Damian menghentikan Laras dengan menahan pergelangan tangannya. Kini mereka saling berpandangan meski terdapat atmosfer panas dan tidak terkendali. Pria itu tahu betul jika kekasihnya sedang sangat marah dan dia yakin meminta Laras untuk bersabar adalah sesuatu yang sia-sia.
“Aku sudah bilang berulang kali padamu, tapi kamu selalu saja meragukan aku,” ucap Damian tanpa melepas pandangan. “Kamu cinta padaku atau tidak?”
“Kalau aku tidak cinta, aku tidak akan semarah ini!” Laras membalas dengan nada tinggi. Dadanya kembang kempis, napasnya pun sedikit tidak beraturan.
Damian memilih tutup mulut, membiarkan wanita di depannya menjadi tenang sedikit demi sedikit hingga napasnya terdengar pelan dan beraturan. Baru setelahnya dia mencium kening Laras selama beberapa detik.
“Masuklah, aku mandi dulu.”
Laras mengangguk-angguk, kemudian berbalik arah menuju kamarnya, “Masih ada beberapa pengaman di dalam laci, masih cukup untuk semalaman.”
Damian menyunggingkan senyum sebelum akhirnya mengikuti Laras ke dalam, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa pernikahan yang membuat wanitanya mengamuk.
“Jangan buang tenagamu hanya untuk marah-marah karena aku akan menggunakan semua yang tersisa malam ini. Kamu tidak boleh tidur, Sayang.”
Hubungan mereka selama ini memang bukan hubungan yang sehat dan lurus hanya dengan mengandalkan rasa percaya satu sama lain sebab kepercayaan dibangun dengan tindakan-tindakan yang mereka lakukan bersama-sama, saling suka, seperti apa yang akan Damian dan Laras lakukan sebentar lagi.
Meski demikian, kedua orang dewasa itu tidak gegabah. Ada banyak hal yang harus mereka pertahankan sehingga menikah bukanlah sesuatu yang mesti dilakukan paling awal. Namun, maupun Damian atau Laras sepakat untuk menjalani hubungan yang penuh dengan kembang api dan mendebarkan di beberapa waktu, tidak peduli siang atau malam, asalkan waktu dan situasi mendukung.
Seperti sekarang, alih-alih ke kamar mandi dan membersihkan tubuh seorang diri, Damian membawa serta Laras ke dalam dan menyudutkannya pada dinding kaca, lalu mencium bibirnya penuh dengan hasrat. Di saat melakukannya, wanita itu bahkan melepas sabuk sang kekasih, membuka kancing sekaligus resletingnya dan membiarkan tangannya mengelus kejantanan milik Damian yang telah berisi.
Laras tersenyum di sela-sela ciumannya, kemudian menyusupkan tangan ke dalam celana dalam, menarik ulur milik Damian hingga membuat pria itu melenguh panjang dan menjauh dari bibirnya.
"Kamu selalu tidak bisa tahan kalau aku sudah seperti ini," ujar Laras tanpa mengalihkan pandangan dari Damian yang memejamkan mata. Tangannya masih memanjakan kejantanan kekasihnya dengan cara menaik turunkan genggamannya. Terkadang cepat, kadang juga lambat.
Pria itu mengembuskan napas berat, merasakan gejolak yang membuat kepalanya berdenyut merasakan bagian intimnya terus dimanjakan oleh Laras. "Cukup," erangnya dengan dahi mengernyit. "Aku ingin kamu merasa senang juga."
"Ya, tentu."
Laras melepaskan tangannya dari milik Damian, kemudian melepas pakaiannya sambil berjalan ke bak mandi dan masuk ke dalamnya. Pria itu menyusul, duduk di dalam air tanpa melepas kekagumannya dari tubuh wanita yang sintal itu.
"Ayo, kamu suka berada di atas, bukan?"
Tangan Damian menarik pinggang Laras, memintanya untuk duduk di atasnya dan membiarkan kejantanannya berada di dalam bunga kewanitaan yang rapat luar biasa itu.
Mereka melenguh bersama saat Laras perlahan-lahan bergerak turun membiarkan milik Damian masuk ke dalam tubuhnya, lalu setelah benda panjang dan keras itu sepenuhnya masuk, dia mulai bergerak maju mundur, membiarkan air di dalam bak bergelombang dan tumpah ke lantai, sementara dirinya menikmati rasa penuh yang Damian beri padanya.
"Ah ... cuma kamu satu-satunya," gumam Damian sambil memegangi pinggul Laras dan membantunya bergerak.
Rasanya mau gila. Semua yang ada dalam dirinya bergejolak. Kepala, d**a, hingga bagian intim yang menjadi sumbernya.
Cukup lama mereka bermain di dalam bak mandi dan sekarang Laras berdiri menghadap dinding kaca, sementara Damian memacu diri di belakangnya, menarik ulur miliknya yang terasa hampir meledak. Melihat punggung Laras yang mulus membuat pria itu menjadi lebih gila, apalagi pantatnya yang bulat dan kemerahan karena tamparan-tamparan yang dia beri sejak tadi.
"Apa kamu puas?" Damian bertanya dengan suara berat. Laras tidak menjawab apa pun dan hanya mendesah terus menerus dan itu membuatnya semakin cepat memaju mundurkan kejantanan yang makin tak terkendali itu. "Laras ...!"
Damian menyentak dalam-dalam miliknya, mencengkram pinggang Laras saat puncak kenikmatan yang dia cari akhirnya datang meledak memenuhi karet kontrasepsi yang membalut kejantanannya.
***
Sofia sendiri berada di kamar, duduk sembari menatap pintu dan berharap seseorang muncul dari sana, lalu tidur di sampingnya meski tidak akan ada kehangatan seperti yang sudah-sudah. Namun, hingga pukul sebelas malam, tidak ada tanda-tanda bahwa Damian akan pulang.
“Ya, dia sudah bilang tidak bisa pulang karena pekerjaan, harusnya aku percaya,” gumam wanita itu sambil merebahkan tubuh, lalu tidur sendirian seperti biasa.
Keesokan harinya setelah Sofia terbangun pukul enam pagi dan menyiapkan sarapan, masih belum ada tanda-tanda jika Damian akan segera pulang. Wanita itu ingin menelepon, tetapi nomornya saja dia tidak punya.
“Lucu sekali, aku tidak punya nomor suamiku sendiri.”
Senyuman miris muncul di bibirnya yang kemerahan, tetapi pada detik selanjutnya lengkungan indah itu menghilang dan berubah menjadi helaan napas. Namun, beberapa saat kemudian, pintu depan terbuka dan hal tersebut membuat Sofia bersemangat untuk segera datang dan menyambut sang suami. Akan tetapi, rasa semangatnya berubah menjadi kebingungan yang luar biasa.
“Kamu siapa? Kenapa ada di rumah ini?”
Sofia meletakkan cangkir bermotif bunga di atas meja, menyajikan teh hangat yang cocok untuk diminum pagi-pagi seperti ini. Cuaca hangat, suasana tenang dalam rumah besar, juga seorang tamu asing yang membuat wanita itu merasa tak tahu perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini.
Tamu yang datang pagi-pagi sekali itu jelas berasal dari luar negeri, tetapi fasih berbahasa indonesia. Jika pria bermata biru itu bisa masuk ke rumah tanpa memerlukan kunci, Sofia yakin pria tersebut cukup dekat dengan suaminya.
“Aku Jillian,” kata pria berdarah Eropa tersebut, lalu menyesap teh yang menurutnya terlalu hambar. “Jadi, kamu ini istri Damian?”
Sofia mengangguk pelan, merasa agak canggung hanya berdua dengan salah satu kenalan suaminya yang bahkan tidak dikenalnya dengan baik. “Kami baru menikah kemarin. Cuma pesta kecil-kecilan,” jawabnya.
Dia menikah kenapa tidak mengundangku, batin pria bernama Jillian tersebut. Apa yang lebih mengejutkan adalah mengapa Damian bukan menikah dengan Laras dan malah mempersunting wanita yang bahkan tidak pernah dikenalkan kepadanya.
“Aku agak terkejut dia menikah tiba-tiba, tanpa mengundangku, tapi … itu tidak masalah.” Jillian mencoba tersenyum. “Kami tidak sedekat itu sampai dia mengabariku.”
“Ah, ya.” Sofia menunduk. Dia tahu betul jika pria di depannya sedang berbohong. Sebab bagaimana mungkin pria itu bisa masuk ke rumah seseorang yang bahkan tidak berhubungan dekat. “Omong-omong, Fabian bilang padaku tidak bisa pulang sementara ini. Jadi, lebih baik kamu hubungi saja dan bilang kepadanya untuk setidaknya pulang menemuimu.”
Jillian sedikit terkejut mendengar bagaimana wanita di depannya memanggil nama Damian. Meski Fabian ada di dalam nama kepanjangannya, jelas itu kurang benar. Namun, dia memilih diam karena merasa tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Sembari mengelus bibir, Jillian berkata, “Tidak perlu cemas, aku sudah menghubunginya tadi saat tiba di depan. Tapi dia tidak menjawab. Aku juga sudah mengirim pesan, mungkin dia akan segera tiba di sini.”
Sedetik setelahnya, getaran ponsel di dalam saku membuat Jillian beranjak. “Aku permisi sebentar,” katanya sambil melangkah keluar dan menerima panggilan tersebut. Namun, dia tidak menyapa seseorang yang menghubunginya sebelum dirinya berada di luar. “Bisa kamu jelaskan apa yang sedang terjadi?!”
“Pergi dari sana sekarang juga. Kita bertemu di kantorku.”
Panggilan terputus begitu saja dan selang beberapa saat kemudian, Damian mengirimkan alamat yang harus Jillian datangi. Pria berdarah campuran itu yakin ada sesuatu yang tidak beres dan cukup rahasia. Lantas, setelah kembali masuk menemui istri Damian, Jillian berpamitan pergi dengan alasan mendesak.
Membawa satu koper besar berisi pakaian, Jillian harus menyeretnya keluar dari rumah yang niatnya akan ditinggalinya selama kurang lebih satu tahun ini. Namun, ternyata rencananya tidak bisa dilakukan karena keberadaan seorang wanita yang memegang status sebagai istri Damian.
Pria itu menyetop taksi, meminta sopir tersebut mengantarnya ke sanatorium tempat Damian menjabat sebagai direktur utama. Pagi-pagi begini, Jillian harus berkendara bolak-balik hanya untuk mendapat tempat tinggal.
Sekitar setengah jam setelah melewati perkebunan karet yang menenangkan, juga sinar mentari pagi bercampur angin yang menyejukkan, Jillian tiba di sanatorium dan disambut langsung oleh Damian yang tatapannya sedikit lebih tajam.
“Kenapa kamu tiba-tiba ada di Indonesia, tanpa kabar?” tanya pria berjas dokter tersebut.
Masih dengan menyeret kopernya, Jillian membalas, “Aku berniat memberimu kejutan, tapi coba tebak siapa yang membuatku terkejut?” Dia menunjuk Damian. “Kamu, sudah punya istri? Dan wanita itu bukan wanita yang aku kenal?”
Damian terlihat mengamati situasi sekitar, kemudian kembali menatap Jillian. “Berhenti mengatakan hal itu dan ikuti aku,” pintanya sambil memutar badan, kemudian melangkah pergi membiarkan sahabat dekatnya menyusul bersama koper besar berwarna biru dongker tersebut.
“Sekarang jelaskan padaku apa yang terjadi.” Jillian menuntut penjelasan setelah tiba dan menutup pintu ruangan direktur utama tersebut. Dia bahkan memilih duduk di koper alih-alih di sofa yang nyaman.
“Aku memang menikahi wanita itu–”
“Kenapa kamu memanggil istrimu sendiri dengan sebutan wanita itu?” Jillian menyela, merasa tidak benar mendengar ucapan Damian.
“Hanya satu tahun,” tegas Damian dengan mata melebar. “Aku hanya akan menikahinya selama satu tahun.”
Jillian mengernyitkan dahi dan matanya memicing, merasa yakin dan tidak yakin dengan apa yang barusan dia dengar. “Apa ini semacam pernikahan kontrak? Tapi untuk apa?”
Helaan napas terdengar di mulut Damian dan dia melangkah duduk di sofa. Jillian yang menjadi penasaran pun mengikutinya, lalu diam menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Dia itu wanita yang pernah Fabian bicarakan,” kata Damian kemudian yang lantas membuat Jillian terperangah.
“Tidak heran kenapa dia memanggilmu Fabian.” Jillian menyandarkan punggung, menghela napas panjang seolah-olah kejadian ini akan mempengaruhi hidupnya. “Jadi, wanita itu tahu kalau kamu kembaran Fabian dan dia tidak masalah menikah denganmu yang punya wajah seperti Fabian?”
Damian menggeleng saat pandangannya jatuh pada vas bunga di atas meja. “Tidak. Di matanya, aku benar-benar Fabian.”