"Tunangan?" tanya Papap Owka, menegaskan pertanyaan mama Jani tadi, Nadanya datar seperti menimbang sesuatu.
"Iya, Pap..." suara Bian lirih, nyaris seperti sebuah pengakuan.
Papap Owka menegakkan tubuhnya. "Kenapa harus tunangan? Kenapa kalian nggak langsung nikah aja kalau memang sudah mantap niatnya?"
Bian menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam. Hening beberapa detik terasa berat, seolah semua kata tertahan di kerongkongan. Ia sedang mencari kalimat yang pas, tapi di dalam kepala pikirannya simpang siur.
"Aku belum mau menikah dalam waktu dekat, Pap..." akhirnya ia bersuara pelan. "Karirku masih panjang. Paling cepat, dua atau tiga tahun lagi baru kepikiran ke arah sana."
Papap Owka mengangkat alis. "Terus, kenapa harus sampai tunangan segala?"
Bian menahan napas. Ia tahu pertanyaan itu akan muncul, tapi lidahnya kelu untuk menjawab. Sebenarnya ia malu mengungkapkan alasan yang sederhana namun begitu mendasar, ia takut kehilangan Clarissa. Dunia modeling gadis itu penuh gemerlap, penuh orang baru yang bisa saja membuat Clarissa menjauh.
Tatapan Papapnya yang tajam membuat Bian akhirnya berbisik jujur, "Aku nggak mau kehilangan dia, Pap. Jadi lebih percaya diri kalo sudah tunangan."
Papap Owka menghela napas panjang, lalu menatap anak lelakinya yang sudah dewasa tapi terlalu polos ini.
"Kalau nggak mau kehilangan tuh ya nikah aja, A', bukan tunangan. Di keluarga kita sudah ada contohnya kok, sudah tunangan malah kehilangan. Tapi kehilangannya saat itu memang perlu disyukuri, cuma kan nggak enak jadinya. Karena tunangan itu sudah melibatkan keluarga, tapi malah batal nikah."
Mama Jani yang sedari tadi diam ikut menoleh pada suaminya. Papap Owka sedang menceritakan tentang tunangan gagal adiknya sendiri.
"Ngapain repot - repot tunangan kalau belum mau nikah? Kalo memang belum mau nikah dalam waktu dekat, ya pacaran aja dulu. Papap bukannya anti pertunangan, tapi gunanya apa gitu kalo nikahnya masih bertahun - tahun kemudian? Kecuali Aa’ udah mau nikah beberapa bulan lagi, jadi lamaran sekaligus tunangan menjelang pernikahan, itu oke. Tapi kalau masih dua atau tiga tahun lagi..." Ia mengangkat bahu, suaranya mantap. "Menurut Papap itu nggak berguna sama sekali."
Bian mengusap tengkuknya, perasaannya tidak nyaman. Kata - kata Papapnya masuk akal, tapi wajah Clarissa langsung melintas di pikirannya. Senyumnya, ambisinya, dan permintaannya yang penuh keyakinan semalam. Clarissa ingin kepastian, bukan sekadar status pacaran. Ia ingin diikat, dan menunjukkan bahwa Bian benar - benar serius.
Mama Jani akhirnya angkat bicara, mencoba menengahi. "Mungkin Clarissa butuh rasa aman, Pap. Kamu tahu kan dunia dia kayak gimana, banyak orang yang bisa bikin dia goyah. Mungkin dia cuma takut."
Bian menoleh ke arah Mamanya, matanya seolah berterimakasih karena sudah memberi pengertian. Tapi Papap Owka tidak langsung melunak. Ia tetap pada pendiriannya, walau nadanya sedikit melembut.
"Aku ngerti, sayang. Tapi Aa’ juga harus mikirin diri sendiri. Jangan sampai keputusan besar diambil cuma karena takut kehilangan. Nanti malah nyesel. Aa' masih muda ... apalagi karirnya masih panjang."
Papap Owka menoleh ke Bian,"Tapi kembali lagi, semua Aa' yang memutuskan, tugas Papap hanya mengingatkan."
Ruangan hening lagi. Hanya terdengar suara detik jam dinding dan sayup Adzan Ashar dari kejauhan.
"Ya, Pap."
Lalu ia pamit naik ke kamarnya dengan membawa kebimbangan.
*
Malam mulai turun di Cipete. Hujan yang sempat mengguyur sebentar sebelum Maghrib tadi, menyisakan dingin diluar sana. Bian duduk ditepi ranjang, menatap layar ponselnya yang masih menyimpan pesan singkat Clarissa.
Ia tahu Papapnya tidak setuju soal rencana pertunangan ini. Kata - kata sore tadi masih terngiang jelas, tunangan dianggap tak berguna jika pernikahan masih jauh. Tapi di hatinya, Bian sudah mantap. Ia tidak ingin Clarissa merasa digantung. Gadis itu butuh kepastian, dan Bian tidak sanggup membiarkannya merasa sendiri menghadapi sorotan dunia modeling yang penuh risiko untuk hubungan mereka.
Bian berdiri, berjalan keluar kamar. Lampu ruang keluarga masih menyala. Mama dan Papapnya tampak duduk di sofa menunggu mobil jemputan Papapnya.
"Pap ... Ma," panggil Bian lirih.
Mama Jani menoleh. "Kenapa, A’?"
Bian mendekat, lalu duduk di sebelah Mamanya. Ada jeda singkat, sebelum akhirnya ia membuka suara.
"Aku udah mikir lagi. Aku tetap mau tunangan sama Clarissa," ucap Bian sambil melihat ke Papapnya dan menoleh ke mamanya.
Papap Owka diam saja, sedangkan Mama Jani meletakkan ponselnya di pangkuan. Matanya menatap Bian penuh rasa ingin tahu. "Aa' yakin?"
Bian menarik napas dalam - dalam. "Iya, Ma. Aku tahu Papap nggak setuju ide ini, tapi aku nggak bisa biarin Clarissa ngerasa aku nggak serius. Dunia dia nggak gampang, Ma. Aku harus kasih tanda kalau aku bener - bener ada buat dia. Kalau cuma pacaran terus, dia bisa aja ragu ... atau bahkan pergi."
Mama Jani terdiam sejenak, lalu mengusap lengan anaknya pelan. " ... yang perlu Aa tahu, papap itu bukan nggak setuju dengan Clarissa ya, Papap cuma heran kok kalian malah memikirkan bertunangan padahal keinginan nikah masih jauh," ucap mama Jani lalu menoleh sebentar ke arah suaminya yang masih dalam mode diam.
"Ya Aku tahu, aku tahu resikonya, aku tahu waktuku buat nikah mungkin masih lama, seperti yang Papap bilang tadi sore. Tapi aku nggak mau kehilangan Clarissa cuma gara - gara aku ragu. Aku lebih baik ambil langkah ini sekarang."
Mama Jani menatap wajah anaknya lama. Ia bisa melihat kesungguhan di mata Bian, meski ada sisa kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ia menoleh ke suaminya yang tampak tenang seperti biasa.
Mama Jani tampak tersenyum, walaupun bukan senyum yang bahagia seutuhnya, tapi senyum penuh keraguan. Bian memang sudah memperkenalkan Clarissa kepada mereka semua di dalam keluarga ini. Waktu ulang tahun Lily dua bulan yang lalu, Bian membawa Clarissa. Gadis itu cantik, menarik dan juga cara bicaranya manja dan enak didengar, dalam waktu singkat saja dia sudah akrab dengan keluarga mereka. Wajar kalau Bian takut kehilangan. Tapi sekarang mama Jani juga jadi ikut berpikir seperti papap Owka. Kejadian pertunangan Ririn, adik iparnya, sudah menjadi pelajaran yang berharga dan membuat sedikit trauma soal pertunangan. Memang tidak semua pertunangan akan berakhir seperti itu, banyak malah akhirnya menikah, tapi karena pengalaman buruk di keluarga suaminya, membuat mama Jani juga maklum dengan keberatan Papap Owka, dan ia tidak akan memaksakan suaminya untuk setuju dengan keinginan Bian ini.
"Kapan kalian mau tunangan?" tanya Papap Owka akhirnya memecah keheningan sesaat, dan itu cukup mengagetkan.
Bian sampai mendongak melihat ke Papapnya, mama Jani juga.
"Secepatnya, Pap," jawab Bian bersemangat.
"Atur aja sama mama untuk bicara dengan orang tuanya Clarissa, nanti Papap atur schedule libur," ucap Papap Owka lalu berdiri, memakai topinya bersiap untuk berangkat.
Izin itu terasa seperti beban yang terangkat dari bahu Bian. Setelah Papapnya pergi, ia langsung kembali ke kamarnya, Bian segera mengabarkan Clarissa, dan merencanakan pertemuan dengan orangtuanya.
"Besok bisa ketemu, nggak, aku libur," tanya Bian.
"Hmm .. bisa, aku ada jadwal meeting sama vendor, tapi jam sekitar jam satu udah selesai, sih."
"Mau aku jemput dimana, gimana kalo kita makan siang bareng?"
"Nggak usah dijemput, A', aku nanti bareng sama mas Idan juga," jawab Clarissa menyebut nama managernya.
"Owh oke, mau ketemuan dimana?"
"Alice, Langham, seperti biasa?"
"Boleh."
"Jam satu lima belas deh ya, lokasi meetingku dekat kok dari situ."
"Oke."
Selanjutnya mereka juga membahas soal rencana Bian untuk bertemu dengan papa dan mama Clarissa besok malam untuk membicarakan soal rencana pertunangan ini. Semua langsung mereka atur waktunya.
"Sampai besok ya, sayang..."
"Ya, sampe besok, I love you, A'."
"I love you, too, Sa."
*
Bian sudah sampai di hotel tempat mereka janjian untuk makan siang, sebenarnya ini sudah agak terlambat untuk makan siang, tapi karena Clarissa baru selesai meeting jam satu, Bian terpaksa mengikuti jadwalnya.
"Oops, maaf ..." ucap Bian ketika tanpa sengaja menabrak seseorang. Ini salahnya karena berjalan sambil membalas pesan Clarissa.
Wanita yang ditabrak Bian tadi tidak marah, ia malah tersenyum, "Nggak apa - apa," jawabnya ramah.
Bian sempat tertegun. Ada sesuatu di wajah wanita itu, entah keramahannya, entah sorot matanya, yang membuatnya tak segera tersadar.
Dan sebelum Bian sempat membalas ucapannya untuk berterimakasih karena ia tak marah, atau mau mengucapkan maaf sekali lagi dengan cara yang benar, wanita itu malah sudah hilang entah kemana ...Bian sampai mengedarkan pandangan, tetap saja tidak terlihat.
"Kemana, dia?"