Sofia angkat kaki dari hadapan Damian dengan perasaan menggebu-gebu. Di satu sisi dia merasa marah, tetapi di sisi lain dia merasa ingin menyerah dan mengaku bahwa bayi itu memanglah darah daging pria yang kini mengejarnya. Namun, apa yang dikatakan Damian tempo hari membuatnya sakit hati hingga rasanya sangat menyiksa.
Langkah Damian yang lebar dengan cepat menyusul Sofia dan secepat kilat dia menggapai tangan wanita itu, memaksanya berhenti meski harus dengan paksaan.
“Aku minta maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf padamu,” kata pria itu dengan tatapan bergetar, seolah dirinya memang menyesali apa yang telah dilakukannya kemarin. “Aku minta maaf sudah membuatmu sakit hati begini, tapi … kumohon lupakan apa yang sudah kukatakan kemarin.”
Sofia menyentak tangan Damian hingga terlepas dan sekarang dia menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa? Kenapa kamu melakukan ini padaku? Aku sudah menganggapmu mati dan aku akan menggugurkan bayi ini … tapi kenapa kamu datang padaku seperti ini?”
Mendengar ucapan Sofia barusan, sontak saja Damian membelalakkan mata. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu menggugurkan anak Fabian, sementara bayi itulah satu-satunya cara agar penyesalannya terhadap sang adik kembar bisa sembuh.
“Jangan lakukan itu,” kata Damian memohon. Dia kembali menggenggam tangan Sofia, mencoba menaklukan kekerasan hati seorang wanita yang telah disakiti olehnya tanpa sengaja. “Jangan lakukan hal buruk seperti itu. Aku tidak ingin kehilangan bayi itu, jadi kumohon jangan gegabah,
“Aku akan bertanggung jawab. Bukankah kamu datang untuk meminta pertanggungjawaban dariku? Aku akan bertanggung jawab penuh. Aku bersumpah.”
Sofia menunduk, menangisi apa yang Damian katakan sambil menggenggam tangannya dengan erat. Kalau saja boleh jujur, saat ini Sofia merasa bahagia dan terharu. Namun, kata-kata yang melukai hatinya masih tertanam dalam otak dan rasanya sulit untuk menyerah, lalu jatuh ke dalam apa yang Damian inginkan.
“Kamu sangat egois,” kata Sofia dengan suara bergetar. “Kamu membuatku jatuh padamu, lalu kamu juga mendorongku menjauh dan sekarang kamu ingin aku kembali jatuh ke dalam kenyamanan yang kamu beri.”
“Aku minta maaf.” Damian menelan ludah, kemudian menarik Sofia ke dalam pelukannya, mengenyahkan segala penyesalan terhadap Laras, wanita yang dijanjikan pernikahan darinya.
Damian merasa bersalah pada Laras, tetapi dia tidak bisa membiarkan Sofia menggugurkan anak Fabian, saudara yang begitu menghargainya selama ini. Dia juga ingat apa yang Fabian harapkan sebelum kematian datang, yaitu memiliki anak dengan wanita yang dicintainya.
“Aku akan bertanggung jawab penuh. Aku akan menikahimu, jadi jangan berpikir untuk melakukan sesuatu yang buruk terhadap bayi itu.”
Dari awal, Sofia memang tidak berniat menggugurkan kandungannya, tetapi dia takut seumur hidupnya diliputi kebencian kepada bayi itu dan berakhir dengan menelantarkan atau bersikap tidak acuh pada darah dagingnya sendiri.
Cinta dan benci selalu hadir bersamaan, keyakinan dan keraguan pun datang dalam hitungan detik. Hati manusia memang selemah itu, seperti perasaan Sofia yang mendadak tenang mendengar pria itu akan menikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban. Akan tetapi, giliran Damian yang pusing tujuh keliling.
Pria itu tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semua ini kepada Laras padahal selama ini dirinya menjanjikan sebuah pernikahan dua atau tiga tahun lagi. Kedatangan Sofia mungkin bukanlah sesuatu yang besar, tetapi apa yang dibawa wanita itu membuatnya tidak bisa tidak acuh.
Damian terduduk sambil menunduk dan menggaruk pelipisnya sesekali, memikirkan apakah dirinya harus memberitahu Laras soal ini atau menyimpannya sebagai rahasia sampai di mana bayi itu lahir dan hak asuh jatuh ke tangannya dengan cara apa pun.
Tiba-tiba saja pintu terbuka, Laras muncul dari sana. Wanita yang berprofesi sebagai model itu menghampiri Damian dan duduk di pangkuannya, lalu melingkarkan kedua tangannya dengan manja.
“Sudah jam sepuluh, kenapa kamu menyuruhku datang ke kantor alih-alih ke rumah?” tanya Laras tanpa memutus kontak mata dengan kekasihnya.
“Ada sesuatu yang menahanku di sini,” jawab pria itu seraya menggerakkan tangan untuk memeluk pinggang ramping milik Laras. “Kamu keberatan?”
Wanita itu menggelengkan kepala, kemudian tersenyum penuh arti. “Tidak juga. Kurasa berduaan denganmu di kantor cukup menyenangkan.”
Keduanya tersenyum seolah tahu apa yang mereka pikirkan satu sama lain. Lalu detik selanjutnya, Laras mulai mengecup bibir Damian dan pria itu membalas dengan ciuman yang lebih menyenangkan dan menggebu-gebu.
Napas menjadi satu, debaran di d**a terasa sampai di kepala. Laras meremas bahu pria itu hingga kuat, setimpal dengan dorongan yang membuatnya hilang kendali dan memutuskan untuk menanggalkan kemejanya sendiri. Namun, keinginan yang menggebu-gebu itu tiba-tiba kandas saat Damian mengatakan sesuatu yang membuatnya berhenti.
“Wanita itu hamil,” kata Damian di sela-sela napasnya yang berat. “Dia hamil anak Fabian.”
Laras menatap mata Damian bergantian, mencari alasan mengapa hal itu membuatnya terganggu. Akan tetapi, di saat yang sama dia juga merasa terhenyak mendengar jika Fabian meninggalkan sesuatu yang benar-benar berarti.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanya Laras tanpa beranjak dari pangkuan Damian, tak peduli jika sekarang ini tubuh bagian atasnya hanya memakai bra warna hitam.
Dengan tatapan mata bergetar, Damian mencari tahu apakah Laras akan baik-baik saja setelah mendengar ucapannya. “Aku akan menikahinya.”
Keadaan menjadi hening. Laras tidak mengatakan apa pun dan hanya menatap pria di depannya tak percaya. Dia hanya tidak mengerti mengapa Damian mengatakan sesuatu seperti itu padahal mereka harus menikah dua atau tiga tahun lagi.
“Cuma itu yang bisa kamu lakukan?” Laras mengernyitkan dahi. Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya lantaran hati dan pikirannya sudah kacau balau.
Mendengkus keras dan tersenyum miris, Laras beranjak pergi dari pangkuan Damian, kemudian memungut kemejanya di lantai dan memakainya dengan asal. “Aku tahu kamu sedang kacau, jadi aku tidak akan berbicara apa pun. Masih ada banyak waktu, jadi pikirkan baik-baik sebelum kamu menyesal.”
Laras melangkahkan kaki, tetapi kemudian Damian menahan tangannya. “Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Sayang!” Dia mengelak dan memaksa kekasihnya untuk berbalik badan. “Aku hanya akan menikahinya sebagai Fabian, sampai bayi itu lahir dan menjadi milikku!”
Dengan alis berkerut, Laras membalas ucapan Damian. “Kamu pikir semudah itu menikahi seseorang? Damian memulainya memang gampang, tapi mengakhirinya tidak akan sesederhana itu!”
Laras melebarkan kedua mata, menatap Damian yang ternyata menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang remeh. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari cara lain kalau memang ingin memiliki anak Fabian! Jelaskan saja pada wanita itu kalau Fabian memang sudah meninggal!”
“Dia tidak akan percaya! Dia tidak akan percaya kalau Fabian sudah meninggal.” Damian menggelengkan kepala, melepaskan tangan Laras dan duduk di meja kerjanya. “Kamu tahu sendiri tidak ada yang tersisa tentang Fabian. Apa pun. Tidak ada yang bisa membuat wanita itu percaya sekali pun dengan menggunakan surat terakhir dari Fabian.
“Dia hanya akan menganggap Fabian sebagai pria busuk yang tidak bertanggung jawab karena diriku yang tidak punya apa-apa untuk dijadikan bukti.” Damian mengalihkan pandangan ke arah Laras yang bernapas tidak beraturan karena amarah. “Tolong bantu aku hanya sampai bayi itu lahir. Dia adalah satu-satunya yang Fabian tinggalkan kepadaku.”
Laras membuang muka, tak tahu harus menjawab apa atas permintaan Damian barusan. Bayi itu memang satu-satunya hal yang Fabian tinggalkan di dunia ini sebab sebelum pria itu pergi, semua barang yang berkaitan dengannya dibakar habis. Entah itu foto atau identitas diri, termasuk kartu keluarga yang berisi satu nama, yaitu Fabian Hakim.
Semua itu terbakar habis.
“Apa bayi itu begitu penting bagimu?” tanya Laras putus asa dan dia hanya mendapat anggukan kepala dari Damian. “Hanya itu yang bisa kamu lakukan?”
“Wanita itu akan menggugurkan bayinya jika aku … Fabian tidak bertanggung jawab,” balas Damian seraya menatap Laras dengan sendu. Tenggorokannya terasa kering dan satu-satunya cara untuk menyembuhkannya adalah menelan ludah sendiri.
“Berjanjilah untuk tidak melewati batas,” kata Laras kemudian. “Jangan menyentuhnya, jangan peduli padanya, jangan merasa kasihan padanya dan jangan jatuh cinta pada wanita itu!”