Hari Senin ini aku absen dari kelas alias dispensasi karena tim taekwondo latihan untuk yang terakhir sebelum kejuaraan yang akan diadakan hari Rabu. Kejuaraannya diadakan oleh pemerintah provinsi dan diadakan di sebuah GOR (Gedung Olahraga) yang cukup besar di kotaku yang memang sering digunakan untuk mengadakan kejuaraan taekwondo setiap tahun. Khusus untuk besok, kami diminta untuk tidak latihan. Kami diminta untuk fokus menjaga kondisi jiwa dan raga kami agar tetap fit sehingga siap 100% untuk kejuaraan.
Setelah pemanasan dan latihan sendiri-sendiri sekitar 20 menit, kami diminta berkumpul oleh kak Bian. Para anggota tim taekwondo pun mulai merapat lalu duduk di depan kak Bian yang sedang berdiri.
“Dua hari lagi, kita akan menghadapi kejuaraan taekwondo. Meski kalian sudah didaftarkan sesuai dengan kelas (kategori/tingkatan level yang ada di taekwondo) masing-masing untuk kejuaraan, aku harap kalian bisa melaksanakannya dengan baik. Kalah atau menang itu urusan belakangan. Yang paling utama, kita semua sudah memberikan yang terbaik. Paham?” ujar Kak Bian memberikan advice.
“Paham, Kak,” sahut kami semua kompak.
“Coach tidak hadir hari ini karena sibuk untuk mempersiapkan banyak hal untuk kejuaraan kita. Jadi untuk latihan terakhir ini, aku yang akan memimpin latihan. Sekarang kalian akan latihan tanding berpasangan. Kalian boleh memilih lawan mana pun yang kalian inginkan! Laksanakan!” ujar Kak Bian memberikan perintah.
Fafi melirikku sambil senyum-senyum.
“Nggak, aku nggak mau bertanding sama kau,” ujarku menolak maksud senyuman Fafi yang ingin mengajakku bertanding.
Karena keinginannya ditolak, Fafi jadi manyun.
“Belum juga ngomong udah kau tolak, Na. Tega,” ujarnya kesal sekaligus agak kecewa.
Aku cuek bebek, berdiri dan mendekati kak Diana.
“Kak, boleh aku bertanding denganmu?” tanyaku pada Kak Diana yang juga belum mendapatkan pasangan untuk berlatih tanding.
Kak Diana diam sebentar, memperhatikanku. Setelah itu dia mengangguk mengiyakan.
“Boleh, aku juga belum pernah melawanmu.”
Kami segera menuju kak Bian yang hari ini akan bertindak sebagai referee (wasit). Ketika dia melihatku dan Kak Diana maju, Kak Bian langsung paham.
“Ok, pertandingan pertama. Ina vs Diana!” seru Kak Bian.
Kak Diana dan aku segera memakai trunk protector lalu memasuki arena pertandingan. Aku menghela napas panjang untuk meredakan rasa gugup yang hinggap ketika kami berdiri saling berhadapan. Ini adalah pertama kalinya aku melawan kak Diana yang selalu berhasil menang dengan meng-knock out lawannya. Dia lebih berbahaya dari musuh yang pernah aku hadapi sebelumnya.
Kami memasang sikap chaaryoot ( posisi siap ), kemudian melakukan junbi (posisi kaki selebar bahu dengan tangan di sabuk). Aku melihat kak Diana yang memasang wajah serius membuatku semakin gugup. Kami pun melakukan kyongree (salam pembuka untuk membungkukkan badan).
“Sijaak!” Kak Bian memberikan tanda pertandingan telah dimulai.
Pertandingan baru dimulai, tetapi Kak Diana langsung melancarkan tendangan ke bagian perut, aku mencoba menangkis serangannya dengan kedua tanganku. Aku berhasil mematahkan serangannya sehingga tanganku terasa sakit. Itu artinya serangannya sangat kuat. Ini baru serangan pertama dan Kak Diana sudah mengeluarkan kekuatan penuh. Sungguh lawan yang tangguh.
Aku maju dan melakukan serangan Momtong Jireugi ( pukulan ke arah perut ), tetapi kak Diana telah bersiap sehingga dia bisa menangkis seranganku dengan mudah seolah tak ada kekuatan di pukulanku. Aku menggigit bibir bawahku, kesal.
Aku memberanikan diri untuk maju dan langsung mengarahkan tendangan yang langsung mengarah ke wajah kak Diana. Namun lagi-lagi kak Diana berhasil menghindar. Dia langsung menyerang balik dengan mengarahkan tendangan ke arah tubuhku.
“Satu point,” seru kak Bian mengesahkan serangan kak Diana.
Aku semakin kesal melihat kak Diana tidak menunjukkan ekspresi apa pun seolah kakak kelasku itu hanya berkonsentrasi penuh pada pertandingan kami. Aku yang sedang berkonsentrasi penuh sedikit terkejut ketika secara tiba-tiba dan cepat kak Diana melancarkan pukulan Pyeonsonkeut Chireugi ( Tusukan ujung jari (empat jari) ke arah ulu hati ). Aku yang tidak siap dengan serangannya hanya bisa menghela napas ketika kak Diana kembali mendapatkan point berkat serangannya itu.
Ronde pertama berakhir. Aku mundur untuk menenangkan diriku di jeda istirahat yang hanya berlangsung 20 detik.
Aku pun mulai berkonsentrasi penuh di pertandingan ketika ronde kedua dimulai.
Aku langsung maju dan segera melakukan tendangan cepat yang langsung mengarah ke samping kepala kak Diana. Serangannya cepat dan akurat sehingga kak Diana tidak sempat menghindar.
“2 point.” Kak Bian mengesahkan seranganku.
Kak Diana tampak kesal. Beberapa detik-tanpa terduga Kak Diana maju dan langsung melakukan tendangan berputar yang mengarah langsung ke wajahku.
“2 point.”
Kak Diana mengepalkan tangannya ke udara. Dia berhasil mencuri point dengan mudahnya. Melihat kenyataan ini aku semakin merasa kesal.
Kami terus saling menyerang. Aku mencoba banyak melakukan serangan tendangan untuk mencuri point dari kak Diana, tetapi kakak kelasku itu memang sangat luar biasa. Ketika aku mendapatkan 2 point, dia akan membalas seranganku dan langsung mencuri 3 point dariku.
Ronde ketiga berakhir tepat setelah Kak Diana mendaratkan tendangan berputar ke samping kepalaku.
“3 point. Pertandingan berakhir dengan score 26: 12. Diana win!” seru Kak Bian.
Aku memperbaiki sikapku. Setelah itu aku dan kak Diana membungkuk untuk melakukan salam penutup sebagai tanda pertandingan selesai. Kami pun menuju pinggir pertandingan karena pertandingan berikutnya akan dilaksanakan.
“Kau keren, Ina. Baru kali ini ada yang bisa mencuri nilai 12 dariku,” puji Kak Diana ketika kami berjalan beriringan menuju pinggir lapangan.
“Ah, aku kalah Kak. Jauh banget lagi perbedaan score-nya. Kakak tuh yang keren,” ujarku membalas pujian Kak Diana.
“Ah, nggak, kok. Itu aja karena kamu terlalu terburu-buru melancarkan serangan. Sebaiknya perhatikan dulu pergerakan lawanmu sebelum menyerang. Di awal kau harus memberikan tekanan padanya untuk menjatuhkan mental lawanmu. Dengan begitu, kau akan mudah membaca dan mematahkan gerakan lawan,” kata Kak Diana memberikanku advice.
“Ok, kak. Makasih sarannya,” sahutku tulus.
Kak Diana senyum. Kakak kelasku yang cantik itu berlalu menghampiri teman-temannya.
Aku merasa semakin semangat untuk kejuaraan setelah mendapat saran dari Kak Diana. Walau kami mengikuti kelas yang berbeda di kejuaraan taekwondo, aku sangat senang karena bisa melawan Kak Diana hari ini. Aku setengah berlari menghampiri Fafi yang duduk santai di pojokan. Sahabatku itu langsung mencibirku ketika aku duduk di sampingnya.
“Kalah kan? Coba kau lawan aku, pasti menang,” katanya.
Aku balas mencibirnya.
“Kalau aku ngelawan kau, aku ya nggak berkembang. Makanya lebih kuat dong biar aku mau bertanding denganmu,” ledekku.
Fafi manyun.
“Sombong. Menang sekali aja dariku udah sombong. Nggak ingat kalau kau banyak kalah seperti pas ngelawan Cicil dan kak Diana hari ini?” Sari ngoceh.
Aku tertawa geli mendengar ocehan Fafi.
“Sorry, Fi. Bukannya sombong, hanya aja aku pengen lebih kuat. Aku nggak mau kalah lagi.”
Fafi menepuk pundakku.
“Semangat. Ayo berjuang untuk kejuaraan hari Rabu besok!” ujarnya semangat.
Fafi mengulurkan kepalan tangan untuk melakukan tos.
“Ayo,” sahutku sambil mengulurkan kepalan tanganku juga untuk menerima tos darinya.
Kami saling memandang lalu tertawa.
“Ina.”
Panggilan itu membuatku dan Fafi menoleh. Rupanya Alfa. Pacarku itu melambai-lambaikan tangannya seolah memanggilku. Aku menoleh ke arah Fafi, meminta izin.
“Samperin sana! Aku bentar lagi juga tanding lawan kak Grace,” katanya peka. Dia memang sahabat terbaik.
Aku mengangguk dan bangkit dari dudukku.
“Ina!” panggil Fafi.
Aku menoleh ke arahnya dengan heran.
“Apa?” tanyaku.
“Lepas dulu trunk protector-mu,” jawabnya sambil tertawa geli.
“Oh. Oke,” ujarku malu.
Aku melepas trunk protectorku lalu memberikannya kepada Fafi. Setelah itu aku berlari menghampiri Alfa, Pacarku.
“Ada apa? Kok nggak masuk kelas?” tanyaku ketika sudah berdiri di depan Alfa.
“Aku lagi istirahat habis bimbingan olimpiade. Oh ya, ini buatmu,” jawabnya sambil memberikanku sebotol minuman.
“Hah? Tumben!” ujarku heran melihatnya melakukan hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.
“Ambil aja.” katanya sambil mengulurkan kembali minumannya padaku.
Aku nggak bertanya lagi, hanya menerima minuman yang dia berikan.
“Oh ya, aku mau minta izin,” ujarnya dengan memasang wajah serius.
“Izin? Untuk apa?” tanyaku penasaran.
“Aku boleh nggak ngebonceng cewek lain?” tanyanya.
Aku terdiam.
(Ngebonceng cewek lain? Hm, aku harus jawab apa ya? kalau aku bilang iya tapi pas liat aku cemburu, kan coni banget. Kalau aku jawab nggak, nanti dia berpikir aku posesif. Galau parah diriku.)
“Boleh nggak?” Alfa bertanya sekali lagi.
Aku menggelengkan pelan kepalaku.
“Nggak boleh. Selain keluargamu nggak boleh. Aku cemburu,” jawabku jujur.
Alfa diam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Oh yaudah,” ujarnya pasrah.
“Ada apa sih? Memangnya mau ngebonceng siapa?” tanyaku mulai kepo-agak kesal juga sih sebenarnya.
“Hm, gini. Sebenarnya aku…” Alfa menghentikan ucapannyam tampak ragu-ragu membuatku sedikit tidak nyaman dengan keadaan ini.
“Kau kenapa?” tanyaku makin kepo.
“Ah, nggak! Yaudah, lanjut latihan gih! Aku mau balik bimbingan. Dah, Ina,” jawabnya lalu pergi dengan melambaikan tangan.
Aku membalas lambaian tangannya.
Ada apa ya? Kok Alfa jadi bersikap aneh gini. Kau nggak lagi main api, kan, Pacar? Ah, aku nggak boleh berpikir buruk. Aku harus percaya padanya. Selain itu aku harus fokus untuk kejuaraan. Semoga nggak ada hal buruk yang terjadi. Amin.