Mereka Berdua Sudah Mati

1326 Kata
Hari demi hari berlalu, rumah sakit yang berpusat di Prancis akhirnya meresmikan pembukaan petirahan di Indonesia dengan sukses hari ini. Seperti rumah sakit pada umumnya, sanatorium itu akan digunakan untuk merawat pasien jangka panjang yang harus menjalani penyembuhan ketat. Letaknya ada di Kota Bandar Lampung, dekat dengan perkebunan karet dan agak jauh dari perkotaan. Sesuai dengan kegunaannya, mereka membangun rumah sakit tersebut dekat dengan alam terbuka karena memilih lokasi paling sehat bagi para pasien. Ada dua gedung yang dikelilingi pagar tembok setinggi perut orang dewasa yang disusul rangkaian besi di atasnya hingga satu meter. Satu bangunan besar di sebelah kanan yang dekat dengan tempat parkir adalah ruang rawat yang terdiri dari tiga lantai, sementara bangunan di sebelah kiri digunakan sebagai dapur dan ruang makan. Pria bernama Damian Hakim itu baru saja mengunjungi dapur, memeriksa apakah semuanya berjalan dengan baik. Rumah sakit ini harus memberikan yang terbaik kepada para pasien agar mendapat nilai yang baik juga. Alih-alih hanya memberikan obat dan melakukan perawatan rutin, pria itu ingin memberi nilai positif, seperti memuaskan pasien-pasiennya dengan pelayanan yang tidak main-main, apalagi jika orang itu dari kalangan atas. Sebab selain dokter, Damian juga seorang pebisnis yang bertekad menjadikan rumah sakit ini menjadi yang nomor satu. Ketika pria itu sedang memeriksa beberapa dokumen tentang orang-orang yang telah didaftarkan sebagai penghuni kamar vip, sebuah ketukan pintu membuat Damian mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Seorang pria yang memakai setelan perawat masuk. “Pak Armand Sanjaya dari Perusahaan Karet sudah datang bersama keluarganya, Pak,” kata Rendi, selaku kepala perawat di sanatorium tersebut. Dia mendapat posisi tersebut bukan hanya mempunyai orang dalam, tetapi juga karena layak menerimanya, padahal usianya baru dua puluh sembilan tahun. Damian terlihat mengangguk dan merapikan dokumen-dokumen tadi sebelum beranjak, tetapi masih ada satu hal lagi yang harus Rendi sampaikan yang membuatnya mengernyitkan kening. “Siapa?” “Namanya Sofia Alexandra. Dia bilang ada urusan mendesak dengan Anda. Wanita itu ada di depan.” Rendi melanjutkan bicaranya. Damian hanya memalingkan wajah sambil menggosok dagu dan berpikir panjang. Dia kemudian menatap Rendi dan berkata, “Aku harus menemui Pak Armand terlebih dulu. Aku minta tolong padamu dan bawa wanita itu ke sini.” “Baik, Pak.” Rendi lantas keluar dari ruangan itu, sementara Damian masih bergeming di tempatnya. Hanya beberapa minggu berlalu, tetapi wanita itu benar-benar datang bahkan jika harus terbang dari Prancis ke Indonesia. Damian sudah menebak hal ini akan terjadi, tetapi dia pikir tidak akan secepat ini. Dia lantas pergi keluar untuk menemui pemilik perusahaan karet terbesar di Kota Bandar Lampung yang menderita penyakit paru-paru. Selagi pria itu menemui Armand Sanjaya, Sofia mengikuti langkah Rendi yang membawanya ke lantai empat, masuk ke dalam sebuah ruangan yang di dalamnya terlihat rapi dan terkesan kuat. “Silakan duduk. Mungkin lima belas menit lagi Pak Damian akan kembali ke sini,” kata Rendi dengan sopan. “Ya, terima kasih.” Sofia mengangguk dan melihat kepergian Rendi dari ruangan itu. Dia kemudian duduk di sofa dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Rasanya agak berbeda jauh dengan kepribadian Fabian –pria yang ditemuinya di Kanada. Pria itu mempunyai sifat hangat dan lembut, tetapi ruangan itu terkesan dingin dan kuat. Tidak hanya itu, sebuah foto yang terpajang di dinding pun mempunyai aura yang cukup jauh perbedaannya. Sofia beranjak mendekati bingkai foto tersebut dan berdiri di depannya cukup lama. Dia bertanya-tanya, apakah kedatangannya kali ini tidak menimbulkan suatu masalah, atau apakah pria itu akan menerima dirinya bersama dengan janin yang ada di dalam perutnya. “Apa karena pekerjaannya, jadi dia terlihat berbeda?” Tiba-tiba pintu terbuka dan itu membuat Sofia berbalik. Begitu melihat seorang pria muncul, wanita itu tersenyum senang dengan jantung berdebar-debar. Dia seperti menemukan seseorang yang telah dirindukan dan dicari-cari selama ini. Melihat Sofia tersenyum, Damian melangkahkan kakinya mendekat ke arah wanita yang pasti telah salah sangka. Dalam jarak dekat, pria itu memastikan jika wanita yang datang menemuinya memang benar-benar seseorang yang telah berhubungan dengan Fabian Hakim, kembarannya. Dengan perasaan berbunga-bunga, Sofia memberanikan diri untuk melangkah maju. “Fabian. senang bertemu denganmu lagi,” katanya. Tidak memberi balasan atas sapaan yang Sofia beri, Damian mengangguk-angguk dan menyuruh wanita berambut panjang itu duduk. “Duduklah. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui.” Meski agak bingung dan kecewa lantaran pria itu terlihat tidak menyukai kedatangannya, Sofia memutuskan untuk duduk dan menyimpan senyumnya. Sekarang tidak hanya foto, pria di depannya ini seperti bukan Fabian. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya sedih hingga ingin menyerah. “Aku tidak menyangka kamu akan datang secepat ini,” kata Damian tanpa menatap Sofia yang merasa kurang nyaman. “Meski begitu, aku tidak akan mempermasalahkannya.” Saat itu Sofia sudah merasa tidak enak melihat bagaimana Damian berbicara atau bagaimana dia bersikap. Lain dengan Fabian yang ditemuinya di Kanada, pria itu benar-benar tidak terlihat mempunyai kehangatan atau rasa perhatian. Sofia tidak suka dengan ini karena sepertinya dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pria itu tidak akan mengakui bahwa bayi yang dikandungnya adalah hasil dari perbuatan mereka di salah satu teepe di Yellowknife, atau bahkan pura-pura tidak ingat bahwa mereka pernah bertemu di mana Aurora Borealis itu berada. “Fabian, dia yang kau temui di desa itu sudah meninggal.” Perkataan Damian barusan sontak saja membuat Sofia mengalihkan pandangan dan mematung. Melainkan terkejut, wanita itu justru merasa tidak bisa berkata-kata dan tidak menyangka jika Damian akan mengatakan hal konyol hanya karena tidak ingin Sofia masuk ke kehidupannya yang sempurna. Tak berselang lama setelah itu, Sofia menghela napas perlahan. Ini salahnya telah mempercayai pria yang baru saja ditemuinya, bahkan sampai rela menyerahkan tubuhnya yang suci hanya karena berada di ambang kematian. “Aku sudah sering melihat kejadian seperti ini, tapi aku tidak menyangka kalau aku bakal menjalaninya,” kata Sofia diiringi senyum getir. Pandangannya masih tertuju ke arah yang tidak begitu penting hingga tak dapat melihat ekspresi Damian yang agak sedikit kesal. “Sepertinya kamu salah paham,” sela Damian sebelum wanita itu semakin jatuh ke dalam pikirannya sendiri. “Tidak masalah jika kamu memang tidak mengharapkan kedatanganku,” timpal Sofia cepat sambil beranjak berdiri. Agaknya kehadirannya di hadapan pria itu tidaklah tepat. Sekarang dia menatap Damian yang sedikit gelagapan. “Kalau begitu aku pergi.” Damian beranjak dari duduknya dan menyusul Sofia. Dia mencekal tangan dan mencoba menghentikan perempuan itu dan memintanya untuk mendinginkan kepala karena pembicaraan ini belum selesai. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku sudah mengerti maksudmu, jadi tidak perlu khawatir soal apa pun.” Sofia melepaskan cengkraman Damian dengan rasa sakit hati yang teramat besar. Dia juga merasa malu karena datang membawa rasa percaya diri tinggi. Perempuan itu kembali melangkahkan kaki, tetapi ketika tangannya membuka pintu, dorongan dari arah yang sama membuat benda itu kembali tertutup rapat dan sontak membuat Sofia berbalik. Kini keduanya saling bertemu pandang. Sofia memang merasakan sesuatu yang berbeda, tetapi keyakinannya tentang pria itu adalah Fabian, masih lah sama. Namun, berbeda dengan Sofia, Damian hanya merasa asing dengan wanita yang kini menatapnya dengan sorot kesedihan sekaligus kecewa. “Aku mengerti kalau laki-laki yang kutemui di Kanada sudah mati. Jadi, lepaskan dan biarkan aku pergi!” Sofia menjerit, tak tahan menahan sakit hatinya hingga kedua mata yang berkaca-kaca itu akhirnya meleleh jatuh. Ada kerutan di pangkal hidung Damian, sebagai tanda bahwa dia tidak suka dengan karakter wanita yang ditemui saudara kembarnya selama hampir dua minggu di negeri orang itu. Bisa-bisanya di sisa waktu yang dia miliki, malah jatuh cinta kepada wanita seperti ini, batinnya. “Aku akan pergi. Aku berjanji tidak akan merepotkan dirimu. Aku juga tidak akan meminta pertanggung jawaban sedikit pun.” Sofia beranjak pergi dengan rasa sakit yang melebihi ketika dirinya mendengar bahwa ada penyakit mematikan yang mengancam nyawanya. Kanker mungkin bisa disembuhkan dengan jalan operasi, tetapi luka yang pria itu berikan mungkin tidak akan bisa sembuh selamanya. Mungkin saja, setelah bayinya lahir, Sofia akan teringat rasa sakit setiap kali melihat bayi itu.Tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi seumur hidup. "Fabian sudah mati, Sofia juga sudah mati. Mereka berdua sudah mati dan hanya ada aku yang harus bertahan dengan keadaan ini!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN