"Mau ke mana, A'?" tanya Mama Jani sambil melirik putra sulungnya yang baru saja keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Ia mengenakan celana denim hitam dipadukan dengan kemeja abu - abu yang elegan, Bian tampak semakin tampan.
Bian tersenyum sekilas, lalu meletakkan paper bag di atas sofa. "Mau jemput Risa, Ma. Dia ada show malam ini."
Mama Jani menunduk sedikit, melirik paper bag berwarna krem dengan pita kecil di bagian atasnya. "Itu apa?" tanyanya sambil menunjuk.
"Titipan Risa," jawab Bian singkat. "Aku beli di Singapura kemarin."
"Owh ..." Mama Jani mengangguk pelan, tangannya refleks merapikan bantal sofa meski tidak ada yang berantakan. Kebiasaan kecilnya ketika sedang mencoba mencari kalimat lain untuk dilontarkan.
"Tante Safira sudah nelpon Mama belum soal acara makan malam ulang tahun Om Benny, besok?"
"Sudah," jawab Mama Jani. "Tapi Mama nggak tahu bisa datang apa nggak."
"Kenapa?" Bian mengernyit.
"Papap kan terbang. Nggak tahu Lily bisa temenin Mama atau nggak... Kalau dia pulang kuliahnya cepat, dan kalau nggak malas, mungkin Mama ditemenin Lily. Tapi kalau dia nggak mau ... Mama kayaknya segan banget pergi sendirian, A'."
Bian menatap wajah mamanya cukup lama. Ia tahu persis kalau Mama Jani sebenarnya bukan tipe orang yang manja atau suka merepotkan anak - anak, walau ada kalanya beliau lebih senang ada teman ketika menghadiri acara keluarga besar. 
"Ya pergi sama aku dong, Ma. Kenapa repot - repot mikirnya?" kata Bian akhirnya.
Mama Jani tersenyum samar. "Bukannya kamu bakal jemput Risa? Mama males ah ikut kalian."
"Aku tinggal suruh Risa aja ikut Papa Mamanya. Kita pergi berdua aja. Kalau Lily mau ikut, ya udah nggak apa - apa, jadi bertiga."
"Gitu, ya?" Suaranya terdengar ragu, seakan ia tidak mau mengganggu jadwal putranya.
"Pokoknya Mama perginya sama aku. Terserah Lily mau ikut atau nggak."
"Hmm," gumam Mama Jani, masih dengan raut wajah penuh pertimbangan.
Bian berdiri dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. Ia lalu menghampiri mamanya dan mengecup pipinya, kebiasaan yang sudah mendarah daging sejak kecil. Bukan hanya dirinya, tetapi juga adik - adiknya. Sejak dulu, Papap mereka selalu mengajarkan mereka bahwa Mama adalah ratu di rumah ini, sosok yang paling disayang dan dihormati.
"Aku pergi ya, Ma. Nggak usah ditunggu. Aku nggak tahu pulangnya jam berapa," ujar Bian seraya merapikan kemejanya.
"Besok libur, kan, A'?" tanya Mama Jani memastikan.
"Iya."
"Ya udah, tapi jangan kelewat tengah malam ya... Aa' kan baru pulang terbang, pasti capek."
Bian tertawa kecil. "Iya, Ma. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Bian melangkah menuju pintu, tapi tiba - tiba ia berbalik lagi. "Oya, Ma... kemarin aku ketemu Captain Derry di Flops. Dia nanya soal tunangan, katanya dia tahu dari istrinya kalau aku sudah tunangan."
Mama Jani langsung mengangguk, tidak terlihat terkejut. "O iya. Mama cerita sama Mbak Pinkan. Semua teman - teman almarhum Papa kamu Mama kasih tahu lewat istrinya. Soalnya kan kita kemarin nggak ngundang - ngundang orang lain, jadi Mama kasih tahu secara langsung aja. Cuma temen - temen angkatan Papa kok. Takutnya kalau Mama nggak kasih tahu mereka protes. Semua tentang Aa' mereka harus tahu."
Bian terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Owh... gitu. Ya udah, aku jalan, Ma."
"Ya, salam buat Risa."
"Ya."
---
Mobil Bian meluncur pelan keluar dari halaman rumah. Jalanan malam itu tidak terlalu padat, membuat pikirannya leluasa mengulang percakapan barusan dengan Mama Jani. Ada sesuatu yang hangat setiap kali ia berbincang dengan mamanya. Meski obrolannya sederhana, tetapi selalu ada perasaan lega setelahnya.
Sesekali ia melirik paper bag yang diletakkan di kursi penumpang. Barang titipan Clarissa dari Singapura itu sebenarnya hal sepele, tapi baginya ada kebahagiaan kecil bisa membawakan sesuatu untuk tunangannya.
Pikirannya melayang ke Clarissa. Sudah seminggu mereka resmi bertunangan, dan rasanya masih sulit dipercaya. Perempuan yang dulu hanya ia kenal sebatas teman, kini menjadi calon istrinya. Setiap kali ia mengingat tatapan Clarissa di hari pertunangan itu mata yang berbinar dengan senyum yang nyaris tak pernah hilang dadanya selalu dipenuhi rasa hangat sekaligus tanggung jawab besar.
Mendadak Bian terbayang sesuatu, pangkal alisnya bertaut.
Telepon di dashboard mobilnya tiba - tiba bergetar, Bian terdistraksi. Nama Clarissa muncul di layar. Ia menekan tombol di setir untuk mengangkat.
"Halo, sayang, aku baru jalan," kata Bian.
Suara Clarissa terdengar ceria di seberang sana. "Oke, aku masih di backstage. Nanti Egi yang nungguin kamu di lobi, A'...biar bisa masuk," ucap Clarissa menyebut nama asistennya.
"Oke sayang."
Obrolan mereka berlangsung singkat. Clarissa sudah sibuk bersiap dengan timnya, sementara Bian melanjutkan perjalanan. Tapi percakapan singkat itu saja sudah cukup membuat hatinya berbunga - bunga, sempat membuatnya lupa dengan bayangan yang lewat tadi.
---
Menjelang sampai di venue acara, lampu - lampu kota mulai terasa lebih terang. Jalanan di sekitar gedung tempat Clarissa show cukup ramai, terlihat banyak orang berdandan rapi keluar masuk.
Bian memilih pakai jasa valet parking daripada harus memarkir mobilnya di basement. 
Bian turun dari mobil menuju lobi.
"Bapak tamu undangan?" tanya salah satu usher dengan ramah.
"Hmm..bukan" jawab Bian sambil mengedarkan pandangan mencari Egi asisten Clarissa yang katanya menunggu di lobi.
"Mas Bian sama saya mbak," ucap suara wanita dari arah belakangnya.
"Owh , baik."
Bian lega Egi sudah muncul.
Bian dan Egi berjalan menyusuri lorong menuju ruang penonton.
"Mas Bian nanti duduk disalah satu kursi ya, saya mau ke backstage lagi," ucap Egi.
"Iya, Mas Idan ikut, Gi?"
"Nggak, Mas,lagi diare."
"Oowh."
Sesekali mereka berpapasan dengan panitia yang tampak sibuk, sebagian membawa radio komunikasi, sebagian lagi mengatur tamu yang baru datang. 
"Itu kursinya, mas," tunjuk Egi ketika mereka sudah tiba di ruang acara. Bukan kursi dipinggir panggung, tapi Bian bisa melihat dengan jelas kalau Clarissa berjalan nanti.
Malam itu, ia bukan lagi co-pilot yang baru pulang dari terbang panjang, bukan pula anak sulung yang barusan berpamitan hangat dengan mamanya. Ia hanyalah seorang pria yang duduk di kursi penonton, siap mendukung tunangannya bersinar di atas panggung.
Ketika Clarissa melangkah berjalan diatas panggung, Bian melihat tunangannya itu sangat berbeda, gaun peraknya yang berkilauan. Rambutnya ditata bergelombang, make up-nya sempurna membuatnya tampak memukau. Tidak hanya satu baju, ada lima baju yang dibawakan Clarissa, bahkan ia juga sebagai penutup show yang berjalan bersama perancangnya.
"Kamu keren banget," ucap Bian ketika mereka sudah bertemu diakhir acara. Ia memang bangga, tapi matanya sempat turun meneliti gaun Clarissa yang cukup kebawah di bagian d**a dan punggung. Alisnya berkerut sedikit. "Cuma... ini bajunya agak..."
Clarissa segera menoleh,  "Ini kostum dari perancangnya buat aku, A'. Semua model pakai sama, bagian promosi di luar panggung," bisik Clarissa, "Profesional aja. Kamu jangan pikir macam - macam."
Bian mengatupkan bibir. Ingin berdebat, tapi ia tahu Clarissa tidak suka jika kinerjanya dipertanyakan. Akhirnya ia hanya menghela napas,
Mereka berjalan ke lobi dan menunggu mobil yang sedang diambilkan oleh petugasnya. Bian sudah berharap bisa langsung pulang, tapi Clarissa tiba - tiba menggandeng tangannya erat. "Eh,kita jangan pulang dulu, ya. Aku janjian nongkrong sama teman - teman model. Mereka juga sama pasangan masing - masing, di kafe dekat sini. Kita mampir sebentar, ya?"
Jam di pergelangan tangan Bian menunjukkan pukul sepuluh malam. Badannya masih terasa lelah setelah penerbangan, tapi melihat semangat Clarissa yang belum pudar membuatnya tak tega menolak. Ia hanya mengangguk. "Ya udah, ayo."
"Good!" Clarissa bersorak kecil, lalu merapat ke lengannya. "Aku pengen kamu kenal mereka semua. Biar tahu dunia aku itu kayak apa."
Bian tersenyum tipis, menyalakan mesin mobil. "Oke, aku ikut aja."
Malam itu, roda mobil mereka berputar lagi, menuju kafe tempat dunia Clarissa bersuara lebih keras dari sekadar lampu panggung.
*
Kafe itu tidak terlalu besar, tapi penuh dengan cahaya neon berwarna - warni dan musik elektronik yang berdentum pelan. Begitu masuk, Bian langsung merasakan atmosfer yang berbeda: meja - meja dipenuhi gelas cocktail, tawa renyah para model terdengar bersahut - sahutan, dan aroma parfum bercampur dengan asap rokok tipis dari sudut ruangan.
Clarissa langsung disambut heboh oleh teman - temannya. "Risaaa! You slay, girl!" teriak salah satu model sambil memeluknya. Clarissa tertawa, lalu menarik Bian ke dekat lingkaran mereka.
"Guys, ini Bian. Tunangan gue," katanya dengan bangga.
Bian mengangguk singkat sambil melambai kecil, tapi teman - teman Clarissa malah menyambut dengan teriakan bercampur tawa. Seorang pria dengan kemeja terbuka di bagian d**a bahkan menepuk bahunya. "Wah,  tunangan Risa pilot ya? Gila, ganteng banget, pantesan Risa cepat - cepat ngikat."
Semua tertawa keras, bahkan ada yang menepuk meja sampai gelas berguncang. Bian tersenyum kaku. Ia tidak terbiasa dengan gaya interaksi seperti ini. Selama sembilan bulan pacaran dengan Clarissa, ia jarang ikut kumpul begini. Biasanya Clarissa lebih sering ditemani asistennya atau kadang manajer pribadinya kalau ada acara di luar.
Ia duduk di sebelah Clarissa, mencoba menyesuaikan diri. Tapi pandangannya tidak bisa menipu, gaun - gaun yang dipakai teman - teman Clarissa malam itu penuh belahan d**a yang berani, punggung terbuka, dan rok mini yang menyingkap ketika mereka tertawa terlalu keras. Sesekali Bian berusaha mengalihkan pandangan ke meja, pura - pura sibuk menatap gelas air mineral yang dipesannya.
"Gelasnya kok polos banget sih?" celetuk salah satu model sambil menunjuk minuman Bian. "Nggak mau cocktail? Satu aja, biar cair."
Clarissa buru - buru menengahi. "Dia nggak minum, guys. Jangan dipaksa."
"Alaaah," timpal yang lain sambil ngakak lagi.
Bian hanya menekuk senyum tipis. Ia bisa merasakan telinganya panas, bukan karena marah, tapi karena jengah. Tawa keras, obrolan tentang brand pakaian, dan celetukan nakal yang menggelinding di meja membuatnya merasa seperti orang asing.
Sementara itu Clarissa tampak sangat menikmati waktunya. Ia ikut tertawa, sesekali menggenggam tangan Bian, lalu kembali larut bercanda dengan teman - temannya. Setiap kali itu terjadi, Bian merasa ada jarak, seolah ia hanyalah tamu kehormatan yang diajak sekadar untuk diperkenalkan, bukan bagian dari lingkaran itu.
Jam sudah hampir mendekati dua belas malam, tapi suasana meja justru makin ramai. Gelas - gelas bertambah, tawa semakin keras. Bian melirik jam tangannya. Dalam hati ia menghela napas panjang. Ia tahu, malam ini harus dihabiskan dengan sabar karena yang terpenting bagi Clarissa adalah kehadirannya di sampingnya.