Dekap Hangat

1909 Kata
“Lo gak bisa pinter dikit gitu? Kita terjebak disini selama tiga hari!” Kaluna meninggikan nada suara begitu mereka kembali ke villa. Iya, Dhika berhasil bernegoisasi dengan sang kakek, tapi tidak membuat mereka bisa pulang hari itu juga. Mereka tetap akan berada di Bali selama 3 hari dengan kewajiban mengirimkan foto-foto manis sebagai bukti keduanya mau menerima hubungan satu sama lain. “Seenggaknya gue udah berhasil nego, daripada seminggu terjebak disini. Masih mending tiga hari.” “Tiga hari gak ada ada mendingnya kalau gue terjebak disini sama modelan orang kayak lo.” Dhika sungguh kesal, berani sekali sosok ini sampai membuatnya mendekat dengan tatapan tajam. Dan tatapan tajam itu melemparkan Kaluna ke masa lalu, ketika Dhika marah saat dirinya tidak menuruti perintahnya. Alam bawah sadarnya refleks menyuruhnya mundur, hingga punggung menyentuh tembok dan Dhika mengapitnya. Dalam sisa kesadarannya, Kaluna berusaha meraih kembali keberanniannya. “Apa?” Dhika terkekeh melihat seutas ketakutan di matanya. “Sana lo yang bilang, lo bukan pengecut ‘kan? Bukan lagi Kaluna yang dulu ‘kan? atau masih sama aja?” Dhika terkekeh. “Tapi kayaknya sama aja deh, Lun. Sepuluh tahun berlalu, lo masih tetep sama.” Namun semakin dekat Dhika, tatapannya refleks turun dan dia bisa melihat belahan d**a dengan mudah dari arahnya, yang seketika membuat Dhika mundur dan menatap Kaluna dengan tatapan… horror? “Kenapa sih lo? Gak jelas banget?” Sebelum Dhika menanggapi, pintu villa yang mereka tempati itu diketuk. Kaluna segera melangkah meninggalkan Dhika disana yang memegang kepalanya dan mengumpat. Kaluna abaikan saja, dia membuka pintu dan mendapati sang sahabat dengan penampilan… siap pergi? “Kamu mau kemana, Vit?” “Pamitan, kita juga mau pulang. Tenang aja, Kakek sama Nenek kamu bareng kok sama aku.” “Loh? Bukannya besok ya?” “Niatnya besok, Cuma aku ada meeting mendadak. Ditambah lagi Nenek sama Kakek kamu juga pengen kasih ruang buat kamu disini. Walaupun aku tahu kalau itu bakalan bikin kamu kesel, tapi gak mungkin dong bilang ke mereka yang sebenernya antara kamu dan si setan itu,” ucap Vita dengan tajam, dan itu sampai ke telinga Dhika yang hendak naik ke lantai dua. “Setan apa?” tanya Dhika dengan dingin dan tatapan tajam. Sesaat Vita diam melihatnya, sebab tampak menakutkan, tapi sedetik kemudian dia mulai mengeluarkan emosinya, “Awas ya lo kalau macam-macam sama sahabat gue. Kalau sampai dia nangis, gue bakalan bongkar semua kebusukan lo. Gue bakalan bikin lo nyesel.” Dhika hanya tertawa sambil tetap melanjutkan langkahnya. “Coba aja kalau bisa.” Membuat Vita menelan salivanya kasar. Beralih pada Kaluna dan bertanya, “Beneran dulu dia pindah sekolah pas SMA gara-gara bunuh orang, Na?” “Shhttt…. Jangan berisik.” “Beneran?” “Aku gak tahu, ada gossip kayak gitu. Tapi katanya yang tewas di tawuran waktu itu bukan karena dia, kan dia gak sampe dipenjara.” “Halah, meskipun gak dipenjara bukan berarti dia gak salah ‘kan, Na? sampai 10 tahun loh dia di paris, sampai pindah juga pas semester akhir sekolah, udah dipastikan dia pembunuh siswa yang tewas itu, yang dari sekolah sebelah.” “Udah, gak usah banyak bahas lagi. ayok, aku mau ketemu sama Kakek dan Nenek. Nganterin mereka.” “Sama si Dhika?” Kaluna mengangguk sebelum berteriak, “Mahardhika! Ayok! Nenek sama Kakek gue mau pulang juga!” Vita terkekeh. “Nah gitu, harus galak sama dia.” Kaluna menaikkan bahunya, lalu melangkah lebih dulu bersama Vita menuju area selatan villa, tempat Kakek dan Neneknya sudah menunggu di beranda sambil berbincang santai. Udara siang mulai menghangat, tapi suasana di antara mereka tetap akrab. Dhika menyusul tak lama kemudian, menawarkan untuk mengantar ke bandara, namun tawaran itu langsung ditolak halus. Kakek dan Neneknya justru menegaskan agar Dhika tetap tinggal di sini, menjaga Kaluna selama mereka pergi, bahkan memintanya berjanji. “Kami titip Kaluna padamu, Nak Dhika… dia anak yang lemah, terlalu sering menelan luka sendirian sejak kecil, dan butuh seseorang yang berdiri di sisinya, bukan hanya untuk melindungi tubuhnya, tapi juga hatinya,” ucap Kakek dengan nada berat yang sarat emosi. “Kakek ingin kamu berjanji di hadapan kami bahwa apa pun yang terjadi, kamu tidak akan membiarkannya menderita sendirian lagi.” “Kakek….,” rengek Kaluna. Tanpa banyak kata, Dhika hanya mengangguk, menyembunyikan ekspresi di balik wajah datarnya. Mobil keluarga akhirnya meluncur meninggalkan villa, diikuti oleh rombongan lainnya yang juga pulang. Sunyi mendadak menggantung di udara begitu deru mesin menjauh, menyisakan hanya suara dedaunan yang bergesekan diterpa angin. Kini, area villa megah itu hanya dihuni oleh dua orang yang terikat dalam pernikahan yang seharusnya berarti bulan madu, namun bagi Dhika dan Kaluna, tak ada romansa yang menanti. Yang tersisa hanyalah ruang hening, tatapan dingin, dan kesadaran bahwa tiga hari ke depan akan menjadi permainan pura-pura yang melelahkan bagi keduanya. “Apa lihat-lihat?” tanya Dhika melangkah lebih dulu kembali ke villa tempat mereka menginap sebelumnya. Kaluna berdecak, malas meladeni tatapan dan langkah dingin Dhika. Ia memutuskan untuk membelokkan arah, meninggalkan villa dan berjalan santai menuju sebuah kafe kecil di sudut area resort. Udara siang yang hangat bercampur aroma laut membuat langkahnya sedikit lebih ringan. Di kafe itu, ia memesan beberapa makanan, hidangan manis dan gurih yang belum pernah ia coba sewaktu kecil. Saat suapan pertama menyentuh lidah, Kaluna terkekeh pelan. Ingatannya melayang pada masa-masa dulu, ketika ia hanya bisa mengintip makanan seperti ini di balik kaca toko, dan pulang dengan perut kosong. Bahkan, hanya karena dirinya sekolah lebih pintar dan lebih muda, ia sudah cukup jadi sasaran tatapan tajam penuh iri dari kalangan orang kaya, termasuk salah satunya, Mahardhika Montregard. Ironis, pikirnya, kini ia bisa duduk di sini dengan bebas, mencicipi semua yang dulu hanya menjadi mimpi. Namun, senyumnya mendadak memudar ketika melihat ke arah parkiran. Dari kejauhan, matanya menangkap sosok yang tak asing, langkah anggun, rambut panjang berkilau di bawah cahaya matahari. Napasnya tercekat. Tunggu… itu Rihana? Bibir Kaluna melengkung tipis dalam tawa hambar. “Bagus,” gumamnya dalam hati, “Ternyata pria itu memanggil kekasihnya kemari.” Sialan. **** Tentu saja, sesuai dugaan Kaluna, begitu ia membuka pintu utama villa, pemandangan yang menyambutnya benar-benar memuakkan. Di ruang tamu, Dhika duduk santai di sofa dengan ponsel menempel di telinga, sementara di pangkuannya, Rihana bersandar manja sambil mengelus pipinya. Jemari wanita itu bergerak lambat, seolah sengaja memamerkan kemesraan pada siapa pun yang melihat. Tatapan Kaluna mendarat dingin pada mereka, lalu berhenti tepat di wajah Rihana. “Mau apa lo?” tanya Rihana sinis, matanya menyapu Kaluna dari atas sampai bawah. Kaluna hanya mendengus malas. “Santai aja, gue nggak mau ganggu tontonan murahan lo.” Tanpa menunggu reaksi, ia melangkah naik ke lantai dua, membuka pintu kamar, dan langsung menuju sudut tempat koper seharusnya berada. Tapi ruangan itu kosong. Alisnya terangkat. Jangan bilang… Ia berbalik turun lagi, langkahnya cepat, dan berhenti di depan Dhika yang masih santai di sofa. “Koper gue mana?” Dhika menutup ponselnya, tatapannya singkat. “Gue pindahin ke villa sebelah. Ada dua kamar. Lo tidur di sana, gue di kamar lain. Kita cuma perlu ketemu buat foto beberapa kali, cukup buat bukti ke Kakek.” Kaluna menghela napas panjang, matanya menajam. “Bagus. Minimal gue nggak harus tidur satu ruangan sama lo.” Tangannya terulur. “Kunci mobil.” Dhika mengangkat alis. “Lo mau ke mana?” “Itu bukan urusan lo,” jawab Kaluna cepat, nadanya tajam seperti pisau. Dhika mendecak, lalu mengambil kunci dari meja dan melemparkannya dengan cukup keras. Refleks, Kaluna menangkapnya tanpa memutus kontak mata. Rihana terkikik pelan di pangkuan Dhika, suaranya dibuat-buat manis. “Kamu nggak takut dia nyasar, sayang?” Kaluna menoleh sekilas, sorot matanya penuh jijik. “Gue lebih takut kalau kebodohan lo ketular ke gue.” Tanpa menunggu balasan, ia berbalik dan keluar, pintu villa tertutup dengan bunyi brak! yang memantulkan sisa ketegangan di dalam ruangan. Dalam pikirannya, ia sudah menyusun rencana, yaitu mungkin besok ia akan mengirimkan foto pura-pura jalan bersama Mahardhika, sekadar bahan bukti untuk disetor pada Lucien agar drama pernikahan ini tetap terlihat “bahagia”. Musik lembut mengalun di sudut ruangan, sementara jemarinya menari di atas keyboard, membenamkan diri dalam laporan, email, dan beberapa desain yang harus ia koreksi. Kopi di gelasnya sudah dingin, tapi ia tidak peduli. Hingga saat ia mengangkat kepala, langit di luar kaca jendela sudah pekat. Jam di layar laptop menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Kaluna buru-buru membereskan barang-barangnya dan bergegas menuju mobil. Ia memilih rute pintas yang tidak begitu ramai, keputusan yang kemudian ia sesali. Jalanan yang semula hanya sepi, perlahan berubah menjadi jalur kebun yang gelap, hanya diterangi lampu mobilnya. Lalu, mesin mobil mendadak tersendat… dan mati. “Jangan bercanda, dong…” gumamnya panik sambil mencoba menstarter ulang. Tidak ada respon, hanya suara klik hampa. Ia merogoh tas untuk mengambil ponsel, namun layar hitam membalas, yakni baterai mati total. Nafasnya memburu. Tidak punya pilihan, Kaluna keluar, udara malam yang lembab menempel di kulitnya. Tumit sepatunya berderap di atas tanah berkerikil saat ia berjalan mencari bantuan. Kebun di kiri-kanan terasa seperti dinding gelap yang mengurung, dan hanya suara jangkrik yang menemani. Hingga suara lain menyusul dari belakang, tawa dan siulan. Sekelompok pemuda keluar dari balik pepohonan, tiga orang dengan senyum yang membuat darah Kaluna membeku. “Cantik… sendirian aja malam-malam?” salah satu dari mereka mendekat. “Ayo kita temenin, biar nggak kesepian…” ucap yang lain sambil melirik ke arah tubuhnya. Kaluna mundur, tapi langkah mereka lebih cepat. Satu tangan terulur dan meraih pergelangan tangannya, yang lain mencoba menyentuh pipinya. “Lepasin!” jeritnya, tapi mereka malah terkekeh. “Aduh, galak. Kita main sebentar aja kok…” Dalam kepanikan, Kaluna memutar tubuh hendak lari, namun ujung kakinya tersandung batu besar. Ia terjatuh, lututnya menghantam tanah, napasnya terengah. Tangan-tangan itu kembali menggapai, mengelilinginya, menyentuh tanpa izin. “Lepas! Jangan sentuh gue!” teriaknya histeris. “Eh pegangin cepet.” “Bawa ke kebun ajalah, sayang banget ini harus berkali-kali.” “Bener banget, montok gini bahenol.” Tiba-tiba, BUGH! salah satu pemuda terlempar ke belakang, menghantam tanah dengan suara berat. Sisanya menoleh kaget, hanya untuk menerima serangan berikutnya. Dhika, dengan wajah dingin dan mata berkilat marah, menghantam rahang pemuda kedua dengan pukulan lurus, membuatnya terjengkang tak berdaya. Pemuda terakhir mencoba menyerang, tapi Dhika menangkap lengannya, memelintir dengan kejam hingga terdengar bunyi retakan, lalu menghantamkan lutut ke perutnya. Napas lawannya terputus, tubuhnya jatuh tak bergerak. Tanah di sekitar mereka menjadi saksi, tiga tubuh terkapar, dan Dhika berdiri di tengahnya, d**a naik-turun, tatapannya masih menyala seperti bara. Kaluna, masih terduduk di tanah, memeluk dirinya sendiri, menenggelamkan wajah di lutut. Bahunya bergetar hebat, air mata membasahi kulitnya. Ia tidak sadar siapa yang mendekat, hanya ingin semua ini berhenti. Dhika berjongkok di hadapannya, suaranya berat tapi lembut. “Lun… udah, aman. Mereka nggak bakal ganggu lo lagi.” Kaluna tetap menangis keras, tubuhnya kaku. “Jangan sentuh gue! Gue nggak mau!” “Tenang… ini gue. Dhika. Liat gue…” Tangan Dhika terulur, ragu, sebelum akhirnya menyentuh lengannya dengan hati-hati. “Lo udah aman. Sumpah, nggak ada yang bisa nyakitin lo sekarang.” Kaluna menggeleng kuat, napasnya tersengal. “Gue… gue takut…” Dhika menariknya ke dalam pelukan, memeluk erat seakan berusaha jadi tembok di sekelilingnya. “Ssshh… gue di sini. Nggak ada yang bisa nyentuh lo tanpa harus lewatin gue dulu. Tarik napas, Lun… pelan-pelan. Gue nggak akan ninggalin lo. Tenang oke… tenang…..” Kaluna terisak di dadanya, genggaman di bajunya begitu kuat seakan nyawanya bergantung di sana. Dhika hanya memeluk lebih erat, tatapannya menusuk ke arah tiga tubuh tak sadar di tanah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN