Malam Pertunangan

1514 Kata
Persiapan menjelang pertunangan sudah berjalan beberapa minggu belakangan ini. Setelah Papap dan Mamanya memberi lampu hijau, Bian langsung bicara dengan orangtua Clarissa untuk mengatur semuanya, mulai dari perkenalan tante Safira dan Om Benny, mama dan papa Clarissa dengan orangtuanya, persiapan untuk keluarga masing - masing dan memanggil WO yang sudah biasa menangani acara pertunangan. Bian dan Clarissa memang tidak bisa mengurus semuanya karena waktu mereka yang terbatas, Mama Jani dan mama Safira lah yang berurusan dengan WO untuk mengurus pertunangan mereka ini. Hingga akhirnya tiba waktunya. Keluarga Clarissa tampak sudah bersiap menyambut para tamu. Hari ini adalah hari istimewa yang sudah dinanti, yaitu hari pertunangan anak mereka, Clarissa, dengan Fabian Angkasa. Clarissa, gadis cantik jelita yang kini berprofesi sebagai model, menjadi kebanggaan keluarga orangtuanya. Ada rasa haru sekaligus bangga, sebab ia akan bertunangan dengan anggota keluarga Pratomo yang cukup terkenal. Walaupun Fabian hanyalah anak sambung dari Owka Narendra, namun keluarga papa kandungnya pun bukan keluarga sembarangan. Pernah menjabat posisi penting, nama keluarga itu sempat dikenal banyak orang. Dan Fabian adalah pria idaman wanita, wajahnya yang tampan, karir pun cemerlang, serta didukung dengan latar belakang keluarga kelas atas, ia tak sadar kalau sebenarnya Clarissa lah yang takut kehilangan dirinya. Sementara itu, di kamarnya di lantai atas, Clarissa tengah dirias oleh Mbak Lulu, MUA langganannya. Salah satu MUA yang cukup terkenal juga di ibu kota dan sudah sering jadi langganan para artis papan atas. Di sekelilingnya ada Vina, Audrey, dan Tessa, sahabat - sahabatnya sejak SMA dan juga waktu kuliah, serta Nadira, adik bungsu mamanya yang hanya berjarak umur tiga tahun lebih tua darinya, Clarissa memanggilnya Kak Nad. karena Nadira memang enggan dipanggil tante, apalagi mereka sudah biasa main bersama sejak kecil. Sekarang Nadira khusus datang dari Bali ke Jakarta untuk menghadiri acara pertunangan keponakannya yang sudah bertemu jodoh lebih dulu darinya. "Pecah telor nih kita. Clarissa duluan yang tunangan," celetuk Audrey sambil menatap ke arah cermin. Clarissa hanya tersenyum saat MUA menyapukan kuas di wajahnya. "Gue berasa ketinggalan banget, deh ...mana belum punya pacar lagi ...sengenes itu nasib gue." "Apa kabar tante gue, tuh ..." balas Clarissa usil, lalu melirik Nadira. Nadira hanya tersenyum santai, tidak menanggapi serius. "Eh, maaf, tante ..." ujar Audrey buru - buru, menyadari ledekan itu bisa menyinggung tantenya Clarissa yang masih menjomblo, padahal lebih tua dari mereka semua. Ia benar - benar lupa, padahal Clarissa sudah pernah cerita. "Santai aja, kan katanya jodoh nggak akan ke mana. Siapa tahu jodoh kita lagi jagain jodoh orang lain sekarang," jawab Nadira lalu terkekeh. Dengan usianya yang sudah 26 tahun, ia merasa masih muda, bebas, dan tidak terburu - buru memikirkan pernikahan. "Wah, bener juga!" seru Audrey, lalu menoleh lagi ke Clarissa,"Karena tante Nadira, seenggaknya gue nggak merasa ketinggalan lagi, Ris." Tawa pun pecah di ruangan itu. Bahkan Mbak Lulu, sang MUA, ikut tersenyum. "Kalian seumuran, ya?" tanyanya penasaran. "Tanteku ini tiga tahun lebih tua, Mbak. Tapi dia masih senang sendiri. Tanteku ini chef, lho, punya kafe di Bali," ujar Clarissa sambil setengah berpromosi. "Bukan kafe, Sa. Kedai lebih cocok," bantah Nadira cepat - cepat. "Ya itu lah... kedai katanya," ralat Clarissa sarkas. "Masak sendiri, Mbak?" tanya Mbak Lulu lagi. "Iya, masak sendiri. Ada asisten dan tiga pelayan juga. Kecil - kecilan aja, tapi lebih puas karena ilmunya kepakai." "Keren itu, Tan," celetuk Vina spontan. "Jangan panggil tante dong. Sama kayak Risa aja, panggil Kak Nad." "Nggak apa - apa? Kok kayak nggak sopan gitu." "Nggak apa - apa banget. Rasanya kalau dipanggil tante kayak udah tua banget," tambah Nadira lalu tersenyum. "Iya juga sih." "Sekolah chef di mana dulu, Mbak?" tanya Mbak Lulu, semakin tertarik. "Aku pernah sekolah di Paris, ikut short course di Swiss. Di Indonesia juga sempat privat sama chef lokal buat belajar masakan nusantara." "Keren banget," puji Mbak Lulu tulus. "Dulu sempat kerja di beberapa hotel, cuma ya gitu... banyak aturan. Jadi nggak puas. Makanya aku buka kedai sendiri dengan konsep sendiri. Menunya tiap hari ganti, suka - suka aku." "Masakan mana, Kak?" Vina penasaran. "Kadang western, kadang Indonesia. Tergantung mood. Jadi pengunjung dapat kejutan setiap kali datang." "Sumpah, keren sih! Pasti sudah punya loyal customer. Endorse Clarissa dong, Kak, biar viral kedainya!" Nadira tersenyum. "Udah aku tawarin, gratis sama tante sendiri, tapi Kak Nad nggak mau," potong Clarissa. "Nggak deh, takut nggak sanggup. Aku nggak cari customer yang membludak, tapi customer yang happy sama masakanku, yang datang karena rekomendasi mulut ke mulut, lalu balik lagi dan lagi." "Bener juga tuh. Kalau lewat influencer suka nggak bisa dipertanggungjawabkan. Yang viral belum tentu enak kan? Mereka review-nya karena dibayar, masa bilang nggak enak?" sela Tessa. "Tapi kalau Kak Nad ke Jakarta kayak gini, siapa yang masak di kedai?" tanya Vina. "Nggak ada. Kedai tutup. Makanya aku nggak bisa lama - lama di sini. Dua hari cukup, besok aku udah pulang lagi." "Nanti kalau kita ke Bali, gue ajak kalian semua mampir ke kedai Kak Nad," janji Clarissa. "Setuju!" sahut mereka kompak. "Ditunggu," jawab Nadira. Suasana kamar itu terasa hangat, penuh tawa dan canda, seakan menepis ketegangan menjelang hari istimewa. Beberapa sepupu Clarissa juga hadir, termasuk Gea dan Maulana yang datang dari Bandung. Namun, keduanya tidak ikut berkumpul di kamar Clarissa. Mereka adalah anak dari Tante Amira, tante tengah di antara Mama Safira dan Tante Nadira. * Rumah keluarga Benny Sutara malam itu tampak gemerlap. Lampu kristal yang bergelantungan di ruang tamu besar memantulkan cahaya ke seluruh sudut, berpadu dengan rangkaian bunga putih dan ungu yang ditata indah. Para tamu mulai berdatangan, sebagian besar adalah keluarga dekat, sebagian lagi sahabat keluarga yang sudah lama saling mengenal, bahkan dari Clarissa kecil. Pertunangan Clarissa dan Bian, memang dirancang dengan megah meski hanya diadakan di rumah. Namun di balik kemewahan itu, suasananya tetap hangat dan sarat nuansa kekeluargaan. Bian tiba dengan rombongan keluarga besarnya tepat pukul tujuh malam. Aki Owie dan Nini Priska ikut hadir, ditemani Enin Isti, nenek dari pihak mamanya yang sejak kecil begitu dekat dengannya. Ada pula Om Wika dan keluarga, Om Iksan dan keluarga, keluarga Eyang Nino, Yangti Ana, hampir semua datang mengantarkan Bian. Wajah - wajah penuh kasih itu membuat langkah Bian mantap. Meskipun ia tumbuh tidak dekat dengan keluarga almarhum Papa Erwin, apalagi sejak kakeknya sudah tidak ada lagi, kehangatan keluarga yang mendampinginya sudah cukup membuatnya merasa tidak sendiri. Ia lebih merasa sebagai bagian keluarga Pratomo karena sejak kecil, sejak belum tahu apa - apa, ia sudah masuk dalam keluarga ini dan tidak pernah dibeda - bedakan. Begitu memasuki rumah megah keluarga Sutara, Bian disambut Pak Benny dan ibu Safira dengan hangat. Clarissa sendiri turun dari tangga dengan kebaaya modern berwarna pastel yang membuat semua mata tertuju padanya. Senyum keduanya mengembang, menyiratkan harapan baru yang hendak mereka rajut bersama. Acara berlangsung dengan khidmat. Prosesi pertunangan disaksikan kedua keluarga, doa - doa dipanjatkan, cincin pertunangan melingkar di jari manis Clarissa, dan tepuk tangan meriah mengiringi momen itu. Semua terasa sederhana namun penuh makna. Setelah prosesi pertunangan usai, para keluarga mulai saling berkenalan lebih dekat dan berbicara akrab. Clarissa, dengan wajah sumringah, menggandeng tangan Bian lalu membawanya berkeliling, mengenalkan tunangannya secara langsung kepada keluarga. "Kak Nad, kenalin ini Fabian," ucap Clarissa ramah, mempertemukan Bian dengan sosok yang jarang muncul di lingkaran acara keluarga. "A’... ini Tante Nadira, adik Mama yang paling kecil. Tapi panggilnya Kak Nad aja, ya. Soalnya nggak mau dipanggil tante," ujar Clarissa sambil terkekeh kecil. Bian menoleh. Untuk sepersekian detik, ia terpaku. Nadira berdiri di hadapannya dengan balutan kebaya modern yang anggun, senyumnya ramah sekaligus misterius. "Nadira," ucapnya memperkenalkan diri, seraya mengulurkan tangan. "Senang akhirnya bisa berkenalan langsung dengan calon keponakan." Bian butuh waktu satu kali helaan nafas sebelum menjawab sapaan hangat itu. Saat jari - jarinya menggenggam tangan Nadira, kilasan ingatan menyeruak. Tatapan itu, senyum itu....senyum yang pernah ia temui sebulan yang lalu di Alice, Langham. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ternyata wanita yang ia tabrak kala itu… adalah Nadira. Tante tunangannya sendiri. "Fabian," akhirnya ia bersuara, berusaha terdengar tenang. "Saya juga senang ketemu dengan tantenya Risa." Mereka bersalaman lebih lama dari yang seharusnya. Ada setruman samar yang sulit diabaikan, membuat Nadira menahan napas sesaat. Namun ekspresinya tetap terjaga, senyumannya mengembang seolah tidak ada yang salah. Sementara itu, Bian berusaha menyamarkan keterkejutannya dengan senyum kaku. Dalam hatinya, ada kebingungan yang bahkan tak berani ia pikirkan. Situasi sempat canggung, sementara Clarissa sedang asik berbincang dengan salah seorang tamunya, Nadira mundur selangkah, memberi ruang bagi Bian untuk kembali berdiri di sisi tunangannya, dan akhirnya ia menghilang lagi seperti waktu itu. Pesta terus berlangsung. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan, pramusaji berlalu - lalang membawa piring - piring berisi hidangan mewah, anak - anak kecil berlarian di halaman belakang Clarissa yang luas. Semua tampak sempurna untuk sebuah pesta pertunangan. Malam ini, pertunangan Clarissa dan Bian resmi mempertemukan dua keluarga besar. Semua orang percaya itu awal yang baik untuk masa depan keduanya. Namun di balik senyum - senyum hangat dan ucapan selamat dari semua yang hadir, tidak ada yang tahu kalau takdir sudah datang menghampiri dalam bentuk hal - hal sepele seperti pertemuan tak sengaja, jabatan tangan yang terlalu lama, hingga 'rasa aneh' yang diabaikan. Dan tak ada seorang pun yang tahu… betapa besar dampaknya itu kelak pada hidup mereka bertiga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN