Deru angin dingin Edinburgh siang itu menyapu lembut wajah Nadira. Ia duduk di bangku kayu yang menghadap hamparan taman kecil di depan hotel tempatnya bekerja. Waktu istirahat satu jam selalu menjadi penyelamat di tengah padatnya shift siang, tapi sampai hari ini jantungnya masih berdetak tidak stabil sejak terhubung lagi dengan Bian. Sesekali ia menyentuh layar ponselnya, seolah memastikan percakapan kemarin benar - benar terjadi. Satu - satunya orang menjadi tempat curhatnya adalah Reza. Biasanya setelah curhat membuatnya lebih tenang, walau tak jarang juga semakin kesal. Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak punya pilihan, dan dia juga tidak mau memilih sahabat baru, Reza sudah yang terbaik. Jarinya langsung menyentuh layar ponsel pada kontak Reza. Begitu nada panggil berbunyi, suara Re

