Hangat, itu yang pertama kali menembus kesadaran Dhika. Padahal yang ia ingat hanyalah tubuhnya yang membeku, menggigil sampai tulangnya bergetar, namun kini ada selimut kehangatan yang membungkus erat. Kelopak matanya terbuka perlahan, pandangan samar menangkap sosok Kaluna yang meringkuk dalam dekapannya. Kulitnya menempel di d**a Dhika, napasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka seperti anak kecil yang tertidur kelelahan.
Dhika menahan diri, ingin menyingkir, namun samar ia masih mengingat ucapan panik Kaluna, “Denger ya, Dhika. Lo itu hipotermia dan gue terpaksa harus skin to skin. Jadi awas aja ya kalau lo macam-macam. Dan anggap ini pertolongan gue semalam tadi, jadi imbas, gak usah dibahas-bahas. Denger ‘kan?”
Dengan hati-hati ia menyibak selimut, dan seketika udara pagi membuatnya tercekat. Cahaya mentari menembus tirai, melukis lekuk tubuh Kaluna yang nyaris tanpa balutan, hanya tersisa celana dalam tipis yang membingkai pinggulnya. Kulitnya berkilau keemasan, garis pahanya mulus, dan dadanya yang penuh terangkat turun perlahan mengikuti irama napas. Semua tampak begitu hidup, indah, dan berbahaya, membuat kepala Dhika berdenyut bukan hanya karena sisa demam. Rahangnya mengeras, pandangan buru-buru dialihkan, tapi bayangan itu tetap terpatri di pelupuk mata.
Ia bangkit, mengenakan kembali kaos dengan gerakan kasar seakan ingin menutupi kegugupannya sendiri. Berdiri di sisi ranjang, Dhika menatap Kaluna cukup lama. Wajahnya tertidur damai, kacamata bundarnya tergeletak di meja, helai rambut berantakan menutupi pipi pucatnya. Cahaya pagi jatuh di tubuhnya seperti bingkai lukisan yang terlalu indah untuk ditatap lama-lama. Dhika menggeleng keras, berulang kali, seolah mengusir bisikan asing dalam kepalanya.
“Nggak… gue nggak mungkin suka sama si culun,” gumamnya dingin. Namun, jantungnya justru berdetak lebih cepat, dan langkahnya terasa berat untuk benar-benar menjauh dari ranjang itu.
Dan sebelum Dhika melakukan hal lain, ia mendengar suara ketukan pelan di pintu kamar. Ia menoleh cepat, kaget, lalu segera membukanya, dan ternyata sosok seorang nenek tua berdiri di ambang, tubuhnya kecil, wajahnya dipenuhi keriput namun matanya masih jernih.
Itu sang pemilik villa.
“Ah, maafkan saya, Nak…” ucap sang nenek buru-buru, tangannya meremas-remas apron lusuh yang dipakainya. “Saya tidak bermaksud membangunkan. Tadi Tuan Lucien meminta saya memastikan keadaan kalian, karena cucu-cucunya tidak memberi kabar sejak kemarin malam. Saya jadi… ya, harus memastikan semuanya baik-baik saja.”
Dhika menghela napas singkat, lalu tersenyum hambar. “Tidak apa, Nek. Terima kasih sudah peduli. Memangnya ada apa yang membuat Kakek sampai menyuruh begitu?”
Sang nenek tersipu, matanya melirik sekilas ke dalam kamar, hanya dari ambang pintu, tidak benar-benar masuk. Ia melihat seprai berantakan, pakaian tersampir di kursi, dan wajah Dhika yang jelas baru terbangun juga Kaluna yang terbaring di atas ranjang. Senyum tipis mengembang di bibir tuanya. “Tidak ada, Tuan hanya khawatir dan meminta saya mmeeriksa…. Tapi sekarang semuanya sudah jelas bahwa kalian sedang sibuk menikmati bulan madu. Jadi saya merasa bersalah, seharusnya tidak mengganggu.”
Dhika terdiam, seulas tawa kering lolos dari tenggorokannya. “Begitu ya…” katanya singkat.
“Maaf sekali, Nak,” sang nenek kembali berkata dengan suara lembut. “Sebagai gantinya, biarlah nanti saya bawakan makanan enak ke bawah. Supaya kalian tidak perlu repot keluar. Anggap saja hadiah kecil dari saya.”
“Terima kasih, Nek. Saya hargai sekali.” Dhika mengangguk sopan.
“Baiklah, saya tidak akan ganggu lebih lama. Silakan lanjutkan kegiatan suami-istri kalian. Namanya juga bulan madu… Jangan lupa waktu ya, kasihan itu Ibu nya, hehehehe.”
“Iya, Nek. Hati-hati di jalan.”
Pintu menutup perlahan, meninggalkan kesunyian. Dhika menyandarkan tubuhnya sejenak pada kayu dingin itu, menghela napas panjang, berat, seolah melepaskan beban yang terlalu aneh untuk ditanggung. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan masuk ke kamar mandi, membiarkan air mengalir untuk menenangkan pikirannya.
Dia tidak akan hipotermia lagi ‘kan? Sebab panas di tubuhnya ini benar-benar tidak biasa.
*****
Saat Dhika keluar dari kamar mandi, udara lembap masih menempel di kulitnya, rambutnya basah menetes pelan. Pandangannya segera menyapu kamar, tapi ia tidak menemukan Kaluna. Ranjang sudah kosong, selimut terlipat seadanya. Sudah bangun dan pergi, kah? Dhika mendengus pendek.
“Biarin,” gumamnya, seolah malas peduli.
Ia menuruni tangga dengan langkah santai, dan aroma makanan segera menyambut dari arah dapur. Di meja, berjejer banyak sekali hidangan dari roti panggang, sup hangat, potongan buah, bahkan beberapa botol anggur merah yang berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Ternyata benar, nenek pemilik villa itu tidak main-main dengan janjinya. Dari pintu kaca yang terbuka, Dhika melihat Kaluna duduk di halaman belakang, tepat di tepi pagar pembatas tebing. Dengan kacamata bulatnya, perempuan itu terlihat sibuk membaca buku sambil menyuap sarapan. Angin laut membuat rambutnya berkibar lembut, seolah adegan di iklan.
Dhika meraih beberapa makanan dari meja, lalu berjalan keluar dan menarik kursi di seberang Kaluna. Kursi itu berdecit, membuat Kaluna tersentak kecil. Ia cepat-cepat berdehem, berusaha menutupi keterkejutannya, lalu kembali menunduk pada bukunya.
“Tenang aja, gue gak bakal makan lo,” ucap Dhika dengan nada santai penuh sindiran, sambil meletakkan roti ke piringnya. Ia menggigit pelan, lalu menambahkan, “Tadi gue sempet ketemu nenek penjaga villa. Dia salah paham… kirain kita sibuk bulan madu. Untungnya, itu bikin kita gak perlu laporan ke Kakek Lucien lagi. Besok pagi kita bisa cabut.”
Kaluna hanya mengangguk singkat, tidak ingin menanggapi lebih jauh. Ia memilih kembali fokus pada halaman bukunya, menyesap teh dengan tenang.
Dhika memicingkan mata, lalu mencondongkan tubuh, mencoba membaca judul buku di tangannya. Sudut bibirnya terangkat. “Romance novel? Serius lo, Lun? Dari dulu masih aja bacanya cerita cinta-cintaan kayak gini. Kayak kisah cinta lo seru aja.”
Kaluna mendongak, menatap tajam. “Dan lo masih sama aja, Dhika. Mulut kayak sampah. Lo pikir keren ngejek orang baca buku?”
“Yaelah, bukan ngejek. Gue cuma heran aja. Dari dulu lo pinter, katanya jenius, eh ternyata isi kepalanya penuh mimpi ala novel receh.” Dhika terkekeh pendek, menyuap buah anggur sambil mengangkat alis dengan gaya menantang.
Kaluna menghela napas panjang, menutup bukunya keras-keras. “Mending isi kepala gue penuh cerita cinta, daripada penuh catatan dosa kayak lo.”
Dhika terdiam sepersekian detik, tapi senyum miring segera kembali menghiasi wajahnya. “Sini lihat wajah gue kalau ngomong.”
Namun sebelum Kaluna menanggapi, ponsel Dhika bergetar di atas meja. Layarnya menyala, menampilkan nama yang jelas, Rihana. Kaluna menoleh sekilas, namun cepat-cepat mengalihkan pandangan. Dhika menjawab panggilan itu tanpa ragu, nada suaranya datar dan dingin. Kaluna tidak tahu apa yang mereka bicarakan, hanya mendengar beberapa potong kalimat pendek, “Ya… aku dateng,” lalu hening lagi.
Begitu panggilan berakhir, Dhika menghabiskan suapan terakhirnya, lalu bangkit berdiri sambil meraih jaket di kursi. “Gue bakal pergi bareng Rihana. Lo jangan bikin ulah selama gue nggak ada. Gue gak mau dapat laporan lo bikin ribet orang villa.”
Kaluna mendengus keras, menatapnya tajam. “Tenang aja, hidup gue gak berputar di lo. Gue justru berharap lo pergi lama-lama.”
Dhika terkekeh, membungkuk sedikit mendekat. “Ya, tapi lo gak bisa bohong… villa ini sepi banget tanpa gue ‘kan?”
Kaluna ingin melempar sendok ke arahnya, tapi Dhika sudah melangkah menjauh, meninggalkan aroma parfum maskulinnya di udara.
“Dasar brengsek.”
Dan ya seharian itu Kaluna tidak masalah sama sekali berada di villa sendirian. Justru ia merasa jauh lebih damai tanpa gangguan Dhika. Ia menghabiskan waktu di ruang tengah, membuka laptop dan sibuk dengan rancangan desain parfum terbarunya. Jemarinya lincah mengetik, kadang berhenti untuk mencoret-coret sketsa botol di buku gambar. Wangi bahan-bahan aroma yang masih melekat di memorinya seakan hadir di udara, membuatnya semakin larut dalam pekerjaannya.
Sesekali ia berhenti hanya untuk menyantap hidangan yang dikirimkan pemilik villa dari café yang sama. Ada pasta hangat, kue manis, bahkan sepiring salad segar yang masih berembun. Perutnya kenyang, pikirannya terisi, dan villa besar itu akhirnya terasa seperti ruang pribadinya.
Menjelang sore, langit perlahan berubah jingga keemasan. Dari balkon yang menghadap langsung ke tebing, Kaluna menatap laut yang berkilau diterpa cahaya terakhir matahari. Pandangannya kemudian jatuh ke meja samping, pada satu botol anggur merah yang sejak pagi tadi tak tersentuh. Rasa penasaran menyelinap begitu saja.
Kaluna meraih gelas, menuang perlahan cairan merah pekat itu, lalu menyesapnya hati-hati. Rasa pahit bercampur manis langsung menari di lidahnya, meninggalkan sensasi hangat yang merambat turun ke dadanya. Senyum tipis terukir di bibirnya, sementara cahaya senja memantulkan kilau keemasan di lensa kacamatanya.
Sore itu, ditemani seteguk anggur dan matahari yang tenggelam perlahan di ufuk barat, Kaluna membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan yang anehnya terasa menenangkan.
****
Dhika menghela napas lega setelah ia akhirnya mengantarkan Rihana kembali ke bandara. Wanita itu… benar-benar melelahkan. Kata-katanya menusuk, tuntutannya tak ada habisnya, tapi setidaknya satu hal pasti yaitu keberadaannya cukup berhasil membuat Dhika mengalihkan pikiran yang sejak kemarin-kemarin nyaris goyah, terutama ketika menyangkut Kaluna.
Sore sudah habis, matahari terbenam, langit berganti jingga pekat. Dhika kembali ke villa dengan langkah panjang. Begitu pintu terbuka, ia berseru lantang, “Culun! Lo di mana?” Tak ada jawaban.
Hening, hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan. Dhika mengerutkan kening, menaiki tangga menuju lantai dua.
Begitu tiba di ruang santai yang menyatu dengan balkon, pandangannya langsung tertumbuk pada sosok Kaluna. Ia duduk berselonjor di karpet, tubuhnya bersandar lemas ke sofa, wajahnya memerah tak wajar. Di sampingnya, botol anggur merah sudah setengah kosong, gelasnya miring nyaris jatuh. Mata Kaluna terpejam, bibirnya bergumam tak jelas, nafasnya berat dengan aroma alkohol.
“Ya ampun, Culun… lo mabok?” Dhika mendengus kesal, melangkah cepat. Ia jongkok di hadapan Kaluna, menepuk pipinya pelan. “Bangun! Jangan bikin masalah baru!”
Kelopak mata Kaluna terangkat setengah, pandangan kabur namun senyumnya terbit samar. “Hmmm… Dhika…” suaranya serak, hampir seperti bisikan. Ia menatap wajah pria itu lama, lalu terkekeh lirih. “Lo… tampan banget, tau gak…”
Dhika membeku sepersekian detik, alisnya mengerut. “Apa sih lo ngomong?!”
Belum sempat ia menghindar, tangan Kaluna terulur, menarik tengkuknya dengan gerakan mengejutkan. Bibir hangatnya menempel di bibir Dhika dengan cepat, basah, serampangan.
“Ih Culun!” Dhika refleks mendorong bahunya, terbelalak. “Lo gila, Lun?! Lo mabok, tau diri dikit!” suaranya meninggi, nada marah bercampur panik. “Gue tau gue ganteng, tapi gak gitu juga ya, anjir.”
Tapi Kaluna hanya terkekeh lagi, matanya setengah terpejam. Bibirnya yang basah akibat anggur bergerak perlahan, menjilat singkat bibir bawah Dhika sebelum berbisik lirih, “Mmmm… manis…”
Darah Dhika sontak mendidih. “Anjir…” umpatnya pelan. Ia sudah menahan diri sejak lama, sejak malam pertama melihat culun ini berubah jadi wanita yang entah kenapa terus bikin pikirannya kacau. Dan kini, tubuhnya sudah tak bisa berbohong lagi.
Dengan gerakan kasar namun penuh gairah, Dhika menarik Kaluna kembali, bibirnya menempel dengan ganas, mencium dalam seakan hendak menghukum. Tangannya menahan pinggang mungil itu, lalu mengangkat tubuh Kaluna ke pangkuannya. Nafasnya memburu, ciumannya menenggelamkan semua kata-kata.
Sial. Sudah sejak awal ia menahan. Dan malam itu, segalanya pecah