Bab 5. Bekerjalah dengan Baik

1179 Kata
Gadis kecil itu masuk ke halaman rumah bersama seorang temannya dan perempuan dewasa yang merupakan ibu dari temannya Anindya. "Akhirnya non Anin pulang, terima kasih ya Tuhan, Engkau masih menjaga non Anin dan masih menyelamatkanku dari amarah tuan Bayu," batin Hanna yang merasa sangat bersyukur majikan kecilnya kembali ke rumah dengan selamat. Perempuan itu tersenyum bahagia masih bisa melihat Anindya. Anindya terus berjalan sampai teras mendekat pada Bagas–om kesayangannya. "Om mau ngajak aku main, ya?" tanya gadis kecil itu melihat Bagas datang ke rumahnya dengan senyum manisnya. Pria itu menggeleng. Ibu dari temannya Anindya tersenyum sebelum berbicara. Dia tahu keluarga Anindya pasti merasa cemas dan mencari anak itu, karenanya dia datang untuk memberikan penjelasan. "Sebelumnya saya mau minta maaf karena membawa Anin tanpa izin, sebenarnya–" ucapannya terhenti karena Bagas mengajak semua masuk ke ruang tamu. Santi dan Hanna masuk rumah lebih dulu dan langsung menuju dapur, sedangkan Bagas, Anindya, teman dan ibu temannya menuju ruang tamu dan duduk di sana. "Saya boleh tanya ya, Bu? Kalau boleh tahu, kenapa Ibu membawa Anin tanpa izin?" Bagas sangat penasaran dengan ibu dari teman Anindya, apa yang ada dalam pikiran perempuan itu membawa anak orang lain tanpa izin. "Saya kasian lihat Anin duduk menunggu dijemput, sedangkan anak lain sudah banyak yang dijemput, sekolah sudah mulai sepi. Saya putuskan untuk langsung membawa Anin tanpa izin dari wali kelas. Saya lupa pamit pada wali kelas tadi siang itu karena sebelumnya sudah pamit, tapi anak saya masih mau main sama Anin, ya saya biarkan mereka bermain, toh enggak akan lama karena Anin pasti dijemput. Sudah menunggu setengah jam Anin enggak dijemput juga, daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jadi saya bawa aja, tapi saya juga enggak tahu nomor telepon keluarganya Anin. Saya minta maaf karena lancang membawa Anin pergi tanpa izin." Hilang sudah rasa khawatir yang dirasain Bagas pada keponakannya. Dia juga berterima kasih pada ibu temannya Anin karena sudah menjaga keponakan kesayangannya itu. "Oh ya, ini jajanan saya yang belikan. Hari ini anak saya ulang tahun, jadi tadi kami pergi ke mall untuk makan kue bersama lalu beli jajanan sama-sama." Kemudian Santi dan Hanna datang membawa minuman untuk tamu dan beberapa camilan. Mereka sajikan semua di meja. Santi kembali ke dapur sedangkan Hanna duduk di sofa ruang tamu karena diperintah oleh Bagas untuk tetap berada di sana. "Untuk ke depannya kalau Ibu mau ngajak Anin pulang bareng, Ibu bisa telepon dulu ke pengasuh Anin yang baru, ya." Pria itu menoleh pada Hanna. "Han, berikan nomor HP-mu ke Ibu ini, ya." Hanna mengangguk dia berikan nomor ponselnya pada ibu itu. "Nanti langsung telepon ke Hanna aja ya. Hanna ini baru kerja di sini, tadi dia agak telat jemput, pas datang ke sekolah Ibu sudah lebih dulu pergi kayaknya, ya?" "Sepertinya begitu. Baiklah, selanjutnya sebelum bawa Anin saya akan ngabarin Hanna lebih dulu, malah enak begitu. Sekali lagi maaf karena sudah membuat panik, cemas dan khawatir." "Enggak apa-apa kok, Bu, saya mewakili papanya Anin yang merupakan kakak saya sendiri memaafkan Ibu. Panik, cemas dan khawatir itu wajar, kan?" "Bener sekali, Mas. Kalau begitu saya pamit dulu. Daah Anin, kapan-kapan kita main lagi, ya? Saya permisi dulu ya, Mas." Ibu itu dan anaknya pulang setelah bersalaman dengan Bagas, Hanna dan Anin. Pria itu meminta keponakannya dan Hanna tetap duduk di ruang tamu karena dia merasa masih perlu bicara dengan dua orang itu. "Anin, kalau ada nanti teman Anin ngajak pulang bareng, jangan lupa buat bilang ke bu guru, karena tadi kak Hanna sudah jemput tapi terlambat. Lain kali jangan pergi sebelum bilang sama bu guru supaya nanti bu guru bisa bilang ke kak Hanna, ya. Jadi, papa, om dan kak Hanna enggak khawatir sama kamu, ok. Kasian, kan sama semuanya?" Pria itu mengingatkan keponakannya agar tidak asal pergi sebelum pamit. Gadis kecil itu mengangguk tetapi ada hal yang mengganjal di hatinya. "Tapi aku tetap boleh ikut kalau diajak pulang bareng, kan, Om?" "Boleh saja, asal tadi harus bilang sama bu guru, ya?" "Ok, Om." "Sekarang Anin ke kamar dulu, mandi terus pake baju yang bagus. Om mau ngajak Anin jalan-jalan sore." "Mau banget. Asyik aku mau jalan-jalan sore sama Om Bagas." Gadis kecil itu teriak kegirangan, berlari menuju kamarnya di lantai dua. Bagas hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah keponakannya itu. Kemudian pandangannya beralih pada Hanna. "Kamu harus bisa mengambil pelajaran atas kejadian hari ini karena kamu masih baru bekerja jadi masih ada toleransi, tapi untuk selanjutnya kejadian ini tidak boleh terulang lagi. Kamu harus bisa jemput tepat waktu apa pun alasannya, dan bekerjalah dengan baik. Kamu ngerti, kan?" "Iya, Tuan Bagas, saya ngerti kok. Maaf." Hanya itu yang bisa Hanna katakan. Dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mengulang kesalahan yang sama. "Nanti saya akan telepon pihak sekolah dan papanya Anin. Sekarang saya minta tolong kamu bantu Anin di kamarnya. Kamu juga ikut jalan-jalan sore sama saya dan Anin. Saya tunggu di sini. Oh ya satu lagi, jangan panggil saya tuan Bagas karena saya bukan majikan kamu. Panggil aja mas Bagas atau kakak atau abang juga boleh, terserah kamu aja deh." Pria itu merasa tidak enak dipanggil tuan, dia lebih suka dipanggil mas, agar terlihat lebih akrab. "Baik Tuan, eh, Mas. Saya ke atas dulu." Hanna bangkit menuju kamar atas. Senyuman manis mengembang di bibirnya setelah bertemu dengan pria itu. Dia merasa senang karena masih ada orang baik di keluarga itu yang memperlakukannya sebagai manusia. Bagas pun tersenyum karena bisa membantu kakaknya atas masalah yang terjadi di rumah itu. *** Malam harinya di rumah, Bayu memanggil Hanna ke ruangannya. Seperti biasa pengasuh di rumah itu harus berhadapan dengan majikan selalu bersikap dingin padanya. Perempuan itu menguatkan diri. "Lama-lama juga aku akan terbiasa dengan sikap dinginnya tuan Bayu. Kini perempuan itu duduk di kursi berhadapan dengan sang majikan. Dia menunduk karena malas menatap Bayu. "Syukurlah, Anin pulang ke rumah dengan selamat. Ternyata dia diajak pergi sama orang tua temennya. Misalnya tadi anak saya diculik terus hilang dan tidak pernah kembali, mungkin saya tidak akan segan-segan untuk memecat kamu bahkan memenjarakan kamu." Perempuan itu hanya diam dan semakin tertunduk. Kata-kata tajam yang diucapkan oleh Bayu belum terbiasa didengar oleh Hanna, tetapi masih bisa membuatnya merasa takut pada sang majikan. "Kenapa kamu diam saja? Enggak jawab iya, ok atau baik tuan. Kamu paham kan dengan apa yang saya katakan barusan?" Pria itu merasa kesal karena Hanna hanya diam. Dia merasa seperti diremehkan oleh pengasuh itu. Bayu tidak bisa menangkap tanda bahwa Hanna itu merasa takut padanya. "Pa-paham, Tuan." "Ingat baik-baik, jangan sampai kejadian hari ini terulang lagi! Saya tidak segan-segan untuk mecat kamu!" Nada bicara Bayu meninggi. "I–iya, Tuan." Hanna masih tetap menunduk. "Kenapa kakak sama adik beradik ini kalau ngomong beda jauh. Yang satu ngomong dengan lembut dan menenangkan, eh yang satu lagi ngomongnya kayak orang teriak dan bikin aku merasa takut. Ya Tuhan tolong bantu kuatkan hamba menghadapi majikan seperti tuan Bayu." "Ya sudah, balik ke kamar kamu, istirahat yang cukup karena besok kamu masih kerja di sini. Utang kamu masih belum ada yang dicicil sama sekali, jadi, bekerjalah dengan baik kalau mau semua utangmu lunas!" Bayu memperingatkan Hanna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN