Ting... Tong...
Dengan gusar Mellia menekan bell pintu rumah kediaman orang tuanya. Dalam gendongannya Vero terlelap karena kelelahan menghadapi macetnya kota Jakarta yang jauh sekali keadaannya dari Bali.
"MELIA...." ucap wanita berusia empat puluh tahun didepannya. Wanita itu masih terlihat cantik dengan lipstik coklat bata dibibirnya. Rambutnya tergerai meski hanya di atas pundak. Mellia meneteskan air matanya memandang sang Mama.
"Mamah." ucapnya pelan lalu berjongkok dikaki Mamanya. Vero sampai terbangun karena gerakan cepat Mell yang berjongkok membawa tubuh putranya.
"Mell. Papah. Ditto, Mell pulang. Anak Mamah pulang." teriak sang Mama sambil terisak.
"Maafin Mell Mah, Maafin Mell. Maafin Mell yang mencoreng nama keluarga kita Mah." isaknya memegangi kaki sang Mama.
"Bangun Mell. Bangun." Sang mama membantu Mell berdiri. Mamanya memandang Vero haru, lalu mengambil alih tubuh Vero yang mengerjapkan matanya.
"Mellia." panggil Haryo memanggil nama putri satu-satunya itu. Haryo merentangkan tangannya lebar, air matanya bahkan menetes dari sudut matanya. Mellia berlari ke arah sang Papa, menenggelamkan kepalanya di d**a sang Papa dengan isak tangis yang terus berderai.
"Papah." ucapnya parau karena masih terisak.
"Ssssttt, i know. Papah tahu Mell. Papah tahu semuanya." kata Haryo membelai lembut punggung putri satu-satunya.
"Lindungi Mell, Pah. Tolong lindungi Mell dan putra Mell." pintanya pada sang Papah.
"Apapun sayang, apapun akan papa lakukan untuk putri papah. Meskipun harus mempertaruhkan nyawa papa sekalipun."
Di dunia ini, tidak akan ayah yang mau menelantarkan anaknya. Terlebih seorang putri. Meski Mell kabur, bukan berarti Haryo tidak mengetahui keberadaan putrinya itu. Haryo tahu, Mell ada di Bali. Bahkan ketika putrinya itu melahirkan ia dan Ditto ada didepan ruang bersalin Mellia. Menanti dengan cemas cucunya yang akan terlahir.
Ditto sang Kakak bahkan rela meninggalkan istrinya yang baru beberapa bulan melahirkan untuk menemaninya. Haryo sendirilah yang mengadzani sang cucu Vero. Haryo yang selama ini memantau sang putri agar mendapatkan pekerjaan layak setelah dua bulan kepergian putrinya dari Singapura.
Haryo yang meminta anak buahnya untuk tinggal didekat putrinya. Seolah-olah dia adalah tetangga yang siap membantu Mell kapanpun Mell butuh. Ketika Vero sakit, Haryo akan segera terbang ke Bali untuk melihat anak dan cucunya meski dari jauh.
"Selamat kembali sayang, selamat kembali ke rumah ini." ucap Haryo mengeratkan pelukkannya pada tubuh Mellia.
Merliana Haryo, adalah putrinya. Selamanya adalah putrinya. Tidak ada satupun orang yang boleh menyakiti sang putri. Sekalipun itu adalah Ray Husodo. Matipun tidak akan pernah Haryo biarkan laki-laki itu menyakiti putrinya.
***
"f**k. Jadi dia pulang ke rumah orang tuanya?" bentak Ray pada Fendi yang berada dikantornya. Ray bahkan sempat memaki Fendi karena tidak bisa mengerahkan anak buahnya untuk mencegah kepergian Mellia dari Bali.
"Lalu pertemuan saya dengan Pak Haryo, apakah sudah kamu atur?"
Fendi menundukkan kepalanya takut. Pasalnya orang yang disebutkan oleh bosnya ini menolak keras keinginan sang presdir untuk melakukan pertemuan, sekalipun itu menyangkut bisnis. "Maaf Pak, Pak Haryo juga menolak untuk bertemu dengan anda."
"Fendi, saya tidak mau tahu. Bawa anak saya bagaimanapun caranya." erang Ray. Matanya terpejam.
"Tapi Pak."
"Tolong panggil wartawan, kumpulkan semua wartawan yang ada." titah Ray.
"Baik Pak."
"Panggil sekertaris saya Fen."
"Baik Pak, saya undur diri."
Selepas kepergian Fendi. Ray mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Mellia benar-benar mencari masalah dengannya. Sekali lagi Mellia membawa pergi putranya. Bahkan Mellia sama sekali tidak menyematkan nama keluarganya dibelakang nama putranya.
Tok... Tokk...
"Masuk Angel." ucap Ray tegas.
"Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya Angel.
"Tolong datangkan seseorang untuk merubah kamar pribadi saya. Saya ingin kamar itu." tunjuk Ray pada pintu berwarna coklat diruangannya. "Di ubah sesuai dengan anak berumur lima tahun. Berikan ranjang yang lebih besar dan mainan untuk anak laki-laki."
"Iya Pak, Maaf bagaimana?"
"Tolong kamu ubah kamar itu untuk anak laki-laki saya, umurnya lima tahun. Kamu bisa bekerja sekarang." usir Ray.
-------
"Hai jagoan Om." sapa Ditto pada Vero yang berada dipangkuan Mellia. Vero mengerjapkan matanya bingung.
"Mommy." Vero menarik ujung kaos Mell. Ia merasa asing dengan orang dihadapannya.
"Vero. Ini Om Ditto. Dia kakaknya Mommy sayang. Omnya Vero."
"Om?"
"Yes, Kiddo." jawab Ditto senang. Ditto menoel pipi gembil Vero. Mirip sekali dengan putranya. Lucu maksudnya.
"Jingga ke mana kak?" tanya Mellia, karena sedari tadi tidak melihat Jingga dirumahnya.
"Di rumah Mamanya tuh, di depan. Sama Axel. Anaknya lagi ngambek." curhat Ditto.
Mell mengangguk. Mell sering sekali melihat infotainment menayangkan keponakannya yang lucu itu. Pipinya gembul sekali, lebih gembul dari pada Vero putranya. Bahkan anak itu berhasil mencuri perhatian banyak orang hanya dengan penampilannya yang stylish di usianya yang baru lima tahun.
"Papaaaaaaaaaa." Ditto mengernyitkan kupingnya saat mendengar jeritan sang putra, Benar-benar mirip dengan Jingga Mamanya. Kaya tarzan di hutan yang suka teriak-teriak.
"MELIAAAAAAAAAAAAAA." teriak Jingga meninggalkan Axel putranya yang berdiri memegangi tembak-tembakkan ditangannya.
"ANAK NAKAL, pengen ditabok." teriak Jingga memeluk Mell. Vero yang melihat itu menarik tangan Mommy nya. Anak laki-laki itu hampir menangis karena melihat wanita dipelukkan Mommy berteriak.
"Mommy, takut." ucapnya pada sang Mommy.
"Eh, Verooo." teriak Jingga lalu membawa Revo ke dalam pelukkannya.
"PAPAAAAH. MAMA PELUK ANAK LAIN HUAAAA." jerit Axel karena kehilangan perhatian sang mama. Rumah keluarga Haryo yang tadinya hanya berisi teriakan Axel kini bertambah semakin ramai. Aryanti yang melihat keluarganya telah berkumpul memeluk suaminya erat.
"Putriku kembali Yo, putriku kembali."