BAB 12

1623 Kata
Hari ini adalah H-1 sebelum kejuaraan taekwondo yang akan diadakan besok. Karena hari ini nggak ada latihan padahal tim taekwondo mendapat dispensasi selama 3 hari. So, daripada boring, aku dan Fafi langsung memutuskan pergi ke kantin setelah ngumpul sebentar di aula sekolah. “Pesan apa, Na?” tanyanya ketika kami sudah sampai di kantin. “Mi ayam aja. Bosen maem bakso,” jawabku. Fafi mengangguk lalu langsung berjalan menuju ke Mang Ucup, penjual mi ayam sekolahku. Meski mi ayam nggak setenar bakso legendaris bu Siti, tetapi mi ayam Mang Ucup cukup enak plus lengkap dengan sayur, ceker dan telur bacem bagi yang nggak suka ceker sepertiku. Tak lama kemudian Fafi datang dengan dua mangkok mi ayam. Sahabatku itu meletakkan semangkok mi ayam di depanku lalu semangkok lagi di mejanya. Setelah itu dia balik lagi untuk beli minuman. Melihat Fafi mondar-mandir kayak gitu membuatku jadi ingat diriku sendiri pas bareng Alfa. Entah kenapa kesel pas ingat. Kalau dipikir-pikir aku udah jadi babunya selama ini. Meski aku sering meyakinkan hatiku kalau aku adalah pacarnya, bukan babu, tetap saja aku masih berkeinginan untuk membantingnya. “Na, bengong aja. Mikirin apa sih?” tanya Fafi yang baru datang beli minuman. Sahabatku itu duduk di sampingku. Aku hanya menggeleng pelan sambil mencoba tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Kau beli apa?” jawabku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Teh kotak dan jus jambu. Kau mau yang mana?” tanyanya sambil menunjukkan dua minuman yang ada di tangan kiri dan kanannya. Aku berpikir sejenak. “Jus aja, deh.” ujarku lalu mengambil jus jambu di tangan kanannya. Fafi meletakkan teh kotak di samping kirinya lalu mulai memakan mi ayamnya. Aku pun juga melakukan hal yang sama-mulai menyantap mi ayamku. “Na, kemarin aku lihat Alfa bonceng cewek.” Mendengar pernyataan Fafi aku langsung batuk, kesedak. Aku meraih jus jambuku, menancapkan sedotan dan meneguknya. Setelah itu aku raih tisu di meja dan mengusapkannya ke hidungku yang terasa perih karena kemasukan kuah mi ayam. “Serius, Fi?” tanyaku nggak percaya. Fafi menyeruput mienya lalu menoleh ke arahku. “Serius aku. Swear,” jawab Fafi dengan penuh keyakinan. “Salah lihat paling,” sanggahku, masih nggak percaya. “Aduh, Na. Aku yakin banget itu Alfa. Sepeda motornya sama. Bentukannya dari depan, belakang, samping itu Alfa banget. Nggak mungkin salah lihat aku,” bantahnya yakin. “Mungkin itu Rini, adiknya,” sanggahku lagi, masih ngotot nggak percaya dengan info abal-abal dari Fafi membuatnya menepuk jidat, keki karena aku terus menyangkal. “Aku tuh hafal betul bentukan adiknya Alfa, Rini. Cewek yang dibonceng Alfa kemarin bukan dia,” ujar Fafi meyakinkan. Sekali lagi sahabatku itu mematahkan sanggahanku membuatku jadi semakin was-was. “Mungkin itu sepupunya, ibunya, tantenya, atau…” “Nggak mungkin, Na. Ceweknya cantik banget sumpah. Bukan sepupu yang dulu pernah dia  kasih tahu ke kamu, juga bukan Rini atau ibunya Alfa,” ujar Fafi memotong ucapanku. “Masak, sih? Alfa nggak bilang apa-apa ke aku,” kataku lemah, masih nggak terima kenyataan. “Emang kau lihat dia di mana, Fi?” tanyaku lagi, pengen tahu. Walau nggak percaya, aku penasaran. “Hm, kemarin sih lihat mereka di dekat alun-alun. Sekitar sana, deh. Aku sempet ngikutin dia sih,” jawabnya. “Terus?” “Mereka berhenti di perpustakaan umum,” katanya sambil garuk-garuk kepala. “Mungkin itu Nadia, teman SD Alfa,” kataku menebak-nebak. “Nggak mungkin. Kalau Nadia pasti aku kenal, kan pernah sekali dikenalin,” sanggahnya. “Bisa aja ‘kan kamu salah ingat,” bantahku lagi. “Aduh, capek aku ngasih tahu kau, Ina,” kata Fafi sambil geleng-geleng kepala. Aku hanya nyengir menanggapi reaksi Fafi yang menurutku alay itu. Aku terdiam. Otakku loading dan tiba-tiba aku jadi ingat kejadian kemarin. “Eh!” seruku membuat Fafi melihatku dengan tatapan bingung. “Kenapa? Kau ingat sesuatu?” tanyanya kembali semangat. Kepo tingkat akut. “Kemarin Alfa agak aneh,” jawabku. “Aneh gimana?” tanya Fafi penasaran pake banget. Sahabaku itu memasang telinganya lebar-lebar bersiap untuk mendengarkan jawabanku. “Kemarin dia nanya, boleh nggak bonceng cewek lain. Aku bilang nggak boleh, kecuali itu keluarganya.” “So?” tanya Fafi masih nggak paham penjelasanku. “Jadi, pasti cewek itu keluarganya. Mungkin itu sepupunya yang belum aku atau kamu belum tahu,” jawabku memberikan kesimpulan. Fafi memonyongkan bibirnya. “Tauk, ah gelap,” ujarnya kesal. Fafi mengambil sendok lalu melanjutkan makannya. Aku hanya menghela napas dan melanjutkan makanku juga. (Alfa, besok aku tanding lho. Kau nggak nakal, kan?) *** Bel pulang sekolah berbunyi, aku buru-buru keluar kelas begitu Ridwan ketua kelasku mengakhiri doa sebelum pulang. Aku berniat konfirmasi ke Alfa mengenai apa yang Fafi katakan tadi. Alfa lagi bimbingan sampai pulang sekolah. Jadi, aku nggak sempet mengkonfirmasi info yang Fafi katakan. Aku berlari kencang menuju ruang multimedia, tempat biasa bimbingan olimpiade. Aku langsung mengintip dari kaca jendela ruang multimedia untuk mencari Alfa. Namun, dia nggak ada. Aku pun mencegat seorang kakak kelas yang baru keluar dari ruang multimedia. “Kak, sorry ganggu,” ujarku menghadang kakak kelas itu. “Ada apa ya?” tanya kakak kelas itu. “Lihat Alfa nggak, Kak?” kataku bertanya balik. “Oh, Alfa barusan aja keluar. Mungkin udah di parkiran,” jawab kakak kelas itu. “Thanks, Kak,” kataku lalu berlari menuju parkiran. Aku sampai di parkiran dan langsung siap sedia ngeliatin setiap cowok yang keluar dari parkiran. Aku pindai dengan seksama, tetapi Alfa nggak kunjung aku temui. “Na, ngapain?” tanya Iqbal. Aku cuek bebek. Ngarep Alfa, malah dia yang nongol. “Oi. Kalau ditanyain nyahut napa,” kata Iqbal protes. Aku menoleh ke arahnya. “Apaan sih, Bal. aku nyariin pacarku. A-L-F-A. ALFA!!” sahutku sewot. Iqbal ngakak. “Kau pikir aku anak TK, sampai kau eja begitu. Satu sekolahan juga tahu pacarmu Alfa,” cibir Iqbal. “Emang mau ngapain nyariin Alfa?  Daritadi nggak ketemu emangnya? Ada masalah?” tanya Iqbal bertubi-tubi. (Dasar cowok bawel!) “Bawel, kau! Aku ada urusan,” jawabku sekenanya. “Bunny, lama yah. Oh, Ina hai.” Rani datang. Lengkap dah pasangan kepo ngumpul. “Nggak kok, honey. Aku juga lagi ngobrol sama Ina yang nyariin pacarnya yang ilang,” sahut Iqbal mulai jail. “Oh, Alfa. Dia mungkin ketemu dengan cewek itu lagi,” ujar Rani santai. “Honey!” pekik Iqbal kaget. Rani langsung salting. Cewek itu langsung buru-buru menutup mulutnya. “Hah? Cewek itu? Cewek apaan,” tanyaku penasaran. Entah kenapa hatiku mulai kesal. “Nggak, bukan apa-apa. Na, duluan ya,” sahut Iqbal sambil buru-buru mengandeng tangan Rani dan mengajaknya untuk pergi. Aku langsung menarik jaket Iqbal. “Mau ke mana? Jelasin dulu!” ujarku mencegat Iqbal yang mau kabur. “Aku mau pulang, Na. Ada urusan dulu.” Iqbal mencoba ngeles. Aku maju dan mencengkram kerah jaketnya. “Kau mau mati? Bilang nggak?” kataku setengah mengancam. “Anu, Na. Aku nggak tahu sih ceweknya siapa, tapi Alfa bilang mau ketemuan sore ini. Aku nggak tahu di mana, hanya itu yang aku tahu,” akhirnya Iqbal buka suara. “Na, lepasin dong,” kata Rani memohon. Aku melepaskan cengkraman tanganku dari jaket Iqbal. “Na, jangan bilang tahu dari aku. Alfa bilang ini rahasia,” minta Iqbal. Aku mengangguk mengiyakan permintaan Iqbal. Iqbal dan Rani langsung pergi ketika melihatku udah kesal kuadrat. Aku kepalkan tanganku kuat-kuat. Rasanya aku sedang ingin makan orang. (Jangan sampai pikiran negatifku benar, Pacar. Kalau tidak, tamatlah riwayatmu.) *** Sekitar pukul 3 sore, aku buru-buru pergi ke rumah Alfa. Aku sudah tidak bisa menahan kesal dan rasa cemburu yang bercampur aduk di dalam dadaku. Aku sudah mencoba menghubunginya lewat handphone, tapi dia benar-benar membuatku makin resah. Aku telpon dia sejak pulang sekolah, tetapi nggak bisa dihubungi. Aku curiga dia menelpon cewek lain. Aku sms dan WA, nggak ada satu pun yang dia baca ataupun dibalas. Aku langsung menghempaskan sepedaku begitu sampai di rumah Alfa. Aku ketuk-ketuk pintunya. “Pacar! Pacar!” panggilku. Pintu terbuka, Rini yang nongol. “Kak Na, ngapain ke sini?” tanyanya heran. “Alfa mana?” tanyaku langsung, udah kesel kuadrat.  “Katanya sih mau ke perpustakaan umum,” jawabnya masih masang muka bingung. “Kenapa memangnya?” “Ok. Makasih,” ujarku lalu balik badan, mau cabut. Setelah lima belas menit, akhirnya aku sampai di perpustakaan umum. Aku langsung masuk ke dalam setelah tanda tangan sebagai tamu. Aku segera memindai Alfa. Setelah celingak-celinguk menscanning, akhirnya aku melihatnya sedang berdua dengan seorang cewek. Aku pandangi cewek itu dan itu bukan Nadia. Kekesalanku memuncak. Aku segera menghampiri mereka berdua yang lagi asyik ngobrol berdua sambil bisik-bisik. “Oi, Alfa,” panggilku dengan nada kesal. Alfa dan cewek itu menoleh ke belakang. Pacarku langsung berdiri kaget ketika melihatku yang udah marah banget. “Na-Ina,” katanya tergugup. “Kau ngapain?” tanyaku kesal. “Stssttt, jangan keras-keras. Aku bisa jelasin,” jawab Alfa sambil mencoba menenangkan aku. “Fa, itu siapa, sih? Heh mbak, kau ngapain?” Cewek itu ikutan berdiri. Gunung kekesalanku meledak. Aku raih pergelangan tangan cewek itu lalu menarik dan memutar tubuhnya. Aku kunci tangannya hingga cewek itu merintih kesakitan. “Aduh! Aduh!” rintihnya. “Na, Ina, tenang dulu. Lepasin dia!” Alfa mencoba menenangkanku. Aku lepas dengan kasar kuncian tanganku pada cewek itu hingga dia nyaris terjatuh ke lantai. “Pacar, kok kasar, sih?” Alfa protes. Aku kepalkan tinjuku, sudah kesal berkuadrat-kuadrat. Aku maju, mencengkram kuat lengan Alfa dan membantingnya keras sampai ambruk. Aku tak peduli ketika kami menjadi tontonan para pengunjung. Petugas perpustakaan pun datang melerai kami. “Mbak, jangan berantem,” tegur petugas perpustakaan Aku nggak peduli lagi. Aku dekati cewek itu yang mulai mundur karena didekati “Kalau kau nggak segitu lakunya dan udah putus asa jadi jones, jangan ngambil cowok orang. Kalau kau masih deketin Alfa, aku bunuh kau,” ancamku. Aku mendengus kesal lalu meraih tangan Alfa yang masih berbaring di lantai dan menyeretnya paksa. “Lho? Ada apa ini? Fa, kok kau diseret kayak kambing kurban?” Seorang cowok datang dan langsung bingung dengan apa yang aku lakukan. Aku mengernyitkan kening. “Apa kau?” tanyaku dengan nada kesal. “Ina ya?” Cowok itu balik nanya. (Hah? Kok dia tahu namaku?) Alfa segera bangun dan memutar-mutar pergelangan tangannya yang sempat aku banting. “Ina, ini mas Doni, sepupuku. Cewek tadi itu pacarnya mas Doni,” kata Alfa menjelaskan. “Iya, Na. aku minta tolong Alfa untuk ngejemput pacarku kemarin. Alfa nolak karena dia bilang pacarnya galak, tetapi aku nggak percaya dan tetap maksa dia,” kata Mas Doni ikutan menjelaskan. Aku diam mendengarkan dengan seksama penjelasannya. “Ternyata beneran galak ya. Sabar ya, Fa,” ujar Mas Doni sambil menepuk-nepuk pundak Alfa. Aku manyun, kesel plus malu. “Tauk, ah. Sorry ya, Mas. Maaf juga ke pacarnya,” ujarku lalu pergi. Alfa pun segera mengejarku. “Oi, Na.” Alfa menangkap lenganku. “Mau ke mana?” tanyanya. “Pulang!” jawabku sekenanya. “Lah, baru juga nyampek. Malu ya?” godanya.. Aku menggeleng. “Laper dari tadi belum makan.” Alfa ngakak. “Yaudah, aku anterin ya,” katanya nawarin. Aku menggeleng. “Aku bawa sepeda,” tolakku. “Yaudah, hati-hati pulangnya. Besok aku pasti datang mendukungmu,” ujar Alfa dengan senyum. Aku mengangguk lemah. “Maaf tadi ngebanting.” Alfa senyum. “Nggak apa-apa. Udah dua kali dibanding, aku udah kebal. Kayaknya bantinganmu ampuh mengobati sakit punggung,” ujarnyasetengah bercanda. Aku hanya manyun menanggapi gurauannya. “Yaudah, aku pulang dulu.” Alfa mengangguk. “Hati-hati.” Aku mengangguk pelan. Aku melangkahkan kakiku keluar perpustakaan umun dan langsung duduk termenung di depan pintu masuk. Malu banget sumpah. Bisa nggak sih aku balikin waktu? Haduh, jatuh dah harga diriku di mata sepupunya Alfa. Huft. Cemburu emang membawa petaka. Nggak lagi-lagi deh kebawa emosi. Maafin aku, Fa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN