Pagi itu, cahaya matahari di Tokyo sudah meninggi, namun suasana di bandara tetap terasa sibuk seperti biasa. Di ruang kokpit, Capt. Owka duduk tenang sambil menunggu izin boarding penumpang. Tangannya sesekali menyentuh tuas kontrol, memastikan semua instrumen berfungsi normal. Meski pikirannya fokus pada penerbangan Tokyo–Jakarta sore ini, hatinya sedikit tertarik pada urusan keluarga di rumah. Hari ini adalah ulang tahun ayah Risa, calon besan mereka, dan tentu saja ada acara yang tak bisa ia hadiri karena sedang bertugas. Papap Owka sempat menirim pesan ke mama Jani, tapi belum dijawab.
Ponselnya bergetar, menandakan panggilan video masuk, ternyata dari istrinya. Wajah Mama Jani muncul di layar, tersenyum hangat meski terlihat sedikit lelah.
"Abis ngapain?"
"Ais ngomel sama anak kamu tuh."
"Siapa?"
"Yudha."
"Kenapa lagi dia?"
"Kemarin pulang sekolah udah malam, janjinya hari ini di rumah aja, baru jam sepuluh udah rapi mau pergi lagi."
"Kenapa kamu nggak larang?"
"Gimana aku bisa larang kalau temen-temennya satu mobil dateng terus langsung ketemu aku, ngomongnya " Selamat pagi tante... Tante sehat-sehat aja kan?" Terus aku jawab biasa deh," iya sehat... Pada mau ke mana"... Mau jemput Yudha tante, kita mau jalan, nggak ada Yudha rasanya nggak rame."
Sampai di sini Papap Owka tertawa, apalagi cara Mama Jani menceritakannya itu benar-benar menggelitiknya.
"Dan waktu kamu panggil Yudha dia udah rapi lagi?"
"Menurut kamu?"
Bagaimana Papap Owka tidak tertawa mendengar cerita ini.
"Ya sudahlah asal jangan kemalaman."
Aku sudah catatin semua nomor telepon temen-temennya yang jemput tadi, aku bilang kalau sampai magrib belum pulang juga, aku teror semuanya."
"Sadis amat."
"Ngancem doang, a'.. By the way, aku sudah kirim bunga buat papanya Risa," ucap Mama Jani yang kebetulan ingat apa yang tadi pagi ia lakukan setelah sarapan .
"Hmm, jadi nanti kamu sama Lily?"
"Nggak."
"Kenapa Lily nggak mau ikut?" tanya Capt. Owka, matanya menyipit, mencoba mengingat jadwal putrinya.
"Bukan nggak mau, tapi nggak bisa, katanya sih ada acara. Kalo Yudha ya sudahlah ya, mana mau dia ikut acara begini," jawab Mama Jani sambil terkekeh kecil.
"Jam berapa nanti dari rumah?"
"Habis maghrib aja."
Capt. Owka mengangguk. "Aa' nya sekarang lagi pergi sama Risa?"
"Nggak tuh, dia malah lagi tidur. Semalam katanya pulang jam dua pagi," jelas Mama Jani, sedikit menggeleng.
"Ke mana dia?" tanya papap Owka heran.
"Jemput Risa show, terus pulangnya katanya hangout sama temen-temennya Risa di kafe."
Capt. Owka mengernyit. "Tumben dia mau ikut acara-acara gitu?"
"Ya aku juga bilang gitu," sahut Mama Jani cepat. "Tapi aku sudah ingetin dia supaya nggak sering-sering kayak gitu. Besok kan dia terbang pagi. Aku suruh dia istirahat siang ini, jangan kemana-mana dulu. Nanti malam juga kan mau pergi. Aku juga bilang nanti aku nggak mau sampai malam banget, maksimal jam sembilan deh."
"Hmm." Capt. Owka hanya bergumam, pikirannya bercampur antara tugas dan rasa khawatir pada anak sulungnya.
"A'... sebentar lagi aku mau ke tempat Tante Ismi ya, mau jemput Mamah."
"Terus nanti Mama sama siapa di rumah kalau kamu pergi sama Aa'?"
"Sama mbak-mbak dulu, kan aku cuma sebentar, paling lama tiga jam," jawab Mama Jani dengan nada menenangkan.
"Kalau sudah selesai makan ya pulang aja."
"Nggak enak atuh A'. Masa sudah makan langsung pulang. Paling enggak aku ngobrol dulu sebentar."
"Undangan jam berapa?"
"Jam tujuh."
"Kalau sebelum jam sembilan sudah selesai dan ngobrol-ngobrol dikit, abis itu pamit aja. Bilang ada Mamah di rumah."
"Iya, lihat keadaan nanti," kata Mama Jani sambil tersenyum tipis.
Obrolan mereka terjeda sebentar karena Ada petugas ground staff yang datang menghampiri cockpit menanyakan soal boarding. Lalu Owka bicara dengan co-pilotnya, persetujuan boarding pun keluar. Petugas darat tadi pun keluar dari Cockpit dan berbicara melalui handy talky nya.
"Ya udah, aku mau siap-siap dulu. Sebentar lagi mau boarding," ucap Owka akhirnya.
"Oke, safe flight ya, sayang. Aku tunggu kamu pulang."
"Thank you, sayang, I love you."
"Love you too."
Layar ponsel padam, menyisakan pantulan wajah Capt. Owka sendiri. Ia tersenyum kecil, lalu menyandarkan tubuh ke kursi pilot. Meski raganya akan mengudara ribuan kilometer, hatinya tetap melekat pada keluarganya di rumah. Rasanya tidak sabar ingin cepat sampai di rumah malam ini.
*
Restoran mewah di bilangan SCBD Jakarta Selatan itu malam ini begitu anggun. Sebuah ruang privat disulap menjadi tempat perayaan ulang tahun Pak Benny. Dekorasi meja panjangnya sederhana, bunga putih di vas kristal, lilin kecil berkelip, dan taplak berwarna krem yang menambah nuansa elegan. Tak ada hingar-bingar pesta besar, hanya kehangatan keluarga dan beberapa sahabat dekat yang hadir.
Pak Benny berdiri menyambut tamu satu per satu. Tubuh tegapnya dipeluk setelansetelan batik tulis dan celana panjang hitam, namun senyumnya lah yang paling mencolok malam itu, ramah dan penuh semangat. Di sampingnya, Bu Safira tampak anggun dengan dress berwarna biru gelap, menyapa dengan tulus.
Ketika Mama Jani datang bersama Bian, sambutan yang mereka terima terasa lebih hangat dari sekadar basa-basi. Bu Safira langsung merangkul Mama Jani. "Akhirnya ketemu lagi, Mbak. Senang sekali malam ini bisa kumpul," katanya tulus.
"Selamat ulang tahun untuk Mas Benny," ucap Mama Jani sambil menjabat tangan tuan rumah. "Semoga sehat dan panjang umur."
Pak Benny tersenyum lebar. "Terima kasih, Mbak Jani. Malam ini lengkap rasanya dengan kehadiran kalian, walau Mas Owka lagi terbang. O ya...makasih kiriman bunganya."
Mama Jani menjawab dengaan senyuman
Di meja makan, suasana cepat mencair. Opa Ari dan Oma Nenny duduk berdampingan, tak henti-hentinya tertawa kecil mendengar candaan Om Nico, adik Pak Benny. Dua sahabat lama Pak Benny pun ikut menambahkan cerita masa muda yang kocak, membuat seluruh meja terbahak.
Bian duduk di sebelah Clarissa, posisinya berhadapan dengan Pak Benny. Dari awal, Clarissa seakan tak mau jauh dari tunangannya itu. Sesekali, ia mencondongkan tubuh untuk berbisik sesuatu, membuat Bian menahan senyum. Pemandangan itu tak luput dari perhatian keluarga besar Clarissa. Bukannya risih, mereka justru memandang dengan tatapan penuh keakraban, seolah mengiyakan dalam hati, ya, memang inilah pasangan masa depan keluarga mereka.
"Risa, kamu jangan biarkan Bian diam saja," celetuk Oma Nenny sambil tersenyum menggoda.
Clarissa terkekeh. "Aa' Bian itu pendiam, Oma. Tapi kalau sudah cerita, suka panjang lebar juga."
Semua orang tertawa, sementara Bian hanya tersenyum tipis, menundukkan kepala dengan sopan. Pak Benny menepuk bahu Bian dari seberang meja. "Ayo ngomong, Bi. Di keluarga ini, kalau diam kebanyakan malah kalah suara. Jadi jangan malu-malu."
Bian hanya menjawab singkat, "Iya, Om." Tapi nada bicaranya sopan sekaligus hangat, membuat suasana semakin akrab.
Hidangan demi hidangan tersaji dari steak wagyu, sup jamur truffle, hingga kue tart cokelat besar yang akhirnya dikeluarkan untuk momen tiup lilin. Saat lagu ulang tahun dinyanyikan, Clarissa menepuk pelan tangan Bian, seolah mengajaknya ikut serta dalam inti perayaan itu. Bian pun tersenyum, meski ekspresinya tetap kalem.
Setelah lilin padam dan kue dipotong, Pak Benny dengan sengaja menyodorkan potongan pertama kepada istrinya. Potongan kedua diberikan kepada Opa Ari dan Oma Nenny, mertuanya, lalu yang ketiga sambil melirik sebentar ke arah Clarissa diberikannya kepada Bian.
"Ini untuk calon menantu," ucapnya dengan nada bercanda, tapi matanya serius.
Seluruh meja terdiam sejenak, lalu disusul riuh tepuk tangan kecil dan tawa hangat. Wajah Bian sempat memerah, tapi ia menerima potongan kue itu dengan penuh hormat. Clarissa di sampingnya tersenyum bangga, lalu berbisik lirih, "Ciee...lebih penting calon mantu dari pada anak sendiri."
Mama Jani yang duduk tak jauh dari mereka hanya bisa tersenyum lega. Penerimaan seperti ini bukan hal yang bisa dipaksakan, melainkan tumbuh dari hati. Ia tahu, meski perjalanan Bian dan Clarissa masih panjang, pondasi keluarga yang hangat ini akan menjadi penopang mereka.
"Ben...ini Nadira video call," ucap Opa Ari tiba-tiba.
"Mana.."
Opa Ari memberikan ponselnya ke menantunya. Anak bungsunya menelpon tentu saja untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada kakak iparnya.
"Mas Ben ... Happy birthday ya," ucap Nadira yang bisa didengar oleh semuanya.
"Makasih, Nad... Kenapa kamu nggak datang?"
"Warungku tutup, dong..hehe."
Terdengar tawa renyah Nadira.
"Padahal rame loh di sini tuh kamu lihat aja siapa yang datang."
Pak Benny mengarahkan layar ponsel Opa Ari ke sekeliling sambil di absen, "Ada mbak Jani, Bian, Risa, mas Teguh, mbak Ica, Mas Anov, mbak Rose, mas Nico, papa, mama."
Nadira sambil melambaikan tangan ke semua yang disebut Pak Benny tadi, kebetulan sahabat keluarga Pak Benny mengenal adik iparnya itu.
"Mbak Amira nggak jadi datang, ya?"
"Ayangnya sakit," jawab Pak Benny tentu saja sambil bercanda dan membuat Nadira tertawa.
"Ya udah lanjut deh pestanya, aku udah mau tutup."
"Cepet amat tutupnya?"
"Capek Mas... Tadi rame banget."
"Wah laris, ya."
"Alhamdulillah."
"Ya udah, makasih ya ucapannya, mau ngomong sama papa lagi?"
"Iya, boleh, Mas."
Ponsel itu pun beralih lagi ke Opa Ari, papanya Nadira.
Malam ini, di sebuah restoran mewah Jakarta Selatan, tawa, obrolan ringan, dan tatapan penuh makna menjadi jembatan tak terlihat diantara mereka. Dan di tengah semua itu, Bian dan Clarissa yang duduk bersebelahan tidak hanya sebagai sepasang tunangan, tapi juga sebagai simbol pertemuan dua keluarga yang mulai melebur jadi satu walau keluarga Bian hanya dihadiri mama Jani. Dan satu hal lagi, video call Nadira tadi, lambaian tangannya dan senyumannya, sempat membuat 'Deg' yang diabaikan Bian.
*
"Tantenya Risa cantik, ya, A', Mama lupa, apa waktu acara tunangan itu ada, ya?" tanya Mama Jani ketika mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.
"Ada, Ma."
"Dia tinggal di mana?"
"Di Bali."
"Itu adik mamanya Risa yang paling kecil ya?"
"Iya."
"Belum nikah?"
"Belum."
"Umur berapa?"
"Aku nggak tahu juga."
"Mama jodohin sama siapa ya yang belum nikah juga..." gumam Mama Jani dan membuat Bian menoleh.
"Boleh kan?" tanya mama Jani yang melihat tatapan heran anaknya," Mama suka gemes kalau lihat orang cantik yang belum nikah gitu, pengennya cariin jodoh aja."
"Aku yang belum nikah."
Mama Jani sontak tertawa,"Jangan cari ribut kamu, A'! Mau perang dunia ketiga, apa?"
Keduanya tertawa. Mama Jani tahu Bian hanya bercanda.