Setelah Fabian pergi, Sofia melanjutkan perjalanannya di berbagai negara yang bertetanggaan dengan Kanada. Dia benar-benar akan menghabiskan seluruh uangnya dan membawa mereka ke surga dalam bentuk ingatan.
Setelah satu bulan lebih, gadis itu kembali ke Prancis dengan perasaan senang; lupa dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya dan lantas menemui Margareth. Sofia ingin segera memeriksakan kondisinya, barangkali rasa gembira yang dia rasakan bisa mengalahkan penyakit ganas itu. Namun, mengingat akhir-akhir ini dia sering meriang, harapan itu pupus. Dia tahu sisa waktunya di dunia ini tinggal sedikit.
Padahal gadis itu tidak mau mati mendahului Margareth yang selama ini mengeluh ingin mati daripada menjalani kehidupan sulit. Namun, Sofia juga tidak bisa melepaskan keinginan terbesarnya untuk pergi ke salah satu kota di Kanada dan menjalani operasi yang bakal menguras habis semua uangnya.
Margareth ingat betul bagaimana Sofia menghubunginya enam minggu yang lalu dan berkata bahwa dia tidak akan menjalani operasi atau perawatan lainnya. Kesehatan dan hidup lama memang penting, tetapi kebahagiaan yang telah dirancangnya sejak jauh-jauh hari tidak boleh digagalkan.
“Benar! Hidup dan mati itu sudah menjadi takdir. Aku tidak akan marah pada Tuhan meski hanya hidup selama dua puluh empat tahun.”
Perempuan yang sebentar lagi menginjak usia dua puluh empat tahun itu yakin jika dirinya tidak akan menyesal. Dia akan menghabiskan tabungan hasil bekerja sebagai administrasi di sebuah perusahaan selama satu tahun dan empat tahun menjadi pegawai paruh waktu dari satu tempat ke tempat yang lain.
Minggu pertama pada bulan november, Sofia memesan tiket penerbangan dari Prancis ke Kanada. Dia ingin ke tempat indah yang tidak akan pernah ada di negaranya, yaitu melihat lampu-lampu cahaya dari alam bernama aurora.
“Kamu gila atau apa? Kondisimu bisa saja semakin parah, tapi kamu malah memilih bepergian?!” teriak Margareth.
Perempuan itu baru saja datang dan berteriak seperti orang gila ketika Sofia sedang berkemas. Margareth tahu jika temannya itu sangat ingin pergi melihat aurora yang cantik, tetapi apa gunanya jika setelah itu dia mati.
“Sofia, dengar dan pikirkan lagi. Kamu bisa pergi nanti saat semuanya membaik. Kanada tidak akan runtuh dan aurora juga tidak akan lenyap. Dia muncul setiap tahun saat musim dingin!” Margareth kesal sekali ketika Sofia tak acuh padanya.
“Reth, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya karena Tuhan pandai sekali memberi kejutan–”
“Memangnya kamu punya Tuhan?” timpal Margareth cepat. “Kamu pernah berdoa dan mengikuti acara mingguan? Jangankan itu, selama aku kenal denganmu, kamu bahkan tidak pernah datang ke gereja, tapi sekarang kamu ingat Tuhan?” Dia tertawa lepas. “Lucu sekali.”
“Ya, aku memang sempat hilang arah, tapi sekarang aku sadar kalau aku ini cuma manusia yang tidak abadi.” Sofia menunjukkan ekspresi sok tenang dan itu membuat Margareth mendengkus keras.
“Semoga Tuhan menerima taubatmu.” Margareth melakukan gerakan berdoa dengan menyentuh kedua bahu dan kening, lalu menyatukan telapak tangan di depan d**a. “Kamu pikir Tuhan bakal mengampunimu?!”
Margareth menghela napas panjang. Meski perasaan kesalnya kepada Sofia masih begitu memenuhi ruang di hatinya, seperti ketika wanita itu sengaja mematikan ponsel agar tidak ada yang bisa menghubunginya, atau juga ketika Sofia memilih menginap di hotel saat Margareth mencarinya di rumah.
Wanita bermata biru itu benar-benar kesal mengingat perlakuan Sofia yang seperti ingin mati sendiri di negara pecahan es di Amerika Utara tersebut dan mengirimkan video rekaman di Saskatoon di Kanada setelah terbang selama delapan jam dari Bandara Internasional Charles De Gaulle.
Margaret bersyukur bahwa gadis itu kembali dengan utuh, tidak dalam kondisi kritis yang tinggal menunggu hari kematian. Dia lantas memelototi Sofia begitu perempuan itu masuk ke ruangan sambil tersenyum tanpa dosa. “Kamu masih hidup? Kukira kamu sudah mati terkubur salju di bawah aurora itu!”
“Mana mungkin,” balas Sofia sambil duduk di depan Margareth. “Aku tidak akan mati sebelum dirimu.”
Setelah itu Margareth memeriksa kondisi Sofia yang membuatnya terperangah melihat hasil pemeriksaan sang sahabat. Dia berulang kali menatap Sofia dan lembar kertas yang kini dipegangnya. Ada perasaan takut dan bersalah, tetapi daripada itu, dokter muda tersebut merasa terkejut melihat hasil yang tidak bisa diduga-duga.
“Katakan. Kamu bersenang-senang dengan siapa di Kanada?” tanya Margareth begitu meletakkan kertas hasil medical check up di atas meja.
“Kenapa?” Sofia balik bertanya dengan kening berkerut. “Kenapa kamu bertanya soal itu?”
Margareth menutup mulut, merasa ragu untuk mengatakan semua kabar buruk yang tercetak dalam kertas itu. Namun, dia tidak bisa diam begitu saja saat dirinya telah melakukan kesalahan besar. “Kamu tahu, Peneliti itu manusia. Mereka bisa yakin dengan hasil penelitian mereka, tapi terkadang hasil bisa berubah tanpa bisa diduga,” ucapnya berbelit-belit.
“Apa yang sedang kamu coba katakan?” Sofia mendesak, tak sabar dengan omong kosong Margareth yang membuatnya bingung sekaligus penasaran.
“Hm … sama seperti Peneliti, Dokter juga terkadang salah mendiagnosis–”
“Bicara yang jelas!” sela Sofia dengan mata melotot. Dia sudah merasakan ada sesuatu yang salah.
Margareth begitu saja beranjak dari kursinya, lalu berlutut di depan Sofia dengan ekspresi menyesal. “Maafkan aku, Sofia! Aku sudah salah mendiagnosismu! Maafkan aku!” Dia tampak malu.
Benjolan yang ada di p******a kanan Sofia bukanlah sel kanker, tetapi benjolan kista yang tidak menunjukkan sifat berbahaya. Bisa dihilangkan dengan operasi kecil, atau dibiarkan dengan catatan harus menjaga pola hidup dan rutin memeriksakan keadaan.
Sofia tercengang, tak bisa berkata apa-apa selain diam dan mengatur pikirannya yang campur aduk. Jika memang dia tidak salah dengar, maka ini benar-benar menjadi berita baik. “Jadi, maksudmu aku tidak akan mati, ‘kan?” tegasnya sekali lagi.
“Ya,” jawab Margareth pelan. Dia masih menyembunyikan sesuatu yang lebih mengejutkan daripada kesembuhan Sofia yang mendadak. Namun, saat hendak mengatakannya, Sofia tiba-tiba berdiri.
Gadis itu terlihat senang bukan main dan tiba-tiba dia berteriak sambil berlompat kegirangan. Dia bersalah telah membenci Tuhan selama beberapa waktu sampai-sampai menjalani semua yang dilarang.
“Ya Tuhan ampuni semua dosaku lima minggu ini!” teriak Sofia dengan jantung berdebar-debar.
Gadis berambut coklat itu masih berlompatan, merayakan anugerah paling indah dalam hidupnya sampai-sampai membuat Margareth cemas. Dia berusaha menghentikan Sofia yang terus melompat-lompat itu.
“Jangan melompat begitu, bisa bahaya,” gumam Margareth dengan dahi mengernyit, tetapi dia tidak berani mengatakan yang sesungguhnya. “Sofia, jangan melompat lagi nanti kau bisa keguguran ….”
Sofia berhenti begitu saja setelah mendengar ucapan Margareth yang terdengar pelan. Dengan wajah kebingungan, dia menatap sahabatnya itu. “Kamu bilang apa barusan?”
Margareth mendongak, kembali mengeluarkan ekspresi bersalah. “Sofia, kamu hamil.”
“Apa?”