Tubuh yang Panas

1902 Kata
Kaluna tidak tahu, tidak mau tahu, yang jelas tubuhnya gemetar, sesak oleh ketakutan yang belum mau pergi. Ia duduk kaku di kursi penumpang, memeluk dirinya sendiri seolah itu satu-satunya perlindungan. Sementara di sisi lain, Dhika memegang kendali penuh atas kemudi. Jalanan malam melaju sunyi, hanya ditemani sorot lampu kota yang berlari mundur. Sesekali tangan Dhika terulur, mengusap lembut kepala Kaluna dengan gestur sederhana yang justru membuat d**a Kaluna semakin bergetar. “Everything’s fine,” ucap Dhika datar namun tegas, seakan menancapkan keyakinan itu ke udara. Namun, air mata yang terlalu lama jatuh akhirnya merenggut kesadarannya. Tanpa ia sadari, ia terlelap, menyerah pada lelah yang membelenggu. Sampai di villa, Dhika tidak membangunkannya. Dengan hati-hati, ia menggeser tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya. Dalam diam, ia menggendong Kaluna, seolah membawa sesuatu yang rapuh namun berharga. Villa baru yang lebih luas, dengan dua kamar dan cahaya hangat lampu gantung, menyambut langkah Dhika. Ia tidurkan Kaluna di ranjang, melepas sepatunya satu per satu, lalu menyelimuti tubuh mungil itu dengan kain lembut. Wajah Kaluna masih memendam jejak keresahan, kerutan halus di keningnya belum juga luruh. Dhika menatap lama, lalu jemarinya yang dingin dan tegas di ruang rapat, kini justru perlahan merapikan helai rambut yang menutupi wajah istrinya. Hanya setelah napas Kaluna kembali teratur, Dhika baru menarik diri. Begitu Dhika berbalik, ia tertegun sepersekian detik. Rihana berdiri di sana, tubuhnya menempel pada bingkai pintu dengan kedua tangan tersilang di d**a. Tatapannya menusuk, penuh kecurigaan. “Kenapa dia sampai lemes gitu?” suara Rihana bergetar menahan emosi. “Kamu apain dia, Dhika? Kamu gak ngapa-ngapain sama dia ‘kan?” Dhika mendengus pendek, wajahnya sama sekali tidak terusik. “Pulang.” Suaranya datar, dingin. “Balik ke villa kamu.” “Jawab dulu!” Rihana meninggikan suara, melangkah maju. “Kamu bawa dia sampai kayak gini, terus kamu suruh aku pulang? Jangan-jangan kamu—” “Cukup.” Dhika menatapnya tajam, bagaikan bilah baja yang dingin dan kejam. “Aku gak perlu jelasin apa pun ke kamu. Balik.” Rihana menggertakkan giginya, dadanya naik turun. “Kamu kenapa sih, Dhika. Kamu mulai peduli sama culun itu, iya kan?!” Dhika melangkah mendekat, aura dinginnya semakin menekan. Dengan gerakan cepat, ia mencengkram pergelangan tangan Rihana. Cengkeramannya kuat, dingin, dan penuh peringatan. “Jangan bikin aku ulangi,” bisiknya tajam. “Pergi. Atau aku pastikan besok kamu udah ada di Jakarta lagi.” “Dhika!” “Berisik, lagian aku gak nyuruh kamu datang kesini.” Rihana terperangah, lalu menghentakkan tangannya hingga terlepas. “Dasar! Jangan pernah jatuh cinta sama si culun itu, Dhika. Jangan!” serunya lantang, suaranya menggema di koridor villa. Dhika tidak bergeming, hanya menatap kepergian Rihana yang akhirnya berbalik dan melangkah cepat dengan tubuh gemetar karena marah. Hening kembali menyelimuti ruang itu. Dhika mendesah kasar, menoleh lagi pada sosok di ranjang. Kaluna masih terlelap, wajahnya tenang seakan tidak tahu dunia di luar dirinya sedang kacau. “Siapa juga yang bakal jatuh cinta sama si culun,” gumam Dhika, dingin. Namun entah mengapa, pada akhirnya Dhika menutup pintu kamar dengan hati-hati, tidak ingin suara benturan kayu membangunkan gadis yang terlelap di ranjang. Tapi anehnya, bukannya pergi, langkahnya justru berhenti. Pandangannya kembali jatuh pada Kaluna, wajah itu tenang meski sesekali mengerut, bibirnya bergerak kecil seolah masih berbicara dengan mimpi-mimpi masa lalunya yang kelam. Dhika mendesah pelan, lalu memilih menjatuhkan tubuhnya ke sofa di sisi ruangan. Kedua sikunya bertumpu di lutut, jemarinya meremas pelipis. Malam semakin larut, angin dari celah jendela membawa aroma laut yang lembut, namun entah kenapa ruangan itu terasa lebih sesak daripada biasanya. Kaluna bergumam lagi, samar, seperti merintih. Tubuhnya gelisah, berbalik kiri lalu kanan, membuat helai rambut tergerai menutupi wajah. Dhika spontan berdiri, menghampiri, lalu dengan kikuk ia menyibak rambut itu dari kening Kaluna. Napasnya tertahan sesaat, merasakan dekatnya jarak yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Nyusahin lo, Culun,” gumamnya rendah, separuh dengusan, separuh keluh kesal. Ia menyeka peluh dingin di pelipisnya sendiri dengan punggung tangan. Tatapan Dhika kembali jatuh pada Kaluna yang kini sedikit lebih tenang setelah diselimuti dengan rapi. Lelaki itu mendesah panjang, menyandarkan punggungnya pada sofa, mata menatap gelap langit-langit kamar. Malam itu, alih-alih terlelap, Dhika terjebak dalam pikirannya sendiri, ditemani suara napas lembut seorang wanita yang dulu hanya ia kenal sebagai si culun beasiswa. Hingga pagi datang, sinar matahari merayap masuk melewati celah tirai yang setengah terbuka, menorehkan garis-garis keemasan di langit-langit kamar. Kaluna membuka matanya perlahan, menatap kosong ke atas. Seketika, memori semalam kembali menyeruak, dimulai dari rasa takut, percobaan pelecehan, tangisannya yang nyaris meremukkan d**a, lalu Dhika. Laki-laki itu, yang membawa dirinya pulang. Ia menoleh pelan ke samping. Sosok Dhika ada di sofa, tertidur dengan posisi setengah duduk. Napasnya berat, keningnya dipenuhi peluh. Kaluna bangkit perlahan, heran kenapa Dhika disini dengan jendela terbuka lebar, membiarkan angin pagi yang lembap masuk menusuk tulang? Baru disadari, Dhika tampak tidak nyaman, tubuhnya menggigil samar. “Lo kenapa sih…” gumam Kaluna, mendekat. Tangannya ragu, tapi akhirnya menyentuh kening Dhika. Panas. Panas sekali. Kaluna terbelalak. “Gila, lo demam tinggi.” Tanpa pikir panjang, ia mengguncang bahu Dhika. “Bangun, Dhika! Lo jangan tidur di sini. Pindah ke kasur!” suaranya terdengar cemas, meski masih ditutupi nada ketus khasnya. Kelopak mata Dhika terbuka, menatap samar, seolah berusaha fokus. Bibirnya bergerak, tapi tak ada kata jelas yang keluar. Dalam detik berikutnya, tubuh besar itu goyah, kehilangan keseimbangan. “Dhika!” seru Kaluna panik. Tubuh Dhika tiba-tiba jatuh, menimpa Kaluna yang tidak siap. Dorongan itu membuatnya terjungkal ke belakang, punggungnya menghantam karpet, sementara Dhika jatuh tepat di atasnya. Berat tubuh pria itu menindih tanpa ampun. “Gila lo, Dhika!” Kaluna mendorong dengan panik, tapi gerakan itu sia-sia. d**a Dhika terasa panas di dadanya, napasnya terengah, wajahnya begitu dekat hingga helaan napas hangatnya terasa di pipi. Kaluna membeku. Kepalanya berteriak, tapi tubuhnya gemetar oleh kedekatan yang tak pernah ia bayangkan. Sial. Kenapa harus begini? **** “Lo denger gak? Makan semua sampai habis,” perintah Kaluna, suaranya tegas seperti bos di kantornya. Dhika mendengus, sendok bubur di tangannya berhenti setengah jalan. “Ngapain lo di sini? Gue bisa makan sendiri. Keluar sana, jangan ganggu.” Kaluna menyilangkan tangan di d**a, tak bergeming. “Tadi dokter udah jelasin langsung ke gue. Lo harus makan biar obatnya masuk. Jadi mau gak mau gue harus pastiin lo minum ini obat sampe habis.” Benar, Dhika sakit, jadi Kaluna meminta dokter datang kesini sebab dia malas menyeret pria ini turun tangga, menuju mobil lalu pergi ke dokter. Dan entah dimana pacarnya itu, dia tidak menampakan diri hingga kaluna harus menaggung semuanya sendiri. Yasudah lah, anggap saja balas jasa atas kejadian semalam. “Nyebelin banget lo, Lun.” Dhika melipat alis, tapi tetap menyuapkan bubur ke mulut, meski setengah hati. Setelah beberapa sendok, mangkuk masih penuh setengahnya. “Udah cukup.” “Cukup apanya? Lo baru makan dikit. Ayo habisin.” “Gue gak lapar,” jawab Dhika dingin, matanya menatap malas ke arah lain. Kaluna menarik napas panjang, menahan emosi. “Yaudah terserah lo. Yang penting minum obat.” Ia menunduk, mengambil gelas air untuk ditukar dengan mangkuk bubur yang masih ada di tangan Dhika. Rambut panjangnya jatuh, kacamata bergeser sedikit, belahan dadanya terlihat jelas dari arah pandang Dhika. Dari sudut pandang itu, garis dadanya yang montok tampak menekan lembut di balik kain tipis, seolah menantang udara untuk berhenti berputar. Ada bayangan cahaya yang jatuh tepat di sana, membuat setiap lengkungnya terbingkai bak ukiran halus, perpaduan antara kelembutan dan kekuatan yang terbungkus dalam tubuh seorang perempuan yang menyimpan banyal rahasia keindahan. Sekilas, ia seperti potret sastra yang hidup, yang rapuh sekaligus memikat, diam namun menyimpan bara. Mata Dhika, tanpa bisa dikendalikan, malah terpaku. Napasnya tercekat. Dia buru-buru menenggak air untuk menutupi kegugupan tapi sial, justru air itu salah jalan. “Pfffft—!” Air menyembur keluar dari mulutnya, muncrat ke arah leher dan d**a Kaluna. “AAAAAAAASTAGAAAA!!!” jerit Kaluna kaget, tubuhnya tersentak ke belakang. Pakaiannya langsung basah, lehernya dingin, membuatnya spontan melempar tatapan membunuh. “Demi apapun, Dhika! Lo bego banget apa gimana sih?! Gue jagain lo, malah disemburin kaya air mancur!” Dhika buru-buru menelan obat yang sudah di tangannya, lalu berdiri tanpa komentar, wajahnya setengah masam. Kaluna masih mengomel keras. “Gila ya lo! Udah nyusahin, bikin gue repot pagi-pagi, sekarang malah bikin gue kayak habis disiram! Gue sumpahin lo sembuhnya lama kalau bikin gue naik darah terus—” BRAK! Dhika menutup pintu kamar mandi dengan keras. Kaluna mendengus, wajahnya merah menahan emosi sekaligus malu karena pakaian basah menempel ketat di tubuhnya. “b******k!” Di balik pintu kamar mandi, Dhika bersandar, napasnya berat. Ia menunduk. Dan sial. Kenapa miliknya justru menegang sekarang? Dhika menutup matanya rapat, mengumpat dalam hati. “Sialan… culun.” Maka dengan buru-buru, Dhika memutar keran dan membiarkan air dingin mengalir deras di atas kepalanya. Percikan membasahi wajah, rambut, hingga bahunya, seolah-olah dingin itu bisa menenggelamkan panas demam Hasrat yang mendera tubuhnya. Di luar kamar mandi, suara deras air terdengar jelas. “Dhika! Jangan mandi! Lo sakit, bego!” Kaluna berteriak sambil mengetuk pintu, nadanya penuh amarah sekaligus cemas. Namun, tidak ada jawaban. Hanya suara air yang terus menimpa ubin. Kaluna mendengus, meninju pintu pelan. “Terserah lo! Mati-matian gue ngurusin lo, malah nyari mati lo. Nyusahin!” Geramnya, sebelum akhirnya ia memilih pergi. Ia menutup pintu kamar Dhika, berjalan menuju kamar sebelah. Begitu membuka koper miliknya, Kaluna langsung berganti pakaian. Ia mengenakan kaos longgar dan celana santai, lalu meraih buku tebal serta kacamata bundarnya. Dari balkon kamar, hamparan laut tampak berkilau, gelombangnya berderap menghantam dinding tebing yang curam. Angin asin menyapu rambutnya, membawa aroma yang menenangkan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Kaluna bisa bernapas lega. Ia larut dalam tulisan, jemarinya sesekali menelusuri lembaran halaman, membiarkan waktu mengalir tanpa terganggu. Namun, menjelang sore, sebuah rasa khawatir menyelinap pelan. Diam-diam ia teringat Dhika. Pria itu keras kepala, tapi tubuhnya jelas belum pulih. Akhirnya, Kaluna menutup buku dan berjalan perlahan ke kamar Dhika. Ia mengendap, membuka pintu dengan hati-hati, seakan takut ketahuan. Tapi begitu pandangannya jatuh pada ranjang, napasnya tercekat. Dhika terbaring di bawah selimut, wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru samar. Tubuhnya bergetar hebat meski terbungkus kain, matanya terpejam rapat, keringat dingin membasahi pelipis. “Dhika?” Kaluna mendekat cepat, mengguncang bahunya. Tidak ada respon. “Dhika! Bangun!” Suaranya meninggi, kini penuh panik. Kaluna meraih ponselnya dengan tangan bergetar, langsung menekan nomor dokter yang tadi pagi sempat datang memeriksa. Begitu tersambung, suaranya pecah, setengah berteriak. “Dok! Ini Kaluna… suami saya— eh Dhika, dia pucat banget, menggigil parah, nggak sadar kalau dipanggil! Gimana ini?!” “Maaf, bagaimana, Bu?” Kaluna menjelaskan semuanya secara rinci, apa yang dilihat dan dirasakan dari Dhika. Juga tentang mandi tadi. Di seberang, suara dokter terdengar tenang. “Tenang, Bu Kaluna. Dari gejalanya, itu kemungkinan besar hipotermia. Kondisi tubuhnya menurun karena demam dan paparan air dingin yang terlalu lama. Segera cari cara untuk menghangatkan tubuhnya.” Kaluna menelan ludah, suaranya tercekat. “Hangatin gimana? Dia udah saya selimutin tapi masih gemeteran…” “Ada satu cara paling cepat,” suara dokter terdengar berat, seolah ragu menyampaikannya. “Skin to skin contact. Lepaskan pakaian, dan berikan kehangatan tubuh secara langsung dengan cara memeluknya. Itu efektif untuk memulihkan suhu tubuh.” Kaluna terdiam kaku. Ponsel di tangannya bergetar karena genggamannya terlalu erat. Pandangannya jatuh pada Dhika yang tak sadarkan diri di depannya, tubuh besar itu tampak rapuh untuk pertama kalinya. Skin to skin? Otaknya berdengung, kepala terasa berat, jantungnya berdetak kencang tak karuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN