Bagas mengingat kejadian masa lalu, saat sebelum kakaknya bercerai dan setelah bercerai. Memang ada sikapnya yang berubah.
"Kayaknya sih begitu. Sejak bercerai dengan mantan istrinya memang Mas Bayu berubah. Tapi makin ke sini keliatan makin parah. Selalu bermasalah dengan asisten rumah tangga dan pengasuh Anindya. Makin ke sini standarnya semakin tinggi. Entah dia sadar atau tidak tapi aku selalu mengingatkannya."
"Terus ada perubahan enggak, Mas?"
"Kayaknya sih enggak, yang ada semakin mudah marah. Kesabarannya tipis banget."
"Oh gitu. Kalau gitu aku enggak ada kesempatan buat balik kerja di rumah itu lagi."
Perempuan itu ternyata masih berharap bisa kembali bekerja di rumah Bayu. Dia sudah jatuh cinta pada gadis kecil yang selalu membuatnya repot sekaligus tersenyum.
"Nanti aku mau ke kantor Mas Bayu, saya akan cari tahu apa yang terjadi dengan Anin setelah kamu pergi. Kalau misalnya Anin biasa saja, artinya kamu sudah enggak ada kesempatan lagi buat balik ke rumah itu, tapi kalau dia kangen dan nyariin kamu, masih ada kesempatan buat kembali ke sana."
"Wah, beneran, Mas? Aku seneng banget, makasih ya Mas sudah mau nyari info soal non Anin."
Karena terbawa perasaan senang tanpa Hanna sadari dia memegang kedua tangan Bagas. Menggenggam erat. Bagas melirik tangannya yang dipegang oleh Hanna. Hatinya menghangat karena itu. Sebuah senyuman terbit di bibirnya.
Ketika menyadari bahwa dia telah memegang tangan Bagas, Hanna langsung menarik tangannya. Dia menunduk. "Maaf ya, Mas. Aku kebawa perasaan senang." Hanna menjadi salah tingkah.
Melihat Hanna yang salah tingkah senyuman Bagas semakin lebar.
"Saya mau siap-siap ke kantor dulu. Nanti makan siang kamu saya pesankan di ojek online, karena enggak ada bahan makanan di rumah ini, makan malam kita cari ke luar atau nanti aku bawa dari luar. Harap maklum aja masih tinggal sendiri, jadi lebih suka yang praktis aja, makan di luar." Bagas tertawa lebar.
Hanna memberikan senyuman. "Iya, Mas enggak apa-apa. Saya yang makasih banget karena udah merepotkan Mas sampai harus mikirin makan segala."
"Enggak apa-apa. Kamu pasti enggak punya uang, kan?"
"Ada sih, tapi enggak banyak, terus belum tahu di sini ada tukang jualan apa aja. Nanti aku coba keliling perumahan ini deh."
***
Bagas tiba di kantor Bayu sebelum makan siang. Dia langsung mendatangi ruangan kerja Bayu karena sudah penasaran dengan apa yang terjadi pada Anindya.
"Kamu ada meeting dekat sini?" tanya Bayu pada adiknya saat pria itu masuk ke ruangannya.
"Mas tahu aja, saking udah biasa begitu, ya?"
"Heem."
"Apa kabar Anin, Mas?"
"Anin? Tadi hari ini dia mogok sekolah," jawab Bayu sambil memeriksa berkas di meja.
Bagas mendekat, duduk di kursi di hadapan Bayu karena sudah sangat penasaran.
"Hah? Enggak biasanya Anin mogok sekolah kayak gitu. Kenapa?"
Bayu menghela napas. "Semua karena Hanna. Dia marah saat mas bilang Hanna dipecat. Ternyata anak itu bisa juga keras kepala, ya? Dia minta Hanna kerja lagi jadi pengasuhnya. Biasa anak itu selalu bersikap manis. Tapi hari ini enggak."
"Terus Mas mau gimana?" Bagas sangat menantikan jawaban ini.
"Biarkan saja, nanti juga dia lupa sendiri. Namanya anak kecil, apa yang dia sudah suka sama seseorang pasti dia mau terus bareng orang itu, kan? Nanti Mas carikan dia pengasuh yang baru." Bayu bicara dengan santai. Tidak terbawa emosi sama sekali.
"Apa enggak sebaiknya Mas panggil Hanna kembali kerja sebagai pengasuh Anin?" Bagas mencoba memberikan saran.
"Enggak. Mas enggak mau Hanna kerja di rumah lagi. Mas takut Hanna bawa pengaruh buruk pada Anin. Lagi pula perempuan itu kerjanya enggak becus tiap hari selalu membuat masalah aja. Gara-gara dia Anin sering sakit, sakit perut, demam, terakhir mecahin guci kesayangan almarhum mama."
Teringat guci kesayangan almarhum mamanya, Bayu menjadi kesal lagi dan nada bicaranya mulai meninggi.
Bagas mencoba meyakinkan Bayu lagi. "Seingatku ini pertama kalinya Anin suka dengan pengasuhnya, sebelum ini mana pernah dia begitu."
"Karena Hanna selalu menuruti kemauan Anin. Apa-apa dituruti. Masa anak itu minta es krim dia beliin sampai lima, Anin kan enggak bisa makan es krim banyak-banyak." Bayu terus mengungkit kesalahan Hanna.
"Misalnya Anin sampai kenapa-kenapa karena kangen Hanna, Mas mau ngapain?"
"Mas tidak akan pernah memanggil Hanna lagi untuk kerja di rumah apa pun yang terjadi. Dan kamu jangan pernah lagi membujuk mas untuk meminta Hanna kembali kerja di rumah!" Amarah Bayu memuncak.
***
Pulang kerja setelah magrib, wajah Bagas terlihat lesu dan lelah. Dia pulang membawa nasi goreng yang dia beli di depan perumahan. Melihat Bagas yang terlihat lesu, Hanna menarik tangan pria itu setelah menyimpan nasi goreng di meja makan. Mengajaknya duduk di sofa di ruang tengah.
Hanna meminta Bagas duduk menyamping. Dia pun begitu. Perempuan itu mulai memijat bahu pria itu perlahan.
"Kamu ngapain?" Bagas terlihat canggung diperlakukan seperti itu oleh Hanna.
"Lagi pijat bahu Mas Bagas. Soalnya Mas keliatan capek banget. Aku di rumah suka begini ke bapak. Bapak kan tiap hari kerja di sawah, tiap malam aku pijat bahu bapak kayak aku memijat bahu Mas gini."
Bagas tertegun mendengar cerita Hanna. Pasti perempuan itu merindukan orang tuanya, pikir Bagas.
"Kamu enggak kangen rumah sama orang tua di kampung?"
"Kangen sih Mas. Waktu aku baru kerja di rumah tuan Bayu mereka telepon sekali. Sampai sekarang belum telepon lagi. Yah mereka enggak punya HP di kampung."
Hanna menahan air matanya agar tidak sampai menetes. Dia malu jika ketahuan Bagas sedang menangis.
"Emang orang tua kamu sesusah itu?"
"Sejak utang bapak menumpuk, banyak barang yang dijual termasuk HP. Saya sebenarnya enggak dapet izin ke kota buat cari kerja tapi karena saya terus maksa akhirnya bapak setuju."
Teringat pada orang tuanya, Hanna tidak kuasa menahan air matanya. Luruh sudah air mata itu membasahi pipinya. Tidak ingin membuat Hanna bersedih. Bagas mengalihkan pembicaraan.
"Tadi siang aku ketemu mas Bayu. Katanya Anin mogok sekolah. Anin pengen kamu jadi balik kerja di sana. Nanti saya bantu bujuk Mas Bayu supaya kamu bisa kerja di sana lagi."
Bagas sengaja tidak memberi tahu Hanna tentang penolakan Bayu karena tidak mau membuat perempuan itu semakin bersedih.
"Duh, jadi tambah kangen sama non Anin. Makasih banyak Mas Bagas udah mau banyak bantu." Hanna bisa tersenyum kembali setelah mendapat angin segar dari Bagas.
***
Sudah tiga hari Anindya berdiam diri di kamar. Dia tidak mau sekolah, tidak mau makan dan minum. Wajahnya terlihat pucat pasi. Santi sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatan Anindya.
Pagi itu setelah mandi, Anindya jatuh pingsan. Santi panik, segera berlari ke kamar Bayu. Dia mengetuk pintu kamar itu dengan keras hingga sang pemilik kamar keluar dari sana.
"Ada apa?"
"Non Anin pingsan, Tuan."
Bayu ikut panik segera berlari ke kamar anak kesayangannya.