Debat Kecil

1543 Kata
Sekitar pukul satu dini hari, akhirnya Clarissa pamit. Teman-temannya masih ribut, ada yang melambaikan tangan, ada pula yang berteriak menggoda. Bian hanya mengangkat alis singkat, menunggu Clarissa selesai berpamitan. Di luar kafe, udara malam terasa jauh lebih bersih. Jalanan Jakarta sudah lengang, hanya ada beberapa mobil melintas. Clarissa menyandarkan tubuhnya ke pintu mobil sambil merapikan gaunnya. "Capek banget," katanya dengan nada manja. Bian menyalakan mesin mobil tanpa banyak bicara. Ia menunggu Clarissa menutup pintu, lalu melajukan kendaraan ke arah rumah Clarissa. Hening. Hanya suara AC dan dengung mesin yang terdengar. "Kamu kok diem banget, A', ngantuk, ya?" tanya Clarissa, matanya melirik sekilas. Bian menahan napas, lalu mengembuskannya keras. "Aku nggak bisa bohong, sayang. Tadi aku nggak nyaman sama lingkungan itu, terlalu… bar-bar dan bebas." Clarissa menatapnya sebentar, kemudian tersenyum tipis. "Aku ngerti kok. Tapi kan aku juga cuma sekali-sekali. Bukan tiap malam nongkrong begitu." "Sekali-sekali tapi tetap aja, sebaiknya nggak usah lagi," potong Bian agak cepat. Nada suaranya meninggi sedikit. "Kamu lihat sendiri kan, gimana mereka. Minum, ketawa-ketawa nggak karuan, cowok-cowok banyak banget dan tingkahnya .... aku bener-bener nggak suka." Clarissa mengerjapkan mata. "Jadi kamu nggak percaya aku bisa jaga diri?" "Aku percaya sama kamu, tapi aku nggak percaya sama lingkungannya. Aku nggak suka pergaulan kayak tadi," Bian menoleh cepat, suaranya semakin keras. "Kalo kamu sering-sering di situ, siapa yang bisa jamin nggak ada yang coba deketin kamu? Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan kebawa? Kamu mikir nggak kalo keluargaku lihat kamu kayak gitu?" Clarissa terdiam. Senyumnya memudar, wajahnya sedikit merengut. Ia menoleh ke luar jendela sebelum akhirnya menjawab pelan. "Selama ini aku udah buktiin ke kamu kan kalo aku baik-baik aja? Waktu kita pacaran, aku nggak pernah bikin kamu curiga, apalagi sekarang kita udah tunangan. Apa itu masih kurang?" "Aku cuma nggak mau kamu rusak karena circle kayak gitu. Aku lihat mereka tadi… itu bukan dunia yang sehat." Clarissa menoleh lagi, kali ini ada kilat kecil di matanya. "A', kamu pikir aku nggak punya pendirian? Aku memang kerja di dunia yang glamor, iya. Tapi aku bukan boneka yang bisa digerakkin seenaknya. Aku punya batas. Dan mereka nggak boleh masuk sembarangan." "Batas itu bisa kabur kalau kamu terlalu sering di situ," sahut Bian pula. Clarissa menghela napas keras, lalu bersedekap. "Yaudah kalau gitu. Mulai sekarang aku nggak usah kenalin kamu lagi ke teman-teman aku. Kamu kan udah nggak percaya mereka." Nada suaranya dingin, meski tetap terdengar halus. Bian menoleh cepat, menatap wajahnya yang kini jelas ngambek. Ia tahu Clarissa tersinggung. "Sayang… aku nggak maksud gitu." Suara Bian melembut, penuh penyesalan. "Aku cuma takut kamu kenapa-kenapa. Hari ini kebetulan ada aku, kalo nggak?" Clarissa diam, menatap lurus ke depan. Bibirnya mengerucut manja, jelas sekali ia sedang menunjukkan rasa kesalnya. Bian melirik sekilas. Clarissa bersandar di kursi, wajahnya cantik diterangi lampu jalan yang berkelebat. Tapi ekspresinya murung, sisa dari obrolan mereka yang sempat menegang tadi. "Sayang…" suara Bian terdengar lirih, hampir kalah dengan suara rintik hujan di kaca. Clarissa tidak langsung menoleh. "Hm?" "Aku serius tadi. Aku takut kamu kebawa sama lingkungan kayak gitu. Banyak cowok-cowok, minum, baju… aku nggak nyaman." Kata-kata itu meluncur lagi, pelan tapi penuh beban. Clarissa akhirnya menoleh, menatap Bian dengan mata beningnya yang penuh sabar. "A', please… Kamu tahu aku bukan cewek yang aneh-aneh." Bian tetap diam, meski hatinya sedikit tenang mendengar itu. Tapi sorot matanya masih menyimpan resah. Bian melirik sekilas, senyum kecil nyaris terbit di bibirnya. Ia tahu gaya ngambek Clarissa, bukan benar-benar marah, melainkan cara gadis itu menuntut diyakinkan. Namun, kali ini Bian memilih diam. Mobil berhenti di depan rumah besar Clarissa. Lampu teras menyala temaram, dan seorang penjaga keluar membukakan pagar, lalu berdiri menunggu agak jauh dari depan pagar. Bian tidak mematikan mesin, tapi belum sempat bicara lagi, Clarissa tiba-tiba menoleh. Ada kilatan iseng di matanya, bercampur keseriusan yang membuat Bian terdiam. "Kalau aku bilang aku punya cara buat bikin kamu berhenti khawatir, kamu mau nggak?" bisiknya pelan. Bian mengerutkan dahi. "Maksudnya?" Clarissa tidak menjawab. Ia bergerak mendekat, tangannya terangkat menyentuh pipi Bian. Gerakannya lembut tapi mantap. Sebelum Bian sempat menarik napas, bibir Clarissa sudah menempel di bibirnya. Ciuman itu dimulai singkat, seperti kejutan. Namun hanya butuh satu detik untuk membuat jantung Bian berdegup kencang. Clarissa menarik diri sedikit, menatapnya dengan mata berkilat nakal. "Supaya kamu nggak ragu lagi," bisiknya. Bian terperangah. Tapi begitu Clarissa kembali mendekat, ia tak kuasa menolak. Ia membalas, kali ini dengan penuh perasaan. Ciuman mereka lebih dalam, lebih intens. Clarissa melingkarkan lengannya di leher Bian, menariknya semakin dekat. Bian merasakan aroma parfum Clarissa, hangat dan memabukkan, bercampur dengan rasa manis di bibirnya. Tangannya refleks berpindah, satu menahan tengkuk Clarissa, satu lagi menggenggam jemarinya. Suara hujan di luar mobil seakan menghilang, digantikan degup jantung yang berpacu. Clarissa tersenyum kecil di sela ciuman, lalu sengaja menggoda dengan menarik diri sejenak. "Masih takut aku kabur sama yang lain?" tanyanya manja. Bian menatapnya dalam, napasnya berat. "Kamu bikin aku gila, sayang." "Bagus," jawab Clarissa sambil kembali mencium, kali ini lebih lembut, penuh janji. Waktu berjalan tanpa terasa. Ciuman itu bukan sekadar pelepas rindu, tapi pengikat keyakinan. Seolah Clarissa ingin menegaskan: tak ada dunia lain yang bisa menggoyahkan hatinya selain dunia yang ia jalani bersama Bian. Ketika akhirnya mereka melepaskan diri, napas keduanya masih tersengal. Kening hampir bersentuhan, mata saling terikat. "Aku janji bakal lebih percaya," ujar Bian dengan suara bergetar. "Aku cuma takut terlalu kehilangan." Clarissa menepuk dadanya lembut, tersenyum penuh kelembutan. "Selama aku di sini, kamu nggak akan kehilangan apa-apa." Keheningan kembali turun, tapi kali ini hangat. Bian turun dari mobil, lalu bergegas membukakan pintu untuk Clarissa. Mereka berjalan beriringan melewati jalan setapak yang licin sisa hujan. Di depan pintu, Clarissa berhenti sejenak. Ia menoleh, tersenyum dengan mata yang menyipit . "Thanks for tonight, A'… walaupun penuh drama, aku seneng kamu ada di samping aku." Bian hanya mengangguk, menatapnya penuh kasih. "Tidur yang nyenyak, sayang." "Iya, sampai besok ya." Clarissa masuk setelah pembantunya menutup pintu perlahan, meninggalkan Bian berdiri di teras, masih bisa merasakan hangat bibir Clarissa di bibirnya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah kembali ke mobil. Malam itu akhirnya berakhir, tapi ciuman singkat penuh janji itu masih berputar di kepalanya, menenangkan sekaligus membakar hatinya. * Suara ketukan halus di pintu kamar membuat Bian menggeliat malas. Ia membalikkan badan, menutup wajah dengan bantal, tapi suara lembut Mama Jani tetap terdengar jelas. "A'… ayo bangun. Sarapan sama Mama, jangan tidur terus." "Ma… masih pagi banget," gumam Bian serak, hampir tak terdengar. Pintu terbuka, dan Mama Jani masuk sambil melipat kedua tangannya di d**a. Ia sudah rapi dengan baju rumah bermotif bunga dan rambut disanggul sederhana. "Pagi dari mana? Ini sudah lewat jam delapan. Mama malas sarapan sendirian, ayo temenin Mama." Bian mengangkat bantal dari wajahnya, meringis. "Astaga, Ma… aku baru tidur jam dua lewat. Rasanya baru pejam sebentar." "Jam dua?" Mama Jani menaikkan alis, separuh heran, separuh menyelidik. "Kamu sama Risa semalam ke mana saja sampai pulang selarut itu?" Bian bangkit dengan enggan, mengucek mata yang masih sembab. "Nggak ke mana-mana, Ma. Risa habis show, terus teman-temannya ngajak kumpul. Mereka janjian di kafe buat party kecil-kecilan. Aku ikut, sekalian nemenin Risa." Mama Jani menggeleng pelan sambil tersenyum. "Pantas wajahmu kusut sekali pagi ini. Kalau difoto, bisa-bisa dikira habis lembur semalaman di bandara." Bian terkekeh kecil meski jelas masih ngantuk. "Nggak heran, Ma. Semalam ribut banget, musiknya nyala terus. Aku cuma duduk, minum air putih, tapi tetap aja capek." "Yaudah makan dulu, cuci mukanya." "Iya, Ma." Beberapa menit kemudiaan Bian berjalan ke ruang makan. Aroma roti panggang, kopi hitam, dan sedikit mentega memenuhi ruangan. Mama Jani duduk lebih dulu, lalu menatap Bian yang masih tampak setengah sadar sambil menuangkan teh hangat. "Party, ya?" ulang Mama Jani sambil menyeruput pelan. "Untung kamu ikut. Kalau tidak, siapa tahu suasananya bisa kebablasan. Dunia anak muda sekarang, beda." Bian menarik kursi, duduk, lalu menghela napas panjang. "Iya, Ma. Aku juga nggak terbiasa sama lingkaran mereka. Tapi ya sudah, namanya juga teman-teman Risa. Aku cuma nemenin." Mama Jani mengangguk, lalu menyuapkan sepotong roti. Setelah hening beberapa detik, ia membuka suara lagi. "Oh iya, malam ini Mama ikut aa' ke acara makan malam ulang tahun Papanya Clarissa." Bian yang sedang meneguk kopi mengangguk. " Lily, ada acara lain. Jadi Mama ikut aa' aja. Kan nggak enak kalau Papa dan Mama Risa udah ngundang khusus, tapi Mama nggak datang." Bian mengangguk. Mama Jani tersenyum. "Tapi nggak lama-lama ya, a'. Kalo jam sembilan belum selesai, kita pulang duluan." "Iya, Ma…" Mama Jani memperhatikannya sejenak, lalu mendesah. "Kamu ini kalau lagi kurang tidur kelihatan banget. Matamu sembab, mukamu kusut. Untung Risa nggak lihat kamu pagi-pagi begini, bisa-bisa dia nyuruh kamu facial." Bian terkekeh kecil, menggeleng. "Yang bener aja, facial …" Mama Jani ikut tersenyum, lalu menepuk tangan anaknya. "Hari ini jangan kemana-mana, ya. Istirahat yang banyak. Besok kan aa' tugas terbang pagi. Kalau aa' maksa keluar, nanti pas kerja malah ngantuk. Bahaya kalau di udara." "Iya, Ma." Bian mengangguk, nada suaranya tulus. "Aku janji hari ini cuma leyeh-leyeh di rumah. Malam nanti aja keluar, itupun sama Mama." "Bagus," jawab Mama Jani sambil melanjutkan sarapannya. "Kalau perlu setelah ini aa' tidur lagi aja. Nggak ada janji sama Risa, kan?" "Belum ada, sih." "Ya jangan, kalo Risa ngajak pergi bilang nggak bisa,nanti malam juga ketemu." "Iya, Ma." Bian tersenyum kecil, merasa hangat dengan perhatian ibunya. Meski masih ngantuk berat, sarapan pagi itu jadi terasa menenangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN