Terbang Ke Bali

2267 Kata
Bian itu bukan pria pendiam, introvert, atau sejenisnya. Sejak kecil ia sudah tumbuh dengan rasa percaya diri yang kuat. Ia dikenal sebagai anak yang pintar, gesit, dan tahu cara membawa diri dalam berbagai situasi. Privilege keluarganya memang besar, keluarga yang terpandang, mapan, dan serba ada. Namun, semua itu tidak pernah membuatnya ingin hidup santai dan bersandar pada nama besar keluarga. Justru sejak dini ia menunjukkan tekad untuk menjadi pekerja keras, sama seperti Papa kandungnya, Papa sambungnya, juga mamanya, yang semuanya berkarier di dunia penerbangan. Sejak masih anak-anak, cita - citanya sudah jelas, ia ingin hidup di langit, melanglang buana dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu negara ke negara lain, merasakan lelahnya pekerjaan sekaligus indahnya perjalanan. Ia tahu betul, dunia penerbangan bukan sekadar glamor, tetapi penuh disiplin, tanggung jawab, dan konsistensi. Itu yang membuatnya jatuh cinta sejak awal. Seperti pagi ini, saat orang - orang masih terlelap, Bian sudah bersiap rapi. Jam lima subuh, ia sudah tiba di bandara Soekarno-Hatta. Udara subuh masih terasa dingin dan harus melawan rasa kantuk, langit pun masih berwarna abu-abu gelap, hanya sedikit cahaya lampu jalan yang memberi penerangan. Hari ini jadwalnya tidak terlalu padat, penerbangan Cengkareng–Batam pulang - pergi, lalu dilanjutkan lagi ke Surabaya–Denpasar. dan layover sekitar 20 jam di Bali. Jika semua berjalan lancar, sekitar pukul dua siang nanti mereka sudah tiba di Denpasar. Saat ia masuk ke ruang flops, crew operation center, suasana masih sepi. Kru yang bertugas standby biasanya tidur di ditempat yang sudah disediakan di dalam crew room. Mereka menunggu jika sewaktu - waktu dipanggil menggantikan kru yang berhalangan terbang. Beberapa masih meringkuk dengan selimut tipis, ada juga yang duduk setengah sadar sambil menatap layar ponsel. "Selamat pagi, Mas," sapa Bian ramah kepada petugas piket yang sedang berjaga di meja registrasi, sambil mengisi daftar kehadiran online lewat tablet yang tersedia. "Pagi, Mas Bian," jawab petugas dengan senyum tipis. Ia melirik ke layar komputernya sebelum menyebutkan jadwal. "Cengkareng–Batam, Batam–Cengkareng, lalu Surabaya–Denpasar. Roster sama Captain Randy ya." Bian mengerutkan kening sebentar. "Oh, bukan Captain Irwan?" "Captain Irwan stranded di Perth dua hari yang lalu," jelas petugas itu sambil merapikan beberapa map berisi dokumen penerbangan. "Hotel Echo rusak disana, jadi jadwalnya berantakan. Baru bisa pulang tadi malam. Jadi dikasih off, Tadi malam langsung diganti sama Capt Randy yang lagi standby di rumah." "Owh, begitu," gumam Bian sambil mengangguk paham. Ia sudah terbiasa dengan perubahan mendadak seperti ini. Dalam dunia penerbangan, siapa pun harus siap digantikan atau menggantikan. Setelah menerima flight document berkas penting yang berisi detail penerbangan hari ini Bian menarik koper kabinnya ke dalam crew room. Ia menaruh koper di sudut ruangan dalam crew room ini, lalu melepas jaket tipis yang tadi ia pakai. Di dalam ruangan itu, beberapa awak lain mulai berdatangan, sebagian masih menguap sambil menyeret koper. Sebelum bergabung dengan mereka, Bian menyempatkan diri untuk menunaikan salat subuh di dalam ruangan kecil yang sudah disediakan. Ia merasa lebih tenang setelah itu. Begitu keluar, ia merapikan seragamnya, kemeja putih rapi dengan pangkat di bahu, dasi hitam, dan celana panjang yang selalu disetrika licin. Penampilannya tak pernah main - main, baginya, seragam bukan sekadar pakaian kerja, melainkan identitas. Tak lama kemudian, Ron, first officer yang juga teman satu angkatan ketika masuk perusahaan ini, masuk dengan wajah semringah. "Bian! Pagi, bro! Wah, kita ketemu lagi. Siap terbang panjang nih?" Bian tersenyum sambil menjabat tangannya. "Morning, Ron. Siap, lah. Batam dulu, baru Surabaya–Denpasar. Lumayan maraton, lo kemana?" "Surabaya pagi, lanjut Makassar," jawab Ron "Eh enak lo Denpasar, nggak semua orang bisa kerja sambil liburan, kan?" Bian ikut tertawa kecil. "Ya, asal jangan delay panjang, kita bisa istirahat agak lama di sana." Obrolan ringan itu sedikit mencairkan suasana pagi yang dingin dan sepi. Di balik semua kesibukan, Bian tahu, pekerjaan ini selalu penuh kejutan. Ada rasa lelah, ada perubahan jadwal mendadak, tetapi selalu ada kebanggaan tersendiri setiap kali ia melangkah ke kabin pesawat. Baginya, setiap hari adalah perjalanan baru yang menanti di balik awan. Suasana flops semakin ramai. Beberapa awak kabin mulai berkumpul, wajah mereka sudah dirias full make up, entah dari jam berapa mereka berdandan.Seragam biru tua yang rapi membuat mereka tampak segar meski hari masih sangat dini. Di tengah riuh suara koper diseret dan sapaan antar kru, seorang pria berperawakan tegap memasuki ruangan. "Selamat pagi semua," suara baritonnya terdengar mantap, membuat beberapa awak menoleh dan memberi hormat singkat. Bian yang sedang merapikan map di tangannya segera berdiri tegak. Begitu sosok itu semakin dekat, wajahnya tersenyum lebar. "Pagi, Capt Randy." Ia melangkah maju, menyalami lalu mencium tangan kapten itu dengan penuh hormat. Gestur itu membuat beberapa kru muda yang baru bergabung sedikit heran, tetapi bagi Bian hal itu wajar. Randy bukan hanya Captain yang memimpin penerbangan hari ini, melainkan juga sahabat papanya sekaligus figur 'Om' yang cukup akrab di keluarganya. Randy menepuk pundak Bian sambil tersenyum hangat. "Wah, anaknya Papap Owka makin gagah aja sekarang. Setiap kali lihat kamu berseragam begini, jadi inget dulu Papap kamu di awal karier. Sama persis semangatnya." Bian terkekeh kecil. "Jangan bandingkan aku sama Papap dong, Capt. Beliau jam terbangnya udah luar biasa. Aku kan masih jauh." "Justru karena itu kamu harus terus belajar," sahut Randy bijak, sebelum beralih ke para awak kabin lainnya. Setelah semua lengkap, mereka bergerak menuju terminal keberangkatan. Lorong panjang bandara pagi itu masih sudah ramai. Ada banyak penumpang yang berjalan terburu - buru atau duduk menunggu. Di tengah perjalanan menuju gate, Capt. Randy dan Bian berjalan berdampingan, meninggalkan rombongan beberapa langkah di belakang. "Gimana kabar kamu, Bi? Udah makin terbiasa dengan ritme terbang yang padat?" tanya Randy sambil melangkah mantap. "Alhamdulillah, Capt. Capek iya, tapi aku menikmatinya. Dari dulu memang sudah cita - cita jadi begini." Randy tersenyum sambil melirik sekilas. "Bagus kalau begitu. Eh, Lily gimana kabarnya? Udah lama nggak ketemu, sudah punya calon, dia?"." Bian langsung menggeleng. "Belum, Capt, Lily lagi sibuk banget. Dia bilang hampir nggak punya waktu buat tidur, apalagi main. Tapi dia kuat, Capt. Katanya biar cepat selesai kuliahnya." "Wah, hebat. Lily memang selalu ambisius. Terus Yudha?" Bian sedikit tertawa mengingat soal Yudha, adiknya yang suka membuat mamanya mengeluh, "Yudha lagi lucu-lucunya nguji kesabaran mama, Capt. Kadang suka nyebelin, soalnya lebih sering main game daripada mengerjakan tugas. Tapi Mama selalu jadi pengingat yang bikin dia fokus lagi." Capt. Randy terkekeh. "Hahaha, ya Mama Jani itu memang luar biasa. Dari dulu kalau urus anak - anak nggak ada capeknya. Tolong sampaikan salam saya buat Mama, ya." "Pasti, Capt. Nanti aku sampaikan." Suasana hening sebentar, hanya langkah sepatu yang berderap di lantai mengkilap bandara. Lalu Capt. Randy menoleh lagi dengan senyum usil. "Eh, ngomong - ngomong, kamu kan sudah tunangan. Kapan nih jadi nikah?" Bian sempat tersenyum kecil, jelas kaget dengan pertanyaan itu. "Hehe … masih nunggu waktu yang pas, Capt. Jadwalku aja masih lari ke sana - sini." "Alasan klasik," sahut Randy sambil terkekeh. "Dulu Papa kamu juga gitu, sibuk kerja, sibuk terbang, alasannya selalu waktu. Tapi akhirnya jatuh juga ke pelaminan, bertekuk lutut sama Jani, fall in love at the first sight," Capt Randy terkekeh," Jadi jangan kelamaan, nanti malah keburu rebutan sama orang lain." Bian ikut tertawa, meski wajahnya sedikit memerah. "Siap, Capt. Aku usahakan secepatnya." Obrolan ringan itu membuat perjalanan menuju pesawat terasa hangat. Sementara awak kabin di belakang sibuk berbincang soal detail pelayanan hari ini, Bian justru merasa seperti sedang berjalan bersama keluarga sendiri. Ada kenyamanan tersendiri setiap kali ia terbang bersama Capt. Randy. Setibanya di pesawat yang sudah parkir rapi di apron, mereka langsung menjalani prosedur rutin. Capt Randy memimpin briefing singkat, memastikan setiap kru memahami pembagian tugas dan prosedur keselamatan. Suara deru mesin mobil catering, mobil tangki pengisi avtur, hingga mobil penarik kereta bagasi terdengar samar - samar dari luar, bercampur dengan langkah kaki petugas ground handling yang sibuk mempersiapkan dokumen dan lain - lain. Semua sibuk menyiapkan keberangkatan pagi ini. "Baik, kita terbang ke Batam. Flight time sekitar satu jam empat puluh menit. Setelah itu kita balik ke Cengkareng, lalu lanjut Surabaya–Denpasar. Semua tetap fokus, ya," ujar Randy tegas, meski tetap dengan nada bersahabat. "Siap, Capt!" jawab seluruh kru serentak. Bian menatap ke arah kokpit dengan semangat yang menggelora. Hari baru telah menunggu, dan bersama sosok yang dihormatinya, ia merasa siap menaklukkan langit lagi. * Tugas terbang mereka hari itu berjalan nyaris sempurna. Penerbangan padat dari Jakarta ke Bali penuh penumpang, tapi semua sesuai jadwal, tidak ada delay, tidak ada gangguan berarti. Begitu pesawat menyentuh landasan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, rasa lega menyelimuti seluruh kru. Satu per satu penumpang keluar dengan tertib. Kru baru sudah bersiap menggantikan mereka dan menunggu di garbarata, dan seperti kebiasaan setelah seluruh penumpang turun, kedua set crew sempat bertukar sapa ketika akan keluar pesawat. Beberapa menit mereka saling memberi laporan singkat tentang kondisi pesawat, catatan kecil soal kursi yang perlu dicek ulang, hingga sekadar candaan untuk melepas lelah. Setelah itu, rombongan Capt. Randy mulai berjalan keluar. Udara Bali yang hangat dan lembap langsung menyapa begitu mereka melewati garbarata. Langit siang ini sedang cantik - cantiknya, langit terang tanpa awan.Aroma laut seakan samar-samar tercium dri tempat mereka, meski sebenarnya pantai masih beberapa kilometer jauhnya. Bus kecil dari hotel sudah menunggu di area khusus penjemputan kru. Begitu semua masuk, pintu menutup otomatis, dan bus melaju meninggalkan terminal. Di dalam bus, suasana cukup santai. Beberapa pramugari sibuk melepas high heels, sekedar meluruskan kaki yang pegal. Ada yang sibuk mengecek ponsel membalas chat keluarga atau mengunggah foto di i********:. Ada pula yang hanya bersandar, menutup mata, menikmati hembusan AC bus yang sejuk. Capt. Randy duduk di kursi depan, tapi sesekali ia menoleh ke belakang. Pria paruh baya itu memang terkenal supel. Ia tidak pernah canggung untuk membuka percakapan, bahkan ketika semua orang terlihat lelah sekalipun. "Nanti sore ada yang mau ikut saya lihat sunset sekalian cari makan malam di luar, nggak?" tanya Randy tiba - tiba, suaranya cukup keras untuk terdengar sampai ke belakang. Spontan, beberapa kepala menoleh. Haryo, pramugara yang duduk dekat jendela, langsung merespons. "Mau makan di mana, Capt?" tanyanya dengan nada penasaran. Randy menyunggingkan senyum. "Kalau ke Bali, saya punya tempat makan favorit sama istri. Tempatnya nggak besar, tapi nyaman banget. Dan yang paling penting, makanannya selalu enak. Chef-nya punya gaya unik menu tiap hari dan bisa berubah sesuai mood dia. Kadang seafood, kadang ayam, kadang daging. Tapi selalu enak. Cuma satu masalahnya…" Ia berhenti sejenak, membuat semua yang mendengar ikut menunggu. "Resto itu kan nggak terlalu besar, jadi sering penuh. Kalo mau, saya harus reservasi dulu." Reaksi bermunculan, beberapa pramugari saling berpandangan, lalu tertawa kecil. "Kayaknya menarik tuh, Capt," kata Retha, pramugari berambut pendek. "Kalau masih ada tempat, aku ikut deh. Lumayan bisa sekalian lihat sunset." "Aku juga," timpal Vina, pramugari lain yang duduk di seberang. "Asal nggak jauh - jauh amat dari hotel, ya." Namun tidak semua bisa ikut. Dina sudah punya janji dengan saudaranya yang tinggal di Denpasar. Aldi, pramugara lain, mengaku ingin ketemuan dengan teman lama. Akhirnya, setelah diskusi singkat, hanya tiga orang yang menyatakan bisa ikut: Retha, Vina, dan Haryo. "Oke, berarti kita berlima sama saya," kata Randy sambil mengangguk puas. Ia lalu melirik seorang co-pilot muda yang duduk agak menyendiri di kursi belakang. Bian, dengan tubuh tinggi tegapnya, tampak memandang keluar jendela bus. Dari raut wajahnya, terlihat jelas rasa lelah. "Bi … kamu ikut nggak?" tanya Randy, kali ini dengan nada lebih hangat. Bian mengerjap, lalu menoleh sebentar. " Aduh, kayaknya nggak deh, Capt. Semalam aku kurang tidur. Pengen langsung istirahat aja di hotel." Haryo menimpali cepat, menggoda. "Ayolah, Mas Bian! Sayang banget kalau di Bali cuma ngendon di hotel. Sunset Bali itu obat stres, lho." Bian terkekeh kecil, tapi gelengan kepalanya mantap. "Thanks, Mas. Tapi serius, aku butuh tidur. Kepala udah berat banget." Capt Randy ikut menambahkan, masih mencoba meyakinkan. "Makanannya enak, Bi. Saya jamin. Tapi kalau memang badan kamu capek, ya jangan dipaksain. Nanti malah sakit." "Iya, Capt," jawab Bian dengan senyum tipis. "Aku pesan makan di hotel aja nanti." "Ya udah, fix berarti kita cuma berempat," ucap Capt Randy sambil meraih ponselnya. Ia mulai sibuk mengetik sesuatu, mungkin menghubungi restoran untuk reservasi. Bus terus melaju menembus keramaian jalanan. Di kursi depan deret yang sama dengan Capt. Randy, Bian kembali memalingkan wajah ke jendela. Matanya menatap kosong pada jalanan yang dipenuhi kendaraan. Dalam hati, ia merasa memang lebih butuh tidur ketimbang ikut makan malam. Seharian berada di Cockpit membuat tubuhnya kaku dan kepalanya berat. Ia tidak pernah betah ikut nongkrong lama-lama. Namun ada sesuatu yang samar, rasa aneh yang ia sendiri tidak mengerti. Seperti ada dorongan kecil untuk ikut, tapi segera ditepis oleh logika, Ah, cuma makan malam biasa. Nggak penting. Besok pun masih ada waktu kalau mau jalan-jalan. Padahal, keputusan kecil itu justru akan menjadi garis tipis yang memisahkan antara "kesempatan" dan "penyesalan" yang Bian tidak tahu. Bus akhirnya berhenti di depan hotel tempat mereka menginap. Satu per satu kru turun, menyeret koper kecil masing - masing. Setelah mendapat kunci kamar, ada yang langsung berpamitan, ada yang bilang, "Sampai ketemu besok!" ada juga yang hanya melambaikan tangan karena terlalu lelah untuk banyak bicara. Randy sempat menepuk bahu Bian sebelum menuju lift. "Istirahat yang cukup, Bi. Jangan lupa makan." Bian mengangguk singkat. "Siap, Capt. Jalan jam berapa nanti, Capt?" "Paling jam setengah lima, resto yang saya tuju didepan pantai, sunsetnya tinggal nyeberang, jadi sekalian jalan aja." "Owh oke. Sampai ketemu breakfast besok, Capt." Mereka pun berpisah masuk kamar masing - masing yang kebetulan saling berhadapan. Sesampainya di kamar, Bian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. AC dingin, Ia sempat menyalakan ponsel, membalas chat singkat dari Clarissa, tunangannya. Sekadar obrolan ringan mengabarkan kalau ia sudah sampai di hotel. Setelah itu, Bian bersiap mengganti baju untuk di laundry dan ia ingin segera istirahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN