"Tapi, Tua–"
Panggilan telepon terputus saat hanna hendak menolak lagi meskipun sudah diancam akan dipecat. Perempuan itu tetap ingin menolak karena dia merasa tidak ada yang aneh dengan pakaian yang dia kenakan.
"Ini HP-nya, Mas."
Dia mengembalikan ponsel Bagas.
"Mas Bayu bilang apa?"
"Katanya saya disuruh beli baju. Emang baju saya aneh ya?" Hanna menunduk menatap pakaian yang dia kenakan. "Enggak ada yang aneh deh sama baju saya, kan, Mas?"
Bagas memperhatikan kaus dan rok yang dipakai Hanna sambil berpikir. "Hmm ... enggak ada yang salah sih, tapi–"
Ponsel Bagas berdering lagi, panggilan dari Bayu.
"Iya, Mas?"
"Pokoknya kamu harus paksa Hanna beli baju baru, aku enggak mau tahu pokoknya harus!"
"Kok tumben, Mas?"
"Tumben apa? Kamu lihat sendiri, kan selera berpakaian Hanna kayak apa? Kampungan banget, pakai kaos gombrong, rok panjang di bawah lutut, belum bajunya lusuh begitu, sepet mata mas ngeliatnya."
"Ooh." Bayu menganggukkan kepala karena sudah paham dengan maksud dari kakaknya itu. "Aku kira karena hal lain."
"Hal lain apa? Jangan mikir aneh-aneh deh."
"Aku kira Mas perhatian sama dia, eh, tapi emang bener sih perhatian sama ...."
"Perhatian apa? Ya sudah aku sibuk, pokoknya kamu urus dulu baju Hanna, nanti malam mas telepon lagi. Titip salam buat Anin."
"Ok."
Bagas menyimpan kembali ponsel di sakunya. Dia mendekati Anindya sebelum membayar semua belanjaan di toko aksesoris.
"Habis ini kita ke toko baju dulu, om mau beliin kak Hanna baju baru. Enggak apa-apa kan?" Bagas berbisik di telinga Anindya agar gadis kecil itu tidak protes karena tujuan mereka selanjutnya berubah.
"Ok, Om."
Bagas menuju kasir sedangkan Anindya dan Hanna menunggu di dekat kasir. Selesai membayar Bagas berjalan lebih dulu, dua perempuan itu mengikutinya dari belakang ke toko pakaian yang telah Bagas tentukan.
Ketiganya masuk toko. Bagas meminta Hanna untuk memilih pakaian yang dia sukai. Namun, Hanna tetap menolak, alasan pertama karena dia merasa tidak enak dan alasan kedua karena dia merasa tidak ada yang aneh dengan pakaiannya.
"Aku ada satu pertanyaan untuk kamu, tolong jawab dengan jujur."
Perasaan Hanna mendadak tidak enak. Dia menelan ludah.
"Mas Bagas mau tanya apa?"
"Apa yang dikatakan Bayu sebelum dia menutup telepon?"
Hanna berpikir dua kali untuk menjawab pertanyaan itu. Haruskah dia menjawab pertanyaan itu atau diam tidak menjawab. Tiba-tiba dia merasa bimbang.
"Tolong banget dijawab, Hanna, Mas Bayu bilang apa? Atau aku telepon dia sekarang?"
Hanna terpaksa menjawab. "Kalau aku enggak mau beli baju, tuan Bayu mau mecat aku." Dia menjawab dengan suara pelan tetapi Bagas tetap bisa mendengar suaranya dan kepalanya menunduk.
"Berarti kamu enggak bisa menolak, harus mau beli baju baru. Sekarang pilih aja kamu mau yang gimana. Aku sama Anin akan nunggu di sini. Ambil berapa aja yang kamu mau."
Hanna hanya bisa menghela napas. Memandang sekeliling mencari kaus yang sama dengan yang biasa dia kenakan. Berjalan dengan langkah gontai mencari kaus dan roknya.
Perempuan itu memilih dengan cepat, tidak membandingkan satu model pakaian dengan model lainnya. Dia hanya asal ambil agar urusan membeli pakaian cepat selesai.
"Ini, Mas."
Hanna memberikan pakaian itu pada Bagas agar cepat dibayar dan pindah ke tempat lain untuk menyenangkan Anindya.
"Cuma satu?"
Hanna mengangguk.
Bagas menarik lengan Hanna, membawanya menghampiri karyawan toko.
"Mbak, tolong cariin baju yang mirip dengan yang dipakai mbak ini, carikan beberapa potong lagi, sekitar lima atau enak gitu deh, terus langsung hitung sekalian dengan yang ini."
Bagas memberikan pakaian yang tadi diberikan Hanna padanya.
Mata Hanna langsung membulat mendengar ucapan Bagas. Dia ingin melarang tetapi kali ini dia mendapat tatapan tajam dari pria itu. Membuatnya takut. Hanna terdiam dan memperhatikan karyawan toko mencarikan pakaian untuknya.
Setengah jam karyawan toko itu mencarikan pakaian untuk Hanna, semua dikumpulkan di meja kasir untuk dihitung. Bagas membayar semuanya dan membawa kantong belanjaan yang berisi pakaian Hanna.
"Mas, biar saya aja yang bawa kantong itu, ya?"
Pria itu menatap kantong yang dia pegang. Bagas tidak keberatan membawa kantong itu sedangkan Hanna merasa tidak enak. Seperti ngelunjak pada majikan.
"Biar saya yang bawa. Kita makan dulu baru main, ok Anin?" Pria itu mengembangkan senyuman lebar.
"Jangan, Mas. Biar saya yang bawa, saya kan di sini cuma nemenin non Anin dan Mas Bagas."
"Hmm ...." Bagas terlihat seperti berpikir padahal tidak. "Biar saya aja yang bawa. Anggap aja ini perintah Mas Bayu yang enggak bisa ditolak, ok?"
Ketiganya berjalan menuju restoran yang ada di mall itu. Anindya yang memilih restoran tempat makan siang kali ini. Hanna dan Bagas gantian mengikuti langkahnya di belakangnya.
"Emang tuan Bayu selalu begitu, ya?"
"Begitu gimana?"
"Permintaannya enggak boleh ditolak?"
"Enggak selalu. Sebenarnya dia itu orangnya baik, tapi sikapnya aja yang keliatan begitu."
"Tapi, Mas, tuan Bayu itu suka marah-marah dan selalu mengancam. Emang dari dulu begitu?"
"Kalau Mas Bayu suka marah-marah, jangan dimasukkan dalam hati. Ya anggap gini aja, masuk telinga kiri terus keluar dari telinga kanan. Pokoknya jangan didengerin deh."
Hanna belum terbiasa berhadapan dengan pria arogan seperti Bayu. Sehingga dia sering merasa takut setiap bertemu dengan pria itu.
"Ada yang menyebabkan dia berubah seperti itu. Tapi, maaf saya enggak bisa cerita sama kamu. Masalah pribadi."
Hanna menjadi tertarik dengan penyebab Bayu menjadi arogan tetapi Bagas sudah menegaskan tidak akan memberitahunya.
Ketiganya masuk sebuah restoran. Duduk di meja yang sama. Bagas tidak membedakan posisi Hanna di sana. Mengajaknya duduk di meja yang sama.
Bagas dan Anindya memesan makanan untuk makan siang, sekaligus memilih menu untuk Hanna setelah bertanya pada orangnya langsung.
Cukup menunggu lima belas menit, semua pesanan mereka sudah tersaji di meja. Anindya makan dengan lahap. Dia bermasalah dengan selera makan. Gadis kecil itu selalu malas untuk makan. Namun, kali ini dia melihat selera makan Hanna, dia pun ikut berselera untuk makan.
Setelah makan, mereka duduk sebentar. Beberapa menit kemudian, keringat mengucur di wajah Anindya. Hanna menjadi panik. Bagas pun menoleh melihat wajah Anindya yang sudah dibasahi keringat. Dengan sigap Hanna mengelap keringat di wajah majikan kecilnya itu.
"Non Anin kenapa?"
"Sa–sakit pe–rut. Sakit banget."
Gadis kecil itu meringis dan menangis. Bagas segera menggendongnya menuju parkiran mobil.
***
Anindya sudah berada di rumah sakit. Di ruangan gawat darurat. Dokter sudah memeriksa kondisinya. Sakit perut yang dia alami disebabkan karena terlalu banyak makan. Biasanya dia hanya makan sedikit, sehingga perutnya belum terbiasa.
Bagas dan Hanna sudah bisa bernapas lega setelah mendapat penjelasan dari dokter. Selama perjalanan ke rumah sakit mereka berdua panik, khawatir terjadi sesuatu pada Anindya.
Pada saat itu juga Bayu menelepon ke ponsel Bagas. Pria itu keluar dari ruangan sebelum menjawab telepon.
"Iya, Mas, ada apa?"
"Cuma mau tanya, Anin udah makan siang atau belum?"
Begitu perhatiannya Bayu pada anaknya yang selalu bertanya pada setiap jam makan karena dia tahu anaknya memang susah makan. Dia sendiri juga tidak tahu apa penyebabnya.
"Sudah, Mas. Tadi Anin makan banyak banget. Sampai akhirnya dia kekenyangan."
"Apa iya? Terus sekarang kalian di mana?"
"Rumah sakit. Tadi Anin ngeluh sakit perut, jadi langsung aku bawa ke rumah sakit."
"Apa? Terus gimana kondisinya Anin? Kamu ke rumah sakit sama siapa? Hanna mana? Dia jagain Anin, kan?"