Sofia terduduk lagi dengan pandangan kosong. Jantungnya seolah copot dan rasanya seperti kehilangan nyawa saat itu juga. Dia baru saja merasa senang karena lepas dari penyakit kanker, tetapi ternyata Tuhan memberinya sesuatu yang jauh lebih berat daripada kanker p******a.
Aku hamil. Pikiran itu terus bersemayam dalam benak Sofia yang tak tahu harus bagaimana.
Perempuan berambut gelap itu melangkah gontai, tak peduli dengan orang-orang yang terpaksa harus menyingkir agar tidak tertabrak olehnya. Sofia tahu jika ada masanya dunia berputar, seperti orang-orang mendapat bagiannya sendiri untuk berada di atas maupun di bawah. Namun, roda kehidupannya berputar terlalu cepat.
Baru beberapa waktu yang lalu dia didiagnosis menderita kanker p******a, tetapi hari ini sahabatnya bilang bahwa ada janin di dalam perutnya. Sofia benar-benar tidak tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan untuknya.
Langkah Sofia tiba-tiba berhenti. Bahunya masih terlihat lemas, sementara pandangan matanya jatuh pada garis putih di depan. Gadis itu kemudian menghela napas, mengangkat wajahnya yang masam.
“Apa ini karmaku karena sudah melakukan dosa?” Sofia bertanya pada siapa pun. “Bagaimana caranya aku menemukan Fabian dan menuntut tanggung jawab?”
Sofia masih ingat jika Fabian berasal dari negara yang sama dengannya, tetapi menemukan satu pria di dalam negara besar ini bagai mencari sebutir emas di antara jutaan pasir. Agak tidak mungkin, tetapi gadis itu pikir untuk mencoba daripada menanggung semuanya sendiri.
Hari itu di apartemen yang akan lunas sekitar lima tahun lagi, Sofia membuka laptop dan mencari-cari nama Fabian di berbagai media sosial, tetapi sampai matahari berada di atas kepala, dia tidak menemukan apa pun.
Fabian tidak menggunakan hal-hal semacam itu.
Gadis itu lantas merebahkan tubuh di lantai yang dilapisi karpet bulu, menatap lampu di plafon berwarna abu-abu. Sekarang pikirannya entah ke mana lantaran ada banyak hal berputar-putar di otaknya.
“Apa aku bakal menjadi ibu tunggal?” Sofia bergumam dengan suaranya yang pelan sebelum akhirnya seseorang berusaha membuka pintu rumahnya tanpa permisi.
Itu bukanlah seseorang yang tidak diinginkan, seperti pencuri atau perampok. Namun, Margareth yang memang sudah tahu sandi rumah Sofia. Benar saja, selang beberapa saat perempuan itu muncul membawa tas kerjanya
“Kenapa kamu datang? Memangnya di rumah sakit tidak ada pasien?” tanya Sofia sambil menatap Margareth yang berdiri di sebelah kepalanya.
“Apa yang sedang kamu lakukan? Meratapi nasib?” Margareth lantas mengambil duduk setelah mendorong tubuh Sofia dengan kakinya. “Sekarang kamu sudah tidak punya waktu untuk meratapi nasib! Bekerja untuk menghidupi kehidupan kalian berdua, atau setidaknya cari laki-laki yang telah menghamilimu!”
Helaan napas keluar setelah mendengar perkataan Margareth barusan. Sofia kemudian beranjak duduk. “Aku sudah mencarinya di f*******: atau i********:, tapi tidak menemukan apa pun.” Dia menatap Margareth yang tak acuh. “Apa iya masih ada seseorang yang tidak menggunakan sosial media?”
“Daripada itu, apa kamu yakin jika nama itu benar-benar miliknya? Kamu yakin dia pria baik-baik?” Margareth sedikit menekan. Sejujurnya dia mencemaskan nasib Sofia kedepannya. Terlebih lagi dengan pria yang mengaku bernama Fabian itu.
“Kalau soal itu, aku mana tahu,” sahut Sofia pelan. Meski ucapan Margareth agak sedikit mengganggu, dia tetap tidak akan berprasangka buruk. “Seharusnya dia pria yang jujur. Aku tahu hanya dengan melihat wajahnya.”
“Cih.” Margareth ingin tertawa rasanya. “Kalau begitu kamu harusnya tahu jika wajahmu itu tipe perempuan yang gampang ditipu!”
“Oh, ayolah! Jangan buat aku cemas! Aku benar-benar yakin jika dia pria baik-baik!”
Margareth mengangguki pembelaan Sofia barusan daripada melihat wanita itu mengamuk. “Sekarang lebih baik kamu pulang ke Indonesia dan cari laki-laki itu, lalu minta pertanggung jawaban!”
“Aku tidak bisa!” Sofia menimpali dengan cepat. Dia beranjak dan duduk di sebelah Margareth. “Aku sudah mencicil apartemen ini selama hampir tiga tahun!”
“Ya sudah kalau mau mempertahankan apartemen ini dan mengurus bayimu sendiri.” Margareth mengangkat bahu, bersikap tidak acuh agar bisa melihat apa yang sesungguhnya Sofia cemaskan.
“Aku tidak mau pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Paman dan Bibi yang serakah itu,” kata Sofia kemudian dengan ekspresi wajah kaku.
“Ternyata karena itu.” Margareth mengembuskan napas setelahnya.
“Menurutmu aku harus bagaimana?” tanya Sofia. Dia sudah putus asa dengan keadaan yang serba rumit ini.
“Lempar apartemen ini pada orang lain, lalu pulang ke Indonesia dan temukan pria itu.” Perempuan berdarah campuran itu mengatakannya dengan tegas. “Kamu tidak akan bisa bertahan sebagai ibu tunggal karena hal itu tidaklah mudah. Jadi, minta pertanggung jawabannya.”
“Kalau begitu, apa kamu mau mengambil alih apartemen ini?” tanya Sofia yang sontak mendapat pelototan lebar dari Margareth. “Aku cuma tanya, kenapa melotot begitu.”
“Aku tahu kamu sengaja. Kalau saja perusahaan orangtuaku baik-baik saja, aku bisa membantumu, tapi … mereka sedang banyak utang sekarang.” Margareth menghela napas, kemudian merangkul pundak Sofia dengan perasaan iba. “Maaf, ya, temanmu yang ini bukan lagi orang kaya.”
Sofia hanya mengangguk dan menepuk punggung Margareth yang juga berada dalam posisi sulit. Tuhan agak tidak adil karena memutar roda kehidupan mereka secara bersamaan dengan kecepatan yang sama pula. Kini mereka berada di bawah, tidak bisa saling membantu kecuali saling menyemangati satu sama lain.
Di saat keduanya sedang meratapi nasib bersama-sama, getaran ponsel Margareth membuatnya menarik diri untuk melihat hal penting apa yang datang kepadanya di detik-detik terakhir sebelum jam kerja kembali efektif.
“Wah, orangnya lebih muda dari yang aku bayangkan.”
Perempuan berambut blonde itu membuka pesan dari pihak rumah sakit. Pesan itu adalah pemberitahuan yang bersifat umum dan siapa pun bisa melihatnya, termasuk para pengunjung rumah sakit karena pengumuman tersebut pasti muncul di papan buletin di lobi.
“Sanatorium bakal diresmikan bulan depan,” ujar Margareth sambil membaca pengumuman yang baru saja masuk. Ibu jarinya menggeser layar ke atas untuk mengetahui informasi lebih lanjut dan begitu matanya melihat direktur utama yang menangani rumah penyembuhan di Indonesia, mereka terbelalak lebar.
“Gila. Direkturnya masih sangat muda dan berkharisma,” lanjutnya. Dia kemudian menunjukkan foto pria berusia pertengahan tiga puluh itu kepada Sofia. “Lihat. Direkturnya seganteng ini, aku pun rela kalau dimutasi ke cabang Indonesia!”
Sofia yang semula memandang ke arah lain kini beralih menatap layar ponsel Margareth. Namun, detik itu juga kedua matanya melotot lebar dan merebut ponsel tersebut dari genggaman sang sahabat. “Pria ini! Dia ayah dari bayi yang aku kandung!”
“Jangan ngawur!” Margareth merebut paksa ponselnya, kemudian memperbesar nama si pria yang tertera di bawah foto. “Damian Hakim. Bukan Fabian. Kamu ini buta atau bagaimana?”
Dengan tatapannya yang serius, Sofia menggeleng tanpa melepas pandangan dari nama tersebut. “Aku yakin sekali dia Fabian!”
Margareth menghela napas lelah, kemudian menyimpan ponselnya ke dalam tas. “Aku tahu betul kalau kamu sedang putus asa, tapi jangan berbicara sembarangan seperti ini,” katanya dengan nada pelan, sementara Sofia hanya menggeleng. “Kalaupun pria itu adalah ayah dari bayimu, berarti dia memang bukan pria baik-baik.”
Sekarang Sofia beralih menatap Margareth, agak merasa tersinggung.
“Menurutmu kenapa dia mengaku bernama Ian padahal aslinya Damian Hakim?” Margareth mencoba menyadarkan sahabatnya, tetapi Sofia justru tiba-tiba bersemangat.
“Dia tidak menipuku! Dia memang Ian! Damian Hakim!” Sofia berseru keras dengan mata berbinar-binar. Setidaknya untuk sekarang ini pikirannya tetap waras, tidak ada yang namanya berprasangka buruk bahwa Fabian adalah penipu. “Aku bakal menemuinya di Indonesia!”
“Wah, aku tidak bisa berkata-kata. Sumpah!”