BAB 11

1183 Kata
“Seperti peluang munculnya dua-duanya gambar pada dua koin yang dilempar, peluang cinta sebelah pihak akan berbalas pun ada.” Pagi ini keajaiban terjadi. Meski semalam aku tidak bermimpi ditimpuk durian runtuh, dipatuk ular raksasa atau menang undian satu miliyar, aku mendapatkan kejutan yang tidak baik untuk jantungku hari ini. Duta, si cogan plus-plus yang kutaksir, kuimpikan dan kuharapkan secara diam-diam meski sudah tahu sudah punya pacar itu, secara nyata dan utuh sudah ada di depanku. Duta bahkan masih memakai tas ransel di punggungnya solah ia sengaja menungguku di gerbang untuk bisa bicara denganku. Tingkahnya ini membuat tingkat kebaperanku naik dan sudah melebihi batas maksimal. "Kak Usually, pacaran sama Dika?" tanyanya dengan wajah serius. Aku terdiam. Pacaran sama Dika? Si cowok bawel yang nyebut mamaku hantu itu? Si k*****t yang selalu ke kelas buat ngajak aku ke kantin? Si pengganggu yang sering menyapaku dari jarak jauh kalau ketemu? Si Hero abal-abal yang seminggu ini selalu ke rumah buat numpang makan? Aku pacaran sama dia? Ogah. Tidak sudi. "Kak Usually, pacaran sama Dika?" Duta mengulang pertanyaannya lagi karena aku tidak segera menjawab pertanyaannya. "Aku..." "Wa...Ally...Ally..Ally.. Ayo masuk!" Dika tiba-tiba datang dan langsung menyeretku pergi meninggalkan Duta yang kelihatan sebal. "Denger, Al! Nggak boleh bicara sama dia mulai hari ini. Paham?" Dika memberiku ceramah. “Kenapa?” protesku. "Hm.. hm.. Nggak boleh pokoknya, dilarang ngebantah! Denger Ally, kita udah berteman sekarang. Kamu harus dengerin aku. Ok?" katanya lagi seolah Dika tahu kalau aku tidak akan begitu saja menuruti apa yang dia perintahkan. “Denger, Al?” desak Dika lagi. Aku menatap Dika lekat, mau minta penjelasan soal larangannya yang tiba-tiba itu. “Jangan melotot, nanti keluar itu bola mata!” lede Dika. “Ih, malah ngeledek,” gerutuku. “Ada apa, Dik?” kutanya, sudah penasaran tingkat dewa. “Nggak ada apa-apa, urusan cowok!” sahut Dika. “Hah? Alasan apaan itu?” kataku tidak terima dengan jawabannya yang tidak memuaskan itu. “Sudah, nurut aja! Jangan jadi tipe pemberontak,” kilah Dika. Aku manyun. “Inget nggak apa kataku? Jangan dekatdekat Duta, paham?” tegas Dika sekali lagi. "Bawel," dengusku sebal lalu berlari ke kelasku. Sebelum masuk kelas, aku hentikan langkahku. Berbalik menatap Dika yang masih menatapku, melambaikan tangan sambil meneriakkan namaku beberapa kali. Sepertinya dia masih Dika yang biasanya tetapi larangannya soal Duta benar-benar belum bisa kupahami. Mereka bersahabat bukan? Lantas kenapa begini? Adakah kejadian yang tidak kuketahui hingga Dika begitu? Dika masuk ke dalam kelasnya. Tak lama kemudian kulihat Duta yang hendak masuk ke kelasnya. Aku menatap sebentar ke arahnya dan cowok ganteng itu tersenyum.  Manis, sebentar lagi aku akan hepatitis. Bagaimana bisa aku mengabaikan cowok seganteng itu? Ah, permintaan Dika sungguh berat. *** Bel istirahat baru beberapa menit berbunyi tetapi si Dika sudah stay di pintu kelasku. Sejak dia main kerumah-meski sempat jatuh pingsan dan bilang mamaku hantu. Sempet diseret mama juga ke belakang. Dia jadi terus-terusan menempel padaku. Padahal kukira setelah apa yang kukatakan bahwa dia itu teman terbaikku, dia akan menjaga jarak dariku atau setidaknya tidak lagi mengaharapkan aku. Bukan terlalu percaya diri, hanya saja ini akan rumit sekali. Terlebih kini kutahu ada Nuri yang sangat menyukai Dika. Dika juga selalu melarangku untuk menjadi pembantu dadakan. Katanya, tidak ada pertemanan rasa babu dan aku tidak boleh terlalu pasrah diperlakukan seperti itu. “Itu namanya penjajahan zaman now, Al!” kata Dika saat kutanya mengapa aku dilarang melakukan apa yang selalu aku kerjakan sejak kelas X itu. “Aku nggak merasa dijajah, kok!” sanggahku. “Aku ngerasa, jadi turuti saja aku. Pertemanan palsu begitu tidak lebih baik daripada hanya punya satu teman,” Dika memasang serius sehingga membuatku tidak bisa membantahnya. Aku akui, sejak kehadiran Dika di hidupku, banyak orang yang mulai mengetahui namaku dan mereka memanggilku dengan namaku, Ally. Sama seperti bagaimana Dika memanggilku. Aku juga tidak pernah lagi terlewat absensi, tidak harus mengucapkan namaku setiap beli mie di kedai pak Cing. Ditambah, aku mulai disapa teman-temanku atau adik kelas yang bahkan tidak kuketahui namanya. Meski kebanyakan melakukannya saat aku brsama Dika. Kalaupun mereka menyapa tanpa ada Dika, mereka akan mendekat dan menanyaiku tentang Dika. Namun, terlepas apapun motifnya, aku senang dengan keadaan ini. Ya. Bahagia. Walau kadang aku merindukan keadaanku yang dulu. Sedikit. "Hari ini kita makan roti melon, siomay sama cireng aja deh. Gimana?" tanya Dika sambil melihat ke arahku saat kami sudah tiba di kantin. Aku hanya mengangguk. Dika menepuk pundakku. Merangkulku seolah aku sahabatnya tapi seharusnya dia sadar, kita tidak sejenis dan aku sedikit merasa takut kalau-kalau Nuri mengamati kami dan merasa cemburu. "Kak Ally," tiba-tiba Duta nongol lagi. Dika mendecih pelan, lalu bergegas menyeretku ke antrian mie pak Cing. Padahal aku masih ingin bersama Duta atau setidaknya membalas sapaan Duta. "Aku mau makan mie. Kamu yang antri, aku mau beli minum dulu." "Katanya.." "Nggak jadi. Udah kamu di sini aja. Aku urus Duta dulu," pesannya lalu menghampiri Duta. Dika pun menyeret paksa Duta untuk menjauh dari kantin. Aku hanya berdiri kebingungan. Sebenarnya ada apa? "Kak, ikut aku!" “Heh?” Duta menarik tanganku, tanpa melakukan perlawanan, tubuhku sudah tertarik mengikuti Duta yang mengajakku pergi dari antrean. Rupanya Duta berhasil lolos dari Dika  Duta menggandeng tanganku meninggalkan kantin, menerobos koridor sekolah yang penuh dengan banyak murid. Bisa kurasakan pandangan benci para cewek-cewek yang melihat kami berjalan bergandengan tangan melewati mereka. Aku sedikit merinding. "Jadi?" tanya Duta lagi saat kami sudah menjauh dari keramaian. Kami berada di depan perpustakaan. Tempat paling sepi dan lengang di saat istirahat. "Apanya?" aku bertanya balik. "Kakak pacaran sama Dika?" tanya Duta dengan wajah serius. Aku mengeleng. "Beneran?" tanya Duta dengan nada senang. Sorot matanya berbinar membuatku menjadi salah tingkah. "Kenapa, Dut?" tanyaku heran. "Aku... " Duta tampak gugup. Aku memberanikan diri menatap Duta, mencoba mengamatinya untuk menghilangkan berbagai praduga yang muncul dari rasa penasaran yang aku rasakan. Entah kenapa aku memiliki firasat yang baik untuk ini. Harapanku tolong jangan terlalu memanipulasi otakku. Jika ini tidak sesuai dengan ekspektasi, kamu akan terluka hatiku. "Dut, curang ah!" Dika tiba-tiba nongol, membuatku dan Duta kaget setengah mati. Dika sudah mirip mamaku, hadir tanpa disadari. "Bentar, aku mau ngomong sama kak usually. Please. aku nggak kuat lagi." Aku mengernyitkan kening. Bingung. Apa maksudnya? Nggak kuat apa coba? "Al, kamu mending cabut deh sekarang. Kalau nggak pertemanan kita bakal end. Aku nggak mau kenal kamu lagi," ancam Dika. “Heh?” Aku tidak terlalu peduli sebenarnya tapi rasanya menyia-nyiakan temanku satu-satunya demi seorang Duta, belum bisa kulakukan. Bagaimanapun Dika adalah teman pertamaku. Aku pun mulai melangkah pergi tapi Duta menahan tanganku. "Please, Kak. Ini nggak lama!" Duta memohon. Aku melirik Dika dan cowok bawel itu menggelengkan kepalanya. Dia tetap ingin aku pergi. Aku pu terpaksa melepaskan genggaman tangan Duta dari lenganku. "Maaf!" ujarku lirih. Aku hanya bisa membalikkan badan dengan d**a yang membusung tinggi, aku tidak mau goyah. "Kak! Kak! Kak!" Duta memanggilku terus tetapi aku terus berjalan, melawan langkah kaki yang ingin maju sedangkan hati ingin mundur. "Kak!" Duta memanggil lagi. Aku gigit bibirku kuat-kuat. Sebentar lagi aku akan berbelok  dan menghilang dari pandangannya. Sedikit lagi. Aku terus meyakinkan hatiku lalu kata-kata itu menari di udara. "Aku naksir kamu, Usually!" Deg! Mati aku
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN