Bab 8. Kamu Apain Anak Saya?

1134 Kata
"Hanna ada bersama Anin, Mas." "Terus kenapa Anin sampai sakit perut begitu? Apa Hanna enggak jagain dia dengan baik? Coba kamu kasih HP-mu sama dia, mas mau ngomong sama Hanna." "Anin udah baikan, Mas. Mas masih mau ngomong sama Hanna?" "Iya. Tolong, ya." "Tunggu sebentar ya, Mas." Bagas masuk UGD untuk memberikan ponselnya pada Hanna. "Mas Bayu mau ngomong sama kamu. Ngomongnya di luar aja, ya!" Bagas berbisik di telinga Hanna. Perempuan itu mengangguk. Dia mengambil ponsel yang diberikan Bagas, lalu keluar dari UGD untuk berbicara dengan Bayu di telepon. "Ada apa, Tuan?" Hanna bertanya dengan hati-hati. Dia pikir Bayu pasti akan memarahinya karena Anindya sakit perut sampai dibawa ke rumah sakit. "Kok kamu masih bisa bilang ada apa? Anak saya kenapa sampai sakit perut begitu? Pasti kamu enggak jagain dengan baik, kan?" Hanna menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Bayu. "Mas Bagas tadi bilang apa sama Tuan?" "Katanya Anin sakit perut dibawa ke rumah sakit, tapi sekarang udah baikan." "Tuan, non Anin sudah baikan kok, terus Tuan masih mau marah sama saya?" Entah kenapa kali ini Hanna berani membela diri di hadapan Bayu. "Sudah jelas saya marah sama kamu, kalau kamu jagain Anin dengan baik, pasti dia enggak akan sakit perut. Paham kamu?" "Non Anin sakit perut karena kebanyakan makan, bukannya non Anin biasanya susah makan, kenapa Tuan enggak seneng sedikit pun denger non Anin makan banyak? Lagian kondisinya non Anin kan baik-baik aja, enggak ada yang perlu dikhawatirkan." "Ya Tuhan, tuan Bayu ini kok enggak ada rasa bersyukurnya sedikit aja sih?" batin Hanna. "Sekarang kamu mulai berani sama majikan. Kalau Anin sudah boleh pulang kamu harus jaga dia dengan baik. Saya masih ada tugas di luar kota, mulai juga belum sudah ada masalah begini. Tolong jangan ada masalah lagi selama saya di luar kota!" Panggilan telepon diputus oleh Bayu. Hanna menghela napas, masuk ke UGD menghampiri Bagas. Dia kembalikan ponsel itu pada pria itu. Dari raut wajah Hanna yang kusut pria itu tahu jika Bayu baru saja memarahinya. "Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mas Bayu, ya." Bagas menepuk pundak Hanna, memberikan semangat pada perempuan itu. Dia keluar dari UGD untuk menghubungi kakaknya. "Mas tadi habis marahin Hanna?" "Iya, emang kenapa? Dia ngadu sama kamu? Dasar pengasuh enggak guna, bisanya cuma ngadu sama orang lain." Bagas menjadi tidak enak hati mendengar ucapan Bayu. Menurutnya Bayu terlalu keras pada Hanna. "Mas, jangan sering-sering marahin Hanna, kasian. Nyari pengasuh zaman sekarang susah, aku lihat dia baik. Anin juga betah sama dia. Kenapa Mas enggak pertahankan pengasuh kayak Hanna." "Kenapa kamu jadi ngatur-ngatur mas? Kamu suka sama Hanna? Aduh, jangan deh, Gas, mending kamu cari perempuan lain yang lebih baik dari Hanna. Dia itu cuma orang kampung yang punya banyak utang. Apa kamu mau dimanfaatkan Hanna buat bayar semua utangnya?" Bagas menghela napas. Sulit memang membuat kakaknya menyadari kebaikan Hanna pada Anin. "Aku cuma kagum dengan sifat baik Hanna yang belum pernah terlihat pada pengasuh Anin sebelumnya. Jadi, Sayang aja gitu kalau dia enggak betah kerja di rumah Mas Bayu. Tapi, ya majikannya tetap Mas Bayu sih. Aku bukan siapa-siapa di rumah Mas." "Nah, itu kamu paham. Jangan coba-coba lagi ikut campur urusan pengasuh Anin. Ya sudah kerjaan mas masih banyak." *** Beberapa hari kemudian, semua tugas Hanna berjalan dengan baik. Pagi hari dia mengantar Anin ke sekolah dan menjemput saat pulang sekolah. Dia mulai terbiasa dengan jadwal harian Anindya. Seperti biasa, apabila ada les sepulang sekolah, dia juga akan mengantar gadis kecil itu ke tempat les dan menunggunya. Hari ini jadwal les matematika selama dua jam. Hanna menunggu di luar, duduk di bangku yang ada di tempat les karena bosan menunggu, dia tertidur di kursi sampai Anindya selesai les. "Kak Hanna, kak, bangun. Aku udah selesai les." Anindya menepuk pundak Hanna sampai dia terbangun. "Eh, Non Anin udah selesai les? Pulang sekarang?" Gadis kecil itu menggeleng. "Mau beli es krim. Boleh enggak, Kak?" "Es krim? Beli di mana? Tapi kakak enggak bawa uang nih. Tadi kelupaan bawa dompet, karena buru-buru ke tempat les. Gimana dong?" "Gimana kalau kita minta uang sama pak Beni?" Ide itu tiba-tiba terlintas dalam pikiran Anindya. "Ok. Kalau gitu biar kakak yang bilang sama pak Beni. Ayo kita masuk mobil. Beli es krimnya di minimarket dekat rumah aja, ya?" Anindya mengangguk. Keduanya masuk mobil menuju rumah. Hanna sudah meminjam uang pada Beni. Dia berjanji akan mengembalikan uang itu di rumah. Mobil yang dikemudikan Beni parkir di depan sebuah minimarket. Hanna turun dari mobil bersama Anindya lalu masuk ke minimarket. Anindya membeli lima es krim untuk dia sendiri. Sedangkan Hanna hanya membeli satu. Mereka antre depan kasir untuk membayar es krim. "Kak, makan es krimnya di sini aja, ya? Enggak usah di rumah." "Boleh. Terus semua es krimnya mau dimakan sekarang?" "Iya. Semua mau dimakan sekarang. Enggak usah dibawa ke rumah. Takut ketahuan papa. Nanti malah diomelin karena kebanyakan makan es krim." "Ok deh." Selesai membayar, keduanya duduk di kursi yang ada di depan minimarket untuk makan es krim. Anindya merasa sangat senang bisa makan es krim dalam jumlah banyak bersama Hanna. Hanna pun merasa senang bisa membuat Anindya tersenyum. Keduanya kembali masuk mobil setelah menghabiskan semua es krim. Pulang ke rumah. "Non Anin mandi dulu. Nanti makan malam terus belajar sebentar di kamar. Nanti kakak temenin belajar." "Ok." Gadis itu berjalan ke kamarnya dengan perasaan bahagia. Dia masuk kamar, meletakkan tas di meja belajar kemudian mandi sesuai perintah Hanna. Hanna juga masuk kamar, mengambil uang yang tadi dia pinjam pada pak Beni. Dia serahkan uang itu dan kembali ke kamar untuk mandi. Setelah itu dia menuju dapur untuk menyiapkan makan malam untuk majikan kecilnya itu. "Malam ini kita makan apa Mbak Santi?" Santi juga sedang memasak di dapur untuk makan malamnya dengan Hanna. "Makan sambel terong sama tempe dan telur goreng." "Wah, enak tuh kayaknya Mbak. Aku juga udah laper nih." Hanna tidak menceritakan pada Santi jika pulang les dia membeli es krim bersama Anindya. Malam itu Hanna menemani Anindya makan malam dengan menu masing-masing. Tidak lupa dia juga menemani gadis kecil itu belajar sebelum tidur. Anindya tidur jam 9 malam. Dia sudah merasa lelah seharian berada di luar rumah. Malam itu juga Bayu pulang ke rumah. Setelah masuk dia meletakkan tas di ruang kerja. Pria itu juga mandi dan berganti pakaian. Dia sempatkan melihat anaknya yang sudah tidur pulas. Bayu duduk di tepi ranjang lalu mencium kening putri kesayangannya. Dia terkejut. "Kok keningnya panas? Jangan-jangan Anin demam." Pria itu memeriksa suhu tubuh anaknya dengan termometer yang dia ambil di meja. Benar saja dari alat itu dia lihat suhu tubuh anaknya 38°C. Anindya demam. Bayu bergegas turun menuju kamar pembantu. Dia ketuk pintu kamar itu dengan keras. Hanna baru saja akan tidur beranjak dari ranjang kemudian membuka pintu kamar. Dia lihat wajah majikannya merah padam. "Kamu apain anak saya sampai dia demam begitu?" tanya pria itu dengan napas memburu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN