Malam Kedua

1040 Kata
"Apa masih sakit?" tanya Ian saat pagi harinya dia terbangun di sebelah Sofia yang sedang duduk diam menatapnya. "Ya, lumayan, tapi tidak begitu buruk. Sepertinya semalam kamu benar-benar menikmatinya." Sofia tertawa setelah itu. "Ya, setidaknya aku bisa merasakan bagaimana rasanya bercinta sebelum aku mati." Sofia tidak begitu mengerti apa maksud Ian, tetapi dia bisa menebak jika ada hal buruk di dalam perkataan pria itu dan sekarang membuatnya cukup merasa sedih. Dia dipertemukan dengan seseorang yang juga tidak akan berumur panjang. Ini benar-benar takdir. Sofia pikir Tuhan mengirimnya ke Kanada memang untuk menjalani sisa hidupnya penuh dengan kebahagiaan dengan Ian, termasuk bercinta dengan pria itu. Semua ini adalah kehendak Tuhan. Setelah bermalam di tenda yang sama, Ian dan Sofia menikmati beberapa fasilitas lainnya seperti menaiki kereta anjing berduaan mengelilingi desa yang terselimuti salju, lalu berseluncur dari perbukitan bersama-sama. “Sepertinya aku bisa mati dengan damai setelah ini,” ujar Ian setelah bangun dari tumpukan salju setinggi lutut. Dia juga membantu Sofia yang terjatuh bersama dengan dirinya. “Kamu satu-satunya wanita yang membuatku bahagia seperti ini.” “Sudah berapa wanita yang kamu temui dan mendengar kata-kata semacam itu?” tanya Sofia penasaran. Dia tidak akan kecewa jika dirinya bukan wanita pertama yang Ian ajak menghabiskan malam bersama dan menikmati wahana seperti ini. “Entahlah, aku tidak tahu pasti. Tapi kalau kamu mau dengar pengakuanku, kamu adalah wanita pertama yang mau kuajak bercinta.” Ian tertawa setelahnya. Dia tahu pengakuannya ini akan membuat Sofia menilainya sebagai lelaki yang haus akan seks, tapi itu bukan masalah besar. “Kalau begitu, aku w************n yang menerima ajakanmu.” Sofia membalas penuh tawa. Ian menggeleng. “Sepertinya tidak begitu. Aku ingat semalam kamu berteriak kesakitan meski berusaha menikmatinya. Kata orang, perempuan yang belum pernah berhubungan seksual tidak akan pernah menikmati pengalaman pertama.” Sofia tertawa mendengarnya. “Agaknya memang benar. Aku tidak menikmati pengalaman pertamaku karena rasanya sangat menyakitkan.” Ian tiba-tiba menarik pinggang Sofia, lalu mencium bibirnya di tengah hutan bersalju. Saling berbagi kehangatan di antara pohon-pohon berdaun putih, mengukir kenangan manis yang akan dibawa sampai mati. Dinginnya salju membuat pagutan mereka semakin b*******h dan panas hingga tanpa sadar Ian mulai membawa tangannya untuk meremas tubuh belakang Sofia di siang bolong itu. "Aku tahu kita di tempat asing, tapi bukankah ini terlalu vulgar?" Sofia berkata sambil menahan tangan Ian. "Ada sauna di dekat sini. Kamu mau ke sana?" Ian mengangkat sebelah alis, mencoba menarik perhatian Sofia. "Di sana lebih baik." Lantas dengan perasaan menggebu-gebu, keduanya berlari menerobos tumpukan salju yang setinggi betis, juga salju yang sesekali gugur dari pepohonan, lalu memasuki sauna hangat yang bisa digunakan para turis jika mereka merasa kedinginan, sama seperti Ian dan Sofia yang sedang berusaha mencari kehangatan dengan bercinta di dalam sauna. Pria itu mendorong Sofia tanpa melepas ciumannya. Seraya melepas pakaian masing-masing, keduanya tidak berhenti bertukar ludah sampai mereka kehabisan napas dan berhenti sebentar untuk mengambil pasokan udara. Lalu, setelah itu mereka kembali berciuman saat baju-baju yang mereka pakai telah tanggal. Sofia melingkarkan tangannya di leher Ian, sementara pria itu mengelus punggung Sofia, lalu bergerak turun menjelajahi setiap tubuh sintal kekasihnya dan mengangkat wanita itu dan dibawa duduk ke sebuah bangku panjang yang menempel pada dinding. Sesekali Sofia menggoda Ian dengan gerakan yang membuat pria itu menatapnya penuh ancaman, juga sebuah ungkapan bahwa dirinya tak ingin berlama-lama membuang waktu. "Kamu tahu itu tidak baik, bukan?" Ian melempar tatapan mengancam pada kekasihnya yang lancang. Mereka melakukannya lagi, sesuatu yang membuat lupa diri yang ketika makin dalam dan semakin keras kekuatannya seiring dengan perasaan memuncak yang membuat kepalanya penuh hingga pada akhirnya mereka mencapai kepuasan tiada tara. Sejak saat itu, keduanya selalu bersama seolah tiada hari esok. Mereka menginap bersama, menghabiskan malam panas yang membuat Sofia menemukan seperti apa rasa indah bercinta. Dia bersumpah tidak akan menyesal jika tiba-tiba mati besok pagi. Dua minggu berada di Kanada bagai satu malam untuk mereka berdua. Semua hal-hal manis dan menyenangkan Ian dan Sofia lakukan sebagai tanda bahwa mereka bahagia dengan pertemuan itu. Namun, keduanya sepakat untuk tidak membawa harapan jauh lebih dalam. Bahkan ketika Ian berpamitan untuk pulang lebih dulu pun, Sofia tidak bersedih atau menahannya. Gadis itu sadar hubungan mereka cukup sampai di situ, tidak ada yang namanya kemajuan dan lainnya. Lagipula, dia juga tidak akan hidup lama. “Sebenarnya aku punya sesuatu untuk dikatakan, Ian.” Sofia menghentikan langkah dan itu membuat Ian melakukan hal yang sama. Sekarang pria itu memandangnya. “Hidupku juga tidak akan lama lagi.” “Apa?” Ian mengernyit, tak yakin dengan apa yang barusan didengarnya. “Jangan bercanda, Sofia.” “Sumpah. Dokter mendiagnosis kanker padaku. Apa kau tidak merasakan ada benjolan di payudaraku saat menyentuhnya?” Ian menutup mulut menggunakan tangan, tak percaya jika gadis yang ditemuinya pun mempunyai kondisi yang sama. “Apa mungkin Tuhan mempertemukan kita agar bersatu di surga nanti?” Sofia terbahak-bahak mendengar perkataan Ian yang dikiranya bakal menunjukkan rasa sedih atau iba dan lain-lain. Namun, rupanya pria itu lebih pandai membuat suasana menjadi lebih baik. “Kamu mau menungguku di surga?” Sofia menanggapi candaan Ian dan pria itu mengangguk. “Kalau begitu jangan bertemu dengan wanita lain sebelum aku datang menyusulmu.” “Jangan lama-lama karena aku bukan tipe orang yang suka menunggu!” Malam sebelum keduanya berpisah, Ian dan Sofia menghabiskan malam panas dengan semangat membara, menghabiskan seluruh tenaga seolah-olah itu adalah kali terakhir mereka bisa merasakan nikmat dunia dengan seseorang yang disukai. Wanita itu pun memaksa diri, bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan yang Tuhan beri untuknya sebelum kembali ke tangan-Nya. Sofia pikir, dia benar-benar mati menyesal jika tidak memanfaatkan kesempatan ini. Di bawah kungkungan pria bernama Fabian Hakim, Sofia membiarkan semua harga dirinya direnggut, membiarkan tubuhnya yang suci menjadi wanita kotor yang berhubungan intim dengan laki-laki yang bukan suaminya. Lagipula, setelah didiagnosis menderita kanker, Sofia tidak berpikir untuk menikah dengan laki-laki mana pun. Hidupnya tidak akan lama, menikah hanya akan membuat dirinya dan suaminya berada dalam kesedihan yang lama nantinya. Satu minggu sebelum bulan November habis, Ian dan Sofia menyatakan perpisahan dengan baik. Mereka pun tidak saling berharap untuk saling bertemu setelah tiba di Prancis karena keduanya tidak ingin terlibat lebih jauh. Mereka memang suka, tetapi tak ingin berpisah karena kesedihan. "Di surga nanti, kita harus bertemu lagi karena aku membutuhkanmu dan kamu membutuhkan aku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN