Sofia benar-benar meninggalkan ruangan itu dengan perasaan tercabik-cabik. Dia ingin menangis, tapi rasanya terlalu sia-sia menangisi perlakuan pria itu terhadapnya. Bahkan ketika dirinya masuk ke dalam lift pun, Damian tidak tampak mengejar. Baru setelah pintu lift tertutup, dia menangis tanpa bisa menahannya.
Wanita itu sama sekali tidak menyangka jika sesuatu seperti ini akan menimpa dirinya. Bertemu dengan seorang pria yang baik di luar, lalu hamil tanpa bisa dicegah dan sekarang harus menanggungnya sendiri dengan penyesalan seumur hidup.
Lift tiba di lantai satu, pintu terbuka dan mempertemukan Sofia dengan wanita cantik berpakaian modis yang terlihat terburu-buru. Dia melangkah keluar dan berdiri di depan pintu.
“Iya, Sayang. Aku baru saja masuk lift. Kamu tunggu sebentar supaya kedatanganku tidak sia-sia.”
Saat pintu lift bergeser, Sofia membalikkan badan, melihat wanita yang sepertinya sedang bertelepon dengan pria yang membuatnya hancur beberapa saat lalu.
“Jadi karena ini dia membuangku,” gumam Sofia sambil tersenyum miris.
DIbandingkan dengan wanita yang baru saja naik ke lantai empat, tentu saja Sofia tidak ada apa-apanya. Rambutnya panjang dan terawat, tubuhnya tinggi langsing, gayanya pun modis dan lebih modern. Dilihat dari wajahnya pun, Sofia tahu jika wanita itu dari kalangan atas.
“Aku benci menjadi miskin.”
Kedua kakinya kembali melangkah, meninggalkan harapan besar yang telah dihancurkan dalam hitungan detik oleh pria yang Sofia pikir akan menjadi sebuah rumah nyaman yang selalu menanti-nanti kepulangannya.
Untuk sekarang ini, Sofia hanya perlu bersikap tenang dan memikirkan apa yang harus dilakukannya di masa depan. Tidak hanya hidup seorang diri, kali ini dia membawa serta janin yang harus dipertanggung jawabkan.
Sebagai satu-satunya tujuan di kota kecil ini, Sofia akan mendatangi paman dan bibinya yang telah tinggal di sebuah desa yang jaraknya sekitar enam jam dari pusat pengobatan tersebut. Sudah sepuluh tahun lamanya mereka tidak bertemu, Sofia agak sanksi jika paman dan bibinya akan menerima kedatangannya yang tiba-tiba.
Sementara itu, wanita cantik yang bertemu dengan Sofia di lift kini berada di kantor Damian. Laras, wanita itu, memeluk Damian dengan kerinduan yang amat mendalam. Pasalnya mereka baru bertemu lagi setelah hampir satu bulan terpisah oleh lautan dan batas-batas negara.
“Aku sangat merindukanmu,” ucap Laras sebelum mengecup bibir kekasihnya.
“Aku juga rindu padamu,” balas pria itu dengan suara yang terdengar tidak bersemangat. Tentu saja hal itu membuat Laras melepas pelukannya, merasa agak kecewa.
“Kenapa kamu terlihat tidak rindu padaku?” Laras menunjukkan wajah merengut, membiarkan Damian tahu jika dirinya kecewa.
“Wanita itu datang ke sini,” kata Damian tiba-tiba dan dia melihat Laras mengernyitkan kening. “Wanita yang ditemui Fabian di Kanada.”
“Ah ….” Laras mengingat siapa wanita yang dimaksud sebab dirinya pun bersama Fabian ketika pria itu berada dalam masa kritis. “Wanita yang namanya disebut oleh Fabian.”
“Ya, wanita itu. Dia baru saja pergi.”
Sedetik kemudian, Laras mengingat seorang wanita yang berpapasan dengannya saat hendak masuk ke lift. Jika memang wanita itu baru saja pergi, maka kemungkinan besar dia adalah Sofia, cinta terakhir kembaran kekasihnya itu.
Beberapa jam berlalu, Sofia kini berada di depan sebuah rumah dua lantai yang saat itu ditinggali empat orang. Pintu pagar tertutup, seperti tidak ada penghuninya. Dia berdiri di luar pintu pagar setinggi tiga meter, menunggu seseorang membukakan pintu besi tersebut dan mempersilakan dirinya untuk masuk. Namun, lagi-lagi wanita itu terlalu banyak berharap.
Santi, adik kandung ayahnya, datang tanpa membukakan pintu dan berbicara dari dalam seolah-olah kedatangan keponakannya itu membawa marabahaya. “Kenapa kamu ada di sini? Bukankah hidupmu sudah lebih nyaman di luar negeri tanpa membuat orang-orang disekitarmu tertimpa kesialan?”
Sofia menundukkan kepala, tak bisa membalas kata-kata menyakitkan yang dilontarkan oleh bibinya. Bahkan untuk membela diri pun rasanya tidak akan ada kesempatan sebab apa yang ada di otak Santi, dia tidak lebih adalah seorang pembunuh.
“Lebih baik kau enyah dari sini sebelum aku memanggil polisi!” Santi berteriak keras, memukul pintu pagar itu keras-keras dan memaksa Sofia angkat kaki dari sana.
Tak punya pilihan lain, Sofia kembali menarik kopernya pergi dari rumah Santi yang sama sekali tidak menyambut kedatangannya. Wanita itu tahu jika hidup ini memang tidak adil, tetapi dia sama sekali jika Tuhan benar-benar membuatnya semenderita ini.
“Apa ini karma karena telah membuat ayah dan ibuku mati?”
Sofia bertanya pada siapa pun, terlalu putus asa dengan keadaan yang mempermainkannya. Jika memang ini adalah balasan yang didapatkannya karena telah membuat orang-orang tertimpa nasib sial, maka tidak seharusnya Tuhan menitipkan seorang bayi kepada dirinya.
“Ini agak keterlaluan, Ya Tuhan ….”
***
Sekitar pukul sembilan pagi keesokan harinya, Sofia mendatangi sebuah rumah sakit setelah berpikir sepanjang malam di salah satu kamar hotel yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Di saat pikirannya melayang jauh membayangkan Fabian malam itu, dia juga memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini. Namun, keputusan finalnya ini mungkin juga akan membuatnya menyesal.
Hari ini wanita itu datang ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Dia bertekad untuk melenyapkan bayi yang ada dalam kandungannya dan membuka lembaran baru tanpa dibayang-bayangi rasa menyesal dan kebencian kepada Fabian.
Damian yang waktu juga berkunjung ke sebuah rumah sakit untuk bertemu dengan kenalannya, tak sengaja melihat Sofia yang baru saja pergi dari ruangan dokter kandungan. Pikirannya langsung mengira jika wanita itu tengah mengandung bayi Fabian.
“Jangan-jangan karena itu dia mencari Fabian?”
Pria itu bertanya-tanya, memikirkan apa yang akan dia lakukan jika pemikirannya ternyata benar. Kalau kedatangan Sofia menemui Fabian adalah untuk mengabarkan hal tersebut, maka bayi itu adalah satu-satunya hal yang ditinggalkan oleh Fabian.
Lantas sembari menghubungi seseorang dan menunda pertemuan, Damian mengejar Sofia yang melangkah gontai sambil memegang sebuah foto usg di tangan kanannya. Setelah tersisa jarak sekitar satu meter, pria itu berhenti dan memperhatikan apa yang Sofia bawa.
“Dia benar-benar hamil,” gumamnya tak percaya.
Rasanya ada sesuatu yang mengganjal dalam d**a Damian melihat foto usg tersebut, seolah-olah kembarannya hidup kembali dan tiba-tiba saja dia ingin memastikan jika bayi tersebut dalam keadaan baik-baik saja.
“Sofia,” panggil Damian pelan dan membuat wanita di depannya berhenti. Dia kemudian melangkah, berdiri di hadapan Sofia yang bahkan memilih membuang muka ke arah samping. “Aku melihatmu keluar dari ruangan dokter kandungan. Apa mungkin ….”
“Ini bukan anakmu,” tandas wanita itu dengan kedua mata tertuju kepada Damian. “Ini bukan bayimu dan aku juga tidak menginginkannya.”
“Kamu jelas berbohong.” Damian membalas dengan penuh tekanan. Dia ingat betul cerita Fabian sebelum pria itu mengembuskan napas terakhir.
Fabian bilang, dia bertemu dengan seorang wanita yang juga dalam keadaan sekarat. Namun, apa yang paling membuatnya bahagia adalah waktu-waktu kebersamaan mereka dan sikap saling jujur yang membuat Sofia mengaku jika Fabian adalah pria pertama yang memberikan kenangan manis pada malam-malam di Yellowknife.
Damian yakin sekali jika bayi itu adalah anak Fabian dan dia bersumpah akan menjaganya seperti anak sendiri. Maka dari itu, sebuah pikiran begitu saja terlintas di otaknya agar apa yang kembarannya tinggalkan tetap aman.
“Itu anakku.”
“Bukan!” Sofia menjerit marah. “Ayah bayi ini sudah mati seperti yang kamu bilang. Jadi, berhenti mengaku bahwa kamu adalah pria yang sudah mati itu!”