Hanna merapikan rambut, bergegas ke dapur untuk menemui Santi. Temannya itu heran melihat perempuan itu masih ada di rumah dengan wajah cemas.
"Loh kok kamu masih ada di sini? Aku kira tadi abis aku bangunin kamu langsung pergi ke jemput non Anin."
Hanna tertunduk. Dia merasa sangat bersalah karena ketiduran setelah makan siang. Namun, memang matanya sulit untuk dibuka saat itu.
"Maaf, Mbak. Tadi aku ngantuk banget, semalam enggak bisa tidur." Hanna membuat pembelaan.
"Ya sudah, cepet ke sekolah jemput non Anin. Mudah-mudahan dia ada teman menunggu dijemput di sekolah."
Hanna mengangguk, segera mencari supir untuk menjemput Anindya di sekolah.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, Hanna banyak bisa berdoa agar Anindya sabar menunggu sampai dia tiba di sekolah. Perasaan Hanna campur aduk, cemas memikirkan Anindya dan khawatir gadis kecil itu merajuk karena terlambat dijemput. Namun, ada yang lebih membuat dia takut, jika saja Bayu sampai tahu dia terlambat menjemput anaknya, pria itu pasti akan marah besar. Dia singkirkan pikiran tentang amarah majikannya itu karena sebentar lagi mobil yang dia tumpangi akan tiba di sekolah Anindya.
Tak lama kemudian mobil itu tiba di depan sekolah Anindya. Hanna bergegas turun, masuk ke sekolah untuk menjemput gadis kecil itu. Perempuan itu mencari keberadaan majikan kecilnya di sekolah itu. Namun, sejauh mata memandang dia tidak melihat sosok gadis kecil itu.
Hanna mencari ruangan guru. Dia masuk dan mencari wali kelas Anindya. Guru lain menunjukkan meja wali kelas gadis kecil itu yang bernama Lita. Perempuan itu menghampiri meja wali kelas Anindya.
"Selamat Siang, ibu wali kelasnya Anindya Raharja, ya?" tanya Hanna pada seorang guru yang tengah memeriksa tugas murid.
Wali kelas Anindya mengangkat kepala. Memperhatikan sosok perempuan di hadapannya. Dia tidak mengenalinya.
"Iya, saya wali kelas Anindya. Maaf, kalau boleh tahu anda siapa dan ada perlu apa, ya?"
"Sa–saya Hanna, pengasuh non Anindya yang baru. Saya mau menjemput non Anin, tadi sudah mencari di tempat menunggu, tetapi non Anin tidak ada. Apa Ibu ngeliat non Anin?"
Lita berpikir sejenak. Yang dia tahu tadi Anindya sudah keluar dari kelas dan menunggu dijemput. "Beneran enggak ada di tempat menunggu? Hmm ... kalau gitu ikut saya siapa tahu dia balik ke kelas karena ini sudah lewat setengah jam dari waktu penjemputan."
Perempuan itu mengajak Hanna menuju kelas tempat dia mengajar untuk mencari Anindya. Gadis itu mengikuti langkah wali kelas majikan kecilnya di belakang. Matanya terus mencari sosok gadis kecil itu.
"Kelas sudah kosong. Enggak ada Anindya di sini. Ikut saya berkeliling." Lita membuka pintu kelas, melihat sebentar lalu menutup pintu itu kembali.
Dia berjalan bersebelahan dengan Hanna, mengelilingi sekolah bersama. Lebih dari setengah jam mereka sudah berkeliling ke kelas-kelas lain hingga ke kantin tetapi tidak menemukan keberadaan Anindya. Rasa cemas Hanna semakin bertambah begitu pula dengan perasaan bersalahnya.
Lita mengajak Hanna kembali ke ruang guru, mengajaknya duduk di mejanya.
"Mbak Hanna boleh pulang dulu saja. Biar saja telepon teman-temannya Anindya, barang kali dia pulang bareng temennya. Nanti saya kabari kalau sudah ada informasi di mana Anindya, ok?" Lita juga sebenarnya merasa cemas tetapi dia tetap berusaha berpikir jernih agar bisa mencari Anindya dan berusaha menenangkan Hanna yang terlihat sangat cemas dan khawatir.
Perempuan itu menggeleng. Dia tidak ingin dikatakan tidak bertanggung jawab karena pulang sendirian.
Lita merah tangan Hanna yang ada di meja. Tangan itu terlihat tidak bisa diam mewakili perasaan pemiliknya.
"Mbak Hanna tenang aja, saya akan berusaha mencari Anindya dengan bertanya pada teman-temannya. Saya janji akan memberikan kabar secepatnya. Jadi, jangan khawatir lagi, ok?"
Perempuan itu masih enggan untuk pulang seperti perintah wali kelas Anindya. "Tapi, Bu ...."
"Enggak apa-apa. Lebih baik Mbak Hanna tunggu di rumah. Siapa tahu nanti Anindya juga sudah tiba di rumah pas Mbak sampai di sana." Lita terus berusaha menangkan Hanna.
"Baiklah. Kalau gitu saya pulang dulu. Ibu kabari saya kalau ada info dari teman non Anin, ya. Terima kasih sebelumnya untuk bantuannya. Selamat siang."
Hanna bangkit meninggal ruang guru masih dengan perasaan yang sama. Namun, kali ini dia percaya wali kelas Anindya akan membantunya.
Baru saja tiba di mobil, ponsel Hanna berdering. Ada panggilan dari Bayu. "Aduh, mati aku, harus ngomong apa sama tuan Bayu," gumam Hanna.
"Iya, Tuan, ada apa, ya?" Perempuan itu berbicara seolah tidak terjadi apa-apa saat itu.
"Anin sudah pulang? Kamu jemput dia tepat waktu sesuai perintah saya tadi, kan?"
Mendengar pertanyaan majikannya, Hanna memutar otak untuk berpikir apa yang akan dia katakan pada majikannya.
"Iya, Tuan." Perempuan itu memutuskan untuk berbohong dan menjawab seperlunya.
Namun, supir tiba-tiba bertanya pada Hanna keberadaan Anindya yang tidak bersama Hanna dan tujuan selanjutnya.
"Pak Beni bilang apa tadi? Anindya enggak bareng sama kamu? Terus sekarang kamu di mana? Di mana anak saya, cepat jawab Hanna!" Suara Bayu terdengar seperti membentak.
Lidah Hanna mendadak kelu untuk menjawab pertanyaan majikannya. Dia berusaha untuk bicara jujur walaupun terbata-bata.
"Ma–maaf, Tu–tuan, ta–tadi saya telat jemput non Anin. Jam setengah tiga saya sampai di sekolah non Anin udah enggak ada. Saya cari bareng wali kelasnya enggak ketemu. Wali kelasnya bilang mau telepon temen non Anin buat nyariin."
"Dasar perempuan bodoh!" terdengar makian Bayu pada Hanna. "Percuma saya nitipin anak saya sama kamu. Saya sudah bilang sama kamu, jangan terlambat jemput anak saya, sekarang anak saya malah enggak tahu ada di mana. Saya enggak mau tahu pokoknya kamu harus cari Anin sampai ketemu atau kamu saya pecat, paham!"
"Iya, Tu–tuan."
"Kamu harus bertanggung jawab kalau anak saya sampai hilang!"
Panggilan itu diputus oleh Bayu. d**a perempuan itu terasa sesak, dia juga merasa sulit bernapas setelah mendengar ucapan dari Bayu. Air mata yang dari tadi dia tahan sekarang mengalir dengan deras.
Perempuan itu menangis dengan keras hingga sesenggukan. Di hari pertamanya bekerja dia sudah membuat masalah hingga kehilangan majikan kecilnya. Lama Hanna menangis hingga rasa sesak di dadanya berkurang dan dia putuskan untuk pulang ke rumah menunggu kabar dari Lita, mengabaikan perintah dari Bayu.
***
Hanna sudah berada di rumah, duduk di teras bersama Santi. Pintu rumah terbuka, apabila ada telepon dari Lita, pembantu rumah itu akan berlari masuk untuk menerima telepon itu.
Seseorang membuka pintu pagar dan masuk. Dia sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah itu.
"Mas Bagas?" teriak Santi melihat sosok pria yang masuk. Perasaan cemasnya berkurang seketika.
Hanna memandang pria yang baru saja masuk itu dengan bingung. Dia memang belum mengenalnya. Namun, yang dia lihat wajah pria itu mirip dengan majikannya.
Pria itu berjalan mendekati Hanna. Dia sudah bisa menebak jika perempuan dengan wajah penuh perasaan cemas itu adalah pengasuh Anindya yang baru.
"Kamu Hanna kan?"
Hanna mengangguk tetapi keningnya berkerut. "Siapa, ya?"
"Oh iya, saya adik mas Bayu. Nama saya Bagas. Tadi mas Bayu telepon katanya tadi kamu telat jemput Anin, terus pas kamu datang dia udah enggak ada lagi di sekolah. Bisa tolong cerita kan sama saya gimana kejadiannya?"
Santi masuk rumah untuk membuatkan minum untuk Bagas. Bagas duduk di kursi tempat Santi duduk tadi. Hanna menceritakan semuanya pada Bagas. Entah kenapa lidahnya dengan lancar bercerita pada pria itu. Apa karena Bagas tidak terlihat mengerikan seperti Bayu atau Hanna merasa tenang dan nyaman saat bercerita pada Bagas. Perasaan cemas Hanna sedikit berkurang setelah bercerita pada Bagas.
"Jadi, begitu ceritanya. Benar kata wali kelas Anin, sekarang kamu tenang dulu. Kita tunggu dulu kabar dari sekolah Anin. Kalau sampai jam lima belum ada kabar juga, nanti baru kita cari. Saya akan bantu kamu mencari Anin, ok."
Perasaan sesak yang dirasakan Hanna hilang seketika mendengar ucapan pria itu begitu juga dengan perasaan cemasnya. Dia merasa mendapat angin segar dari pria itu.
"Baik, Tuan Bagas."
"Kalau cari di jalanan sekarang tanpa tujuan itu bukan solusi terbaik, lapor polisi juga belum bisa. Sementara ini kita tunggu dulu."
Perempuan itu mengangguk. Dia tidak menyadari jika senyuman kecil terbit di bibirnya.
Santi datang membawa jus jeruk dingin dan makanan kecil untuk Bagas. Dia meletakkan semuanya di meja.
"Silakan diminum, Tuan. Tapi, apa boleh kita cuma duduk diam di sini?" tanya Hanna karena tetap ada perasaan khawatir dalam dirinya.
"Kita tunggu saja satu jam lagi. Kalau enggak ada kabar dari sekolah, kita–" Bagas belum menyelesaikan ucapannya karena mendengar suara pagar terbuka dan suara memanggil namanya.
"Om Bagas!"
Mata ketiganya membulat menatap sosok yang baru saja masuk halaman rumah itu.