Schedule ke Denpasar sudah di tangan, Bian merasa lega, setidaknya sebagian. Walau rute ke Bali itu masih empat hari lagi, ada secercah harapan dalam dirinya, yang paling utama tentu harapan untuk bertemu Nadira, melihat keadaannya dengan mata kepala sendiri, bukan hanya mendengar kabar setengah - setengah yang terselip dari pidato papanya tadi malam. Bian duduk di kursi crew room, menatap lembar perubahan schedule di tangannya. Barisan angka dan kode bandara yang biasanya hanya jadi rutinitas kini seperti peta rahasia yang bisa membawanya pada kenyataan yang sudah ia abaikan. Hatinya penuh gejolak. Ia tahu, ini bukan hal sederhana. Bagaimana cara menjelaskan keberadaannya nanti di tempat Nadira? Apakah ia harus menelpon Clarissa dan bilang, 'kebetulan aku ada waktu, apa aku jenguk Kak N

