Kaluna menghela napasnya dalam setelah menutup telepon. Hatinya masih terasa bergetar, tapi wajahnya ia paksa tetap datar. Begitu ia melangkah masuk dari balkon, matanya menangkap sebuah nampan sarapan yang tertata rapi di atas meja. Sekilas ia tertegun, namun cepat-cepat menggeleng. Tidak mungkin, pikirnya, Dhika tidak mungkin melakukan hal semacam itu. Bayangan semalam masih menempel di benaknya, membuat dadanya sesak. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajah dan tubuhnya sendiri. Air dingin yang mengalir tak mampu menghapus perasaan kotor yang menyelimuti dirinya. Tubuhnya gemetar, air mata mengalir deras tanpa bisa ia hentikan. Ia merasa hancur, bernoda, seolah harga dirinya diremukkan karena telah kehilangan kendali, karena dirinya sendiri yang menggoda lalu jatuh bersama Dhika. Ra