesambet?” tegurnya. Aku hanya menghembuskan napas pelan. Bertambah lagi dah adik kelas kurang ajar yang hanya memanggil namaku walau sudah tahu aku setahun lebih tua. Menyebalkan! “Aku kakak kelas,” ucapku. Dia terkekeh. “Yang bilang kita seumuran siapa?” sahutnya setengah menantangku. “Panggil kak, dong!” rajukku. “Ogah,” tolaknya tegas. “Kenapa?” tanyaku penasaran. “Tidak ada junior-senior dalam saingan cinta,” jawabnya. “Heh? Tapi kan aku nggak suka Dika,” bantahku. Dia menyipitkan matanya, setengah tidka percaya dengan pernyataanku. Sejurus kemudian dia mengulurkan tangannya. “Nuri,” katanya memperkenalkan diri. Aku terima uluran tangannya. “Ally,” kami pun berjabat tangan sebentar. “Ini rahasia ya, awas kalau bilang Dika. Aku doakan miskin!” ancamnya lalu pergi meninggalkan aku yang hanya mampu diam menatap Nuri yang berjalan cepat menjauh dariku. Aku tersentak kaget begitu Nuri telah hilang dari pandanganku. Aku bicara dengan orang asing bukan? Kenapa aku tidak merasa gugup atau tertekan? Sungguh aneh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN