Bian turun dari mobil jemputannya dan menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke ruang Flops. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi, kantor crew di bandara belum terlalu ramai, hanya beberapa petugas dan awak kabin yang mondar - mandir dengan koper kabin mereka. Hari ini ia dijadwalkan terbang ke beberapa destinasi domestik sebelum akhirnya mengakhiri penerbangan di Singapura untuk menginap satu malam.
Setelah menandatangani daftar hadir, ia menerima beberapa lembar briefing paper yang berisi informasi rute, cuaca, serta notam yang berlaku. Matanya cepat menyapu tulisan - tulisan itu, mengingat rencana penerbangan yang akan ia jalani bersama Captain Rivan Anggono.
"Makasih, Mas," ucap Bian pada petugas Flops, kemudian berlalu menuju crew room, ruangan tempat para pilot berkumpul sebelum terbang.
Begitu masuk, aroma kopi langsung menyeruak. Beberapa kursi sudah terisi. Bian mendapati seorang Captain senior, wajahnya cukup familiar.
"Pagi, Capt," sapa Bian sambil tersenyum.
"Pagi, Bi ... Mau ke mana?" balas Capt. Derry, sosok yang dulu satu angkatan dengan almarhum papa Bian di sekolah pilot.
"Surabaya, Denpasar, Singapura, ron, Capt," jawab Bian.
"Owh ..." jawabnya sambil mengangguk,"Oh iya, istri saya bilang, katanya dapat info dari Jani minggu lalu kamu tunangan?" tanya Capt. Derry sambil menyesap kopinya.
"Iya, Capt," Bian mengangguk sopan.
"Berarti sebentar lagi nikah?"
"Belum, Capt. Mungkin dua atau tiga tahun lagi," jawab Bian tenang.
"Oh... Ada masalah apa sampai tunangan tapi belum nikah? LDR-an?"
"Nggak, Capt, orangnya ada di Jakarta," ujar Bian singkat.
Capt. Derry mengernyit sejenak, tampak bingung dengan jawaban itu, tapi tak melanjutkan pertanyaan. Bian bisa membaca situasi. Dalam hati ia langsung menebak, Captain Derry sejalan dengan cara pikir Papapnya, penuh pertimbangan soal pertunangan.
"Morning," suara lain terdengar.
Seorang co-pilot bernama Anton masuk sambil menenteng map.
"Morning," jawab Bian.
Mereka hanya berbasa - basi singkat. Bian tahu Anton, tapi tidak dekat. Mereka berbeda type rating pesawat sehingga jarang bertukar flight. Sahabat - sahabat dekat Bian di kantor ini hanya Kiko, Setyo, dan Adi, kawan seperjuangan sejak pendidikan pilot dulu.
Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Seorang pria berpostur tegap masuk dengan langkah cepat.
"Pagi..." sapanya ceria.
"Morning, Capt," serentak dijawab beberapa orang.
Itu adalah Captain Rivan Anggono, salah satu Captain senior yang cukup disegani di maskapai.
"Bi, pesawat standby. Yuk, kita jalan sekarang," ajak Capt. Rivan.
"Baik, Capt," sahut Bian sambil berdiri, pamit dengan yang lain lalu keluar ruangan.
Saat berjalan di lorong, Bian berpapasan dengan beberapa rekan lain, sempat menyapa sebentar, kemudian kembali ke dekat meja Flops untuk mengambil koper kecilnya.
"Mas Bian, bareng ya," sapa Mita, salah satu pramugari senior yang juga akan bertugas di penerbangan Bian pagi ini.
"Oh iya, Mbak. Kita mau jalan sekarang."
"Oh sekarang? Sebentar, saya kasih tahu teman - teman dulu," jawab Mita lalu bergegas.
Bian menunggu di lobi sambil menanyakan kepada petugas transportasi bus mana yang akan digunakan untuk mengantar crew ke terminal. Tak lama kemudian, seluruh awak berkumpul. Satu per satu mereka naik ke bus yang sudah siap.
Di dalam bus, suasana cair. Para pramugari duduk di barisan belakang, sementara Bian duduk di samping Captain Rivan di depan.
"Di Singapura nanti ada yang mau jalan nggak?" tanya Captain Rivan sambil melirik ke arah belakang.
"Boleh, Capt. Saya mau ke Orchard," jawab Arina, salah satu pramugari senior dibawah Mita.
"Yaudah. Bi, ikut ya," ujar Captain Rivan menoleh pada Bian.
"Iya, Capt," balas Bian singkat.
Sebenarnya tanpa diajak pun Bian tidak keberatan ikut walau kadang ia memang memilih diam di kamar hotel, pesan makanan, dan beristirahat. Namun kali ini ia harus keluar karena ada beberapa titipan Clarissa yang akan dibelinya di singapore.
Bus berhenti di depan terminal keberangkatan domestik. Semua turun dengan koper masing - masing. Mereka berjalan beriringan menuju pemeriksaan x-ray. Terminal keberangkatan pagi ini sudah ramai, sebagian besar penumpang adalah pebisnis yang mengejar jadwal kerja di luar kota.
Penerbangan hari ini dijadwalkan Jakarta–Surabaya–Denpasar, lalu kembali ke Jakarta sebelum akhirnya menuju Singapura. Rangkaian panjang yang akan menguras energi, tapi sudah jadi bagian dari rutinitas seorang pilot.
Mereka langsung menuju ke pesawat yang sudah standby, Bian kembali memeriksa flight plan. Cuaca di Surabaya diperkirakan hujan ringan, sedangkan Denpasar cerah dengan angin cukup kencang. Ia menandai beberapa catatan penting sebelum briefing singkat dengan Captain Rivan.
"Bi, nanti pas take off ke Surabaya, kamu yang bawa ya," kata Captain Rivan.
"Siap, Capt," jawab Bian penuh semangat.
Ia memang masih dalam tahap menambah jam terbang untuk mencapai posisi yang lebih tinggi. Setiap kesempatan memegang kendali pesawat adalah pengalaman berharga.
Di cockpit, ritual standar dimulai. Checklist dibacakan bergantian, tombol - tombol diperiksa, komunikasi dengan ground control dilakukan. Semua prosedur dijalani dengan disiplin, tanpa terburu - buru. Bagi Bian, inilah momen paling fokus, memastikan setiap detail aman sebelum ratusan nyawa dibawa terbang.Proses boarding dimulai dan dilanjutkan dengan laporan - laporan.
Ketika pintu pesawat ditutup dan lampu tanda sabuk pengaman menyala, suara mesin mulai meraung. Bian melirik Captain Rivan yang memberikan anggukan singkat.
"Your control," ujar Capt. Rivan.
"My control," balas Bian mantap, tangannya menggenggam tuas throttle.
Pesawat mulai bergerak, perlahan meninggalkan apron menuju runway. Detik - detik seperti ini selalu membuat Bian merinding campuran adrenalin, tanggung jawab, dan rasa cinta pada profesi 'turunannya'.
Hari baru telah dimulai. Dan bagi seorang pilot, setiap penerbangan selalu punya cerita baru
Pesawat mulai bergerak perlahan meninggalkan apron, mengikuti jalur taxi menuju runway. Di luar jendela cockpit, lampu - lampu apron berderet seperti bintang kecil yang memandu. Bian memegang sidestick dengan tenang, sementara matanya terus memperhatikan instruksi dari ground control yang terdengar melalui headset.
"Jakarta Ground, Speedbird 721, taxi to runway two five left via alpha one," suara ATC terdengar jelas.
Captain Rivan segera merespons, "Taxi to runway two five left via alpha one, Speedbird 721."
Bian menjalankan instruksi, tangannya stabil di kendali. Ia sudah terbiasa, namun setiap kali taxiing di bandara besar seperti Soekarno-Hatta, fokusnya selalu ekstra. Banyak traffic di sekitar mereka, pesawat lain bergerak di jalur berbeda, kendaraan ground melintas, dan semua butuh kewaspadaan.
Setelah beberapa menit, mereka berhenti di holding point. Lampu runway terlihat di depan, panjang dan berkilau. Suara mesin lain meraung, menandakan ada pesawat yang sedang take off.
"Line up, cleared for take off," instruksi ATC masuk.
Captain Rivan menoleh pada Bian, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Bi, ini momen kamu. Bawa sampai airborne, nanti di atas saya yang ambil alih."
Bian menarik napas dalam, "Siap, Capt."
Ia mendorong tuas throttle perlahan ke posisi take off power. Mesin langsung meraung keras, getaran terasa hingga kursi. Pesawat mulai meluncur cepat di landasan, angka kecepatan di layar panel cockpit bertambah cepat, 80 knots... 100 knots...
"V one," suara Captain Rivan lantang.
"Rotate," lanjutnya.
Dengan tangan mantap, Bian menarik sidestick. Moncong pesawat perlahan terangkat, tubuhnya seakan ikut terdorong ke belakang. Dalam hitungan detik, roda - roda pesawat meninggalkan tanah, melayang di udara.
"Positive climb," ujar Bian.
"Gear up," instruksi Captain Rivan.
"Gear up," sahut Bian sambil mengaktifkan tuas roda pendarat. Suara mekanis terdengar ketika roda masuk ke lambung pesawat.
Perasaan campur aduk menyeruak di d**a Bian. Meski sudah ratusan kali take off, ada kebanggaan tersendiri setiap kali ia berhasil membawa pesawat terangkat dengan mulus. Kali ini, ia merasa seperti sedang membuktikan sesuatu kepada dirinya sendiri, juga kepada bayangan Papanya yang dulu pernah merasakan hal yang sama, hanya saja papanya bukan pesawat komersil seperti ini.
"Good job, Bi. Smooth," komentar Captain Rivan.
"Terima kasih, Capt," jawab Bian singkat, namun senyumnya tidak bisa disembunyikan.
Pesawat menanjak ke ketinggian jelajah. Lampu kota Jakarta terlihat semakin kecil, perlahan tertutup oleh awan tipis. Cabin crew mulai bersiap memberikan layanan. Di kursi paling depan, suasana penuh konsentrasi, namun tetap ada ruang untuk obrolan ringan.
"Bi, kamu masih sering kepikiran almarhum Papa kamu nggak kalau terbang?" tanya Captain Rivan tiba - tiba, nadanya serius namun hangat.
Bian terdiam sejenak. Pertanyaan itu menusuk, tapi ia tersenyum kecil. "Kadang, Capt. Apalagi kalau ketemu senior yang dulu pernah kenal Papa. Rasanya kayak... ada ekspektasi yang harus saya penuhi. Padahal saya nggak pernah ketemu papa saya. Role mode saya ya, papap saya."
"O Capt Owka ya?"
"Iya, Capt...saya tumbuh besar tahunya Papap Owka. Kalo almarhum papa saya hanya berdasarkan cerita mama atau kakek saya aja waktu almarhum masih ada."
Captain Rivan mengangguk pelan. "Wajar. Tapi ingat, kamu terbang bukan buat orang lain, tapi buat diri kamu sendiri. Selama kamu profesional, semua akan baik - baik saja."
Bian hanya mengangguk. Ia menyimpan kata - kata itu dalam hati.
Setelah mencapai ketinggian jelajah, autopilot diaktifkan. Cockpit menjadi lebih tenang. Mereka melanjutkan diskusi soal cuaca di Surabaya. Dari laporan METAR, ada hujan ringan dan kemungkinan crosswind di landasan.
"Nanti landing Surabaya saya yang pegang, kamu observasi aja," kata Captain Rivan.
"Siap, Capt," jawab Bian.
Perjalanan menuju Surabaya relatif lancar. Sesekali mereka melewati awan tebal, tubuh pesawat berguncang ringan, namun tidak ada yang mengkhawatirkan. Bian sibuk mencatat poin - poin penting di kneeboard-nya, memastikan semua data masuk ke logbook.
Tidak terasa dari jendela, garis pantai utara Jawa mulai terlihat. Lampu - lampu kota Surabaya berkilauan di kejauhan. Suasana di cockpit kembali serius saat mereka mulai descent. Captain Rivan mengambil alih kendali penuh.
"Approach Surabaya, Speedbird 721, descending to 3000 feet, established on ILS runway one zero," suara Captain Rivan terdengar mantap.
Instruksi ATC dibalas dengan cepat, dan pesawat mulai menukik perlahan. Angin samping terasa cukup kuat, membuat pesawat sedikit goyah.
"Crosswind ya, Capt," komentar Bian sambil memperhatikan indikator.
"Iya, makanya pegang yang kuat," jawab Rivan.
Pesawat merapat ke landasan. Cahaya lampu runway semakin jelas, deru mesin terdengar lebih keras. Dengan penuh konsentrasi, Captain Rivan menyeimbangkan kendali.
"Fifty, forty, thirty, twenty, retard," suara otomatis terdengar dari sistem.
Pesawat menyentuh landasan dengan sedikit hentakan, lalu perlahan melambat. Sorak sorai kecil terdengar dari kabin penumpang—reaksi wajar saat mereka merasakan landing yang agak keras.
"Landing complete," ucap Captain Rivan sambil menarik napas lega.
Bian tersenyum, "Mantap, Capt. Crosswind-nya lumayan."
"Hahaha... begitulah Surabaya kalau musim hujan," jawab Capt. Rivan sambil tertawa kecil.
Mereka taxi menuju gate, lalu mematikan mesin sesuai prosedur. Setelah pintu terbuka, suara pramugari mulai terdengar memberi salam kepada penumpang.
Bian bersandar sejenak di kursinya, tubuhnya terasa rileks. Satu sektor sudah selesai, masih ada dua lagi sebelum malam nanti mereka tiba di Singapura. Hari masih panjang, tapi semangatnya belum padam.
Bian menghela napas panjang, melepas headset, dan menyandarkan tubuhnya sejenak. Suara pramugari mulai terdengar dari pengeras kabin, memberi ucapan selamat datang kepada penumpang.
"Nice landing, Capt," ucap Bian sambil tersenyum.
Captain Rivan melirik sekilas, lalu mengangguk kecil. "Lumayan. Crosswind-nya bikin deg - degan, ya."
Bian terkekeh pelan. "Iya, Capt."
Mereka berdua masih duduk di kursi cockpit, tidak ada niatan keluar. Mereka hanya transit 40 menit sebelum terbang lagi ke Denpasar.
Bian mengaktifkan ponsel, sinyal langsung penuh. Beberapa notifikasi masuk dan diabaikannya, matanya hanya fokus pada satu nama di layar, Clarissa.
Jarinya cepat menari di atas layar.
Bian
Sayang, aku sudah di Surabaya. Lagi nunggu boarding ke Denpasar.
Pesan terkirim. Bian melirik sekilas ke arah Captain Rivan yang duduk di kursi sebelah, sedang sibuk dengan ponselnya juga. Aman, pikirnya. Ia bisa memanfaatkan beberapa menit ini untuk menyapa tunangannya.
Balasan datang tidak lama kemudian.
My love
Oke... aku baru mau berangkat dari rumah nih. Ada gladi resik peragaan busana untuk besok malam.
Bian tersenyum. Ia tahu betul kesibukan Clarissa sebagai model kadang bikin mereka sulit bertemu. Tapi justru itu yang membuat setiap percakapan kecil terasa berharga.
Bian
Hati - hati di jalan ya. Jangan lupa makan dulu sebelum latihan.
My love
Udah kok. Tadi Mama bikinin sup. Aku kenyang banget sekarang. Kamu gimana? Capek nggak?
Bian mengetik sambil tersenyum kecil.
Bian
Masih semangat. Baru satu sektor selesai. Habis ini ke Denpasar dulu, baru balik Jakarta, terus Singapura siangnya.
My love
Semangaat
Bian
Siap, Sayang.
Bian tersenyum lagi sambil mengetik balasan, ia sedang membayangkan wajah Clarissa yang pasti sedang menata rambutnya sambil menunggu sopir. Ia mengetik cepat.
Bian
Kamu latihan sampai jam berapa?
My love
Mungkin malam. Katanya ada fitting kostum juga. Jadi pulangnya agak telat.
Bian mengernyit kecil.
Bian
Jangan terlalu capek ya. Jangan tidur larut. Besok aku landing malam, jadi nggak bisa nemenin kamu sebelum show.
My love
Gapapa, sayang, yang penting kamu jaga diri di sana. Nanti kalau sudah sampai Singapura kabarin aku, ya.
Bian
Iya. Kamu juga kabarin kalau sudah selesai latihan.
Di sampingnya, Captain Rivan bergumam sambil membuka tablet, entah sedang memeriksa notam terbaru atau sekadar mengecek jadwal. Bian melirik sekilas, memastikan percakapannya tetap aman. Ia lalu menambahkan satu kalimat lagi, lebih personal.
Bian
Kangen...
Balasan Clarissa muncul dengan cepat.
My love
Aku juga. Rasanya pengen ikut duduk di kursi sebelah kamu sekarang.
Bian tertawa kecil, nyaris tak bersuara agar tidak mengundang perhatian. Jari - jarinya mengetik pelan.
Bian
Kalau kamu ada di sebelahku sekarang, pasti aku nggak bisa fokus terbang.
My love
Hahaha... emang sengaja.
Bian
Kalau soal kamu aku gampang kacau.
Clarissa membalas dengan emoji senyum malu dan hati. Sederhana, tapi cukup membuat hati Bian hangat. Ia menyimpan ponsel di pangkuannya sejenak, lalu memandang ke luar jendela terminal. Di kejauhan, lampu apron menyala, pesawat lain lalu lalang bergantian mengisi landasan. Dunia kerjanya begitu sibuk, tapi satu pesan singkat dari tunangannya sudah cukup membuat segalanya terasa ringan.
Ponselnya kembali bergetar.
My love
Aku masuk mobil dulu ya. Nanti kalau sudah sampai venue, aku kabarin.
Bian
Oke. aku telpon kamu nanti sore aja pas aku sudah di Singapore ya.
My love
Ok, sayangku ...Love you.
Bian terdiam sebentar, lalu membalas.
Bian
Love you more.
Senyap, tidak ada lagi balasan. Bian meraih botol minum dari tempat botol di samping tempat duduknya, meneguk beberapa kali, lalu menegakkan punggungnya. Tubuhnya terasa segar kembali. Percakapan singkat barusan berhasil memberi energi tambahan.
Dan meski jarak seringkali memisahkan, hati mereka tetap bertemu di setiap pesan sederhana.
Bian mengaktifkan lagi mode pesawat dan kembali menyelipkan ponsel ke saku seragam, tepat ketika Captain Rivan menoleh.
"Pacar?" tanya Capt. Rivan yang rupanya sedari tadi memperhatikan Bian senyum - senyum sendiri.
"Tunangan, Capt."
"Owh sudah tunangan rupanya, pasti tunangan kamu takut ayangnya tergoda sama mbak - mbak pramugari, ya?" goda Capt. Rivan.
Bian tertawa menanggapinya.
"Nggak lah, Capt."
"Kamu kalo pacaran bucin, nggak? Kalo saya iya, sekarang aja sudah jadi istri, setiap landing saya selalu laporan dan pengen tahu juga dia ngapain aja, padahal cuma di rumah aja ngurus anak," ucap Capt.Rivan lalu tertawa sendiri mengingat kelakuannya.
"Sama, Capt...saya juga Bucin."
Mereka berdua tertawa.
"Siap, Bi? Saya mau request boarding."
"Siap, Capt," jawab Bian cepat.
Dan mereka melanjutkan perjalanan lagi hingga destinasi akhir hari ini, yaitu Singapura.