Mempelai Pengganti

1002 Kata
“Salwa—kamu dipanggil Bu Nyai. Beliau menunggumu di kamar tamu dekat tangga.” Salwa yang sedang menata kue tradisional ke atas piring terlonjak kaget. Bagaimana tidak? Acara pernikahan cucu Bu Nyai sebentar lagi akan dimulai. Seharusnya beliau kini berada di tempat akad nikah, bukan malah menunggunya di kamar tamu. “Ada apa, Mbak? Kenapa tiba-tiba Bu Nyai ingin bertemu denganku?” Mbak Yanti—santriwati yang mengabdikan diri pada Bu Nyai Hanna—menghampiri Salwa yang masih duduk di atas tikar. Bukan untuk menjelaskan, melainkan langsung membantu gadis itu berdiri. Tak ada waktu untuk bicara panjang. Keadaan genting. Jika terlambat membawa Salwa, nama baik pondok pesantren bisa jadi taruhannya. Langkah kaki Salwa makin cepat ketika Mbak Yanti menggandeng tangannya. Saking tergesa-gesanya, dia sempat terseok karena salah memakai sandal. Entah sandal siapa, ukurannya besar dan warnanya hitam pekat. “Assalamualaikum, Bu Nyai. Saya sudah membawa Salwa,” ucap Mbak Yanti dengan suara lirih. “Waalaikumsalam. Bawa Salwa masuk, Yan,” jawab suara lembut Bu Nyai Hanna. Suara itu membuat Salwa makin gugup. Apalagi di dalam ruangan, ada dua orang yang menatapnya tajam. Salwa tak berani mengangkat kepala. Kedua tangannya bertaut erat, dan keringat dingin membasahi kening. Firasatnya buruk. Tapi entah apa. “Salwa tidak mau duduk?” tanya Bu Nyai Hanna dengan suara tetap lembut. Tatapannya hangat dan teduh. “Sini, duduk di sebelah Eyang Uti,” lanjutnya, menepuk sofa kosong di sampingnya. Salwa adalah santri sekaligus cucu keponakan dari Bu Nyai Hanna, pengasuh pondok pesantren Al-Falah. Kedekatan mereka bukan tanpa alasan. Ayah Salwa dulu adalah ustadz di pondok, sering menggantikan Pak Yai Muhammad Syamsudin Dlucha saat berhalangan mengisi pengajian. Kini, ayah Salwa tak lagi aktif karena stroke pasca kematian istrinya. Rumah mereka tepat di samping pondok, hanya dibatasi tembok tinggi. Sehari-hari, Salwa merawat sang ayah dan mengurus kebun sayur. Sore hingga malam, waktunya dihabiskan untuk mengaji. “Salwa, bolehkah Eyang Uti meminta sesuatu?” Tangan Salwa digenggam erat. Hangat. Seolah memberi rasa nyaman dan aman yang segera mengusir gugup. Sejak kepergian Uminya, Salwa sering meminta nasihat pada Bu Nyai. Baginya, perempuan tua itu adalah pelita dalam gelap. “Tentu saja, Eyang. Katakan saja. InsyaAllah, Salwa akan berikan jika mampu.” “Menikahlah dengan Gus Zeehan. Jadilah cucu menantu Eyang Uti dan Eyang Akung. Bisa, Nak?” Deg. Dunia Salwa serasa berhenti. Jantungnya nyaris lupa berdetak. Pernikahan? Itu satu hal yang belum pernah masuk dalam prioritasnya. Umurnya memang sudah cukup. Tapi siapa yang akan merawat Abinya? Bagaimana dengan hafalan Qur’annya? Siapa yang akan mengurus kebun? Lagi pula, dia tak begitu mengenal Gus Zeehan. Cucu Bu Nyai itu tinggal di luar negeri. Hanya pulang setahun sekali saat Idul Fitri. “Eyang, Salwa tidak begitu mengenal Gus Zeehan. Mana mungkin kami menikah? Lalu, bagaimana dengan Abi?” “Soal perkenalan, bisa dilakukan setelah kalian menjadi suami istri. Justru lebih baik begitu, karena batas-batas yang perlu dijaga sudah tidak ada. Dan soal Abi, insyaAllah beliau merestui.” “Abi sudah tahu tentang ini?” “Iya. Sekarang beliau sudah berada di tempat akad nikah.” Salwa bingung. Mengapa dia? Begitu banyak perempuan yang siap dinikahi Gus Zeehan. Tapi kenapa harus dia yang dipilih? *** Suara berat Pak Yai Muhammad Syamsudin Dlucha menggema lewat pengeras suara. Tanda akad nikah segera dimulai. Salwa, mempelai pengganti, sudah siap. Kebaya putih milik Uminya tampak pas di tubuh mungilnya. Make up tipis sesuai permintaannya: natural. Meski begitu, dia tetap tampak sangat cantik. “Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur, wa rodhitu bihi waAllahu waliyut taufiq.” Dengan satu tarikan napas, Gus Zeehan resmi menjadi suami Salwa. Para tamu wanita langsung serempak mendoakan: “Barakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fii khair.” Tangis haru memenuhi ruangan. Ketegangan yang sempat muncul karena mempelai perempuan kabur, perlahan sirna. Semua tersenyum. Kecuali Salwa. Dia masih diam di tempat duduk. Ekspresi wajahnya datar. Hanya tersenyum kecil saat menerima ucapan selamat. Dia tak tahu apa yang harus dirasa. Menikah di usia 19 tahun bukan sesuatu yang pernah dia bayangkan. Apalagi, mengurus Abi selalu jadi prioritas utama. “Salwa harus menemui Gus Zeehan,” bisik Bu Nyai. “Di mana, Eyang?” tanya Salwa polos, membuat beberapa orang menahan tawa. Bu Nyai menggandeng Salwa menuju tempat akad. Di sana, Gus Zeehan menanti. Tatapan pria itu sulit diartikan. Tidak ada senyum. Sama seperti Salwa. Gus Zeehan mengulurkan tangan. Lalu melangkah maju, menarik Salwa ke dalam pelukannya saat uluran itu tak disambut. Tubuh Salwa menegang. Tak siap. Namun, dia merasakan kehangatan dalam dekapan suaminya. “Terima kasih. Berkat kamu, harga diriku dan nama baik pondok tidak hancur,” bisik Gus Zeehan. Setetes air mata jatuh dari sudut mata Salwa. Kata pertama dari suaminya terasa menyakitkan. Ucapannya hanya sebatas "terima kasih." Salwa telah mengorbankan masa depan dan ketenangannya demi menyelamatkan nama baik seorang pria yang bahkan tak benar-benar menyambutnya. Harapan tentang kehidupan baru runtuh seketika. Begitu juga hatinya. Cahaya di matanya meredup, berganti sendu ketika tak sengaja bertatapan dengan Abi Hasan. Setelah akad, Salwa meminta waktu untuk bicara dengan Abi. Bu Nyai memberinya waktu sepuluh menit, sebelum berganti baju untuk resepsi. “Maafkan Abi, Nak, telah mengambil keputusan tanpa bertanya dulu padamu.” “Kenapa harus minta maaf, Bi?” “Salwa tidak terlihat bahagia setelah ijab kabul. Seharusnya Abi bertanya dulu.” Salwa menggeleng, melihat air mata jatuh dari pipi Abi Hasan. “Pernikahan ini sangat mendadak, Abi. Mungkin karena itu Salwa masih bingung mengekspresikan perasaan. Lagipula, Abi tahu sendiri, Salwa tak terbiasa berada di keramaian.” “Benar begitu? Bukan karena Salwa tidak bahagia?” Salwa tersenyum tipis, memeluk ayahnya yang duduk di kursi roda. “InsyaAllah, Salwa akan menerima pernikahan ini dengan ikhlas. Mulai sekarang, Abi tak perlu khawatir putrinya jadi perawan tua.” Abi Hasan mengusap kepala Salwa dengan tangan gemetar. “Semoga pernikahanmu dan Gus Zeehan selalu diberkahi Gusti Allah. Mulai sekarang, fokuslah mengurus suamimu.” Di balik pintu kamar tamu, seorang pria berdiri diam. Mendengarkan percakapan itu sejak tadi. Bukan untuk menguping. Dia hanya menjalankan perintah Bu Nyai: menjemput Salwa dan membawanya ke kamar pengantin untuk berganti pakaian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN