Sepanjang acara resepsi pernikahan berlangsung, sikap Gus Zeehan sangatlah manis dan penuh dengan perhatian. Tutur katanya pun lembut bak suami idaman yang dielu-elukan oleh setiap wanita.
Para tamu undangan datang silih berganti. Semakin malam bukannya semakin berkurang justru bertambah banyak.
Salwa terus menyunggingkan senyuman lebar tatkala ada tamu yang mengucapkan selamat dan mengajaknya berfoto. Berbanding terbalik dengan Gus Zeehan yang memasang wajah datar jika ada tamu wanita mengajaknya melakukan selfie.
Hingga pukul 10 malam tamu belum juga berkurang. Gus Zeehan meminta izin pada Umi Hanna untuk kembali ke kamar. Salwa dijadikan alasan agar mendapatkan izin.
“Peluk lengan ku jika kamu kesulitan berjalan,” ujar Gus Zeehan dengan nada datar begitu pun dengan wajahnya.
Salwa menggelengkan kepala tanpa berani menatap suaminya. Memilih terseok-seok saat menuju kamar ketimbang memeluk patung.
Lagipula tawaran itu hanya berlaku saat ada banyak orang. Salwa lelah jika harus terus-terusan bersandiwara. Selama dia hidup tak pernah sekalipun memasang wajah palsu dan pura-pura bahagia di depan keluarga dan teman-temannya.
Mendapat penolakan dari sang istri membuat Gus Zeehan mendengkus kesal. Dia tidak menyangka jika Salwa berani mengabaikannya.
“Kamu mau kemana, Salwa?” suara bariton nan tegas itu menghentikan langkah gadis itu.
Salwa telah membuat kesalahan lagi. Bukannya belok ke arah kamar Gus Zeehan berada malah menuju ke arah kamar tamu.
Dia bingung— hubungannya dengan cucu pemilik pondok memang sudah sah sebagai suami dan istri. Namun, mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Hanya sebatas tahu nama masing-masing.
“Jangan membuat Eyang Umi dan Eyang Abah curiga dengan kita,” bisik Gus Zeehan tepat disebelah telinga Salwa.
Bulu kuduk gadis itu berdiri, merinding mendengar bisikan dari suaminya, jantungnya apalagi— berdebar kencang saat hembusan nafas pria itu menerpa wajahnya.
Bak manusia patung, Salwa berjalan sambil digandeng oleh Gus Zeehan, otaknya mendadak kosong sampai tak bisa berpikir jernih.
Beberapa saat kemudian keduanya sampai di depan kamar yang tak sembarang orang bisa masuk. Kamar yang konon katanya milik putra mahkota kesayangan Kyai Syam
Pintu terbuka setelah Gus Zeehan menempelkan jempolnya. “Pasword-nya ulang tahun mendiang Umi,” ujarnya sembari berlalu begitu saja meninggalkan Salwa yang masih mematung ditempat.
Salwa mana tahu tanggal lahir Umi Fatiha?
Dia saja hanya beberapa kali bertemu. Itupun saat masih kecil. Ketika duduk di bangku SD.
Setelah Umi Fatiha menikah, beliau diajak tinggal di Singapura oleh Abi Zeehan. Karena itulah Gus Zeehan hingga kini tinggal disana.
“Gus—” panggil Salwa dengan suara bergetar.
“Hm,” gumam Gus Zeehan tanpa menoleh ke arah sang istri.
“Pakaianku ada di kamar tamu,” ujar Salwa dengan suara tercekat. Takut membuat pria yang kini sibuk dengan ponselnya marah.
Tak ada jawaban, Salwa tetap berdiri di tempatnya dengan perasaan resah dan gelisah, sementara yang ditunggu malah asik berbalas pesan dengan para sahabatnya.
Saking tidak nyaman dengan pakaian yang dipakainya saat ini, Salwa memutuskan meninggalkan kamar, tanpa meminta izin dari sang suami.
“Mbak Yanti— tolong bantu aku melepas gaun ini. Gerah banget rasanya. Pengen cepat mandi dan rebahan diatas ranjang,” rengek Salwa saat bertemu Mbak ndalem di depan kamar tamu.
“Masuk yuk,” ajak Mbak Yanti. Takut ada yang melihat keberadaan Salwa.
Brak … pintu tertutup cukup keras. Mbak Yanti mengajak Salwa duduk di atas sofa.
“Ada apa, Mbak?” Tanya Salwa dengan wajah bingung. Heran dengan kelakuan Mbak Yanti.
“Justru aku yang harusnya tanya sama kamu, Wa— apa yang kamu lakukan di sini? Harusnya kamu berada di kamar pengantin atau kamarnya Gus Zeehan,” jawab Mbak Yanti tanpa jeda.
Salwa menceritakan perlakuan suaminya pada Mbak Yanti. Mereka sudah berkawan lama. Sering mencurahkan isi hati masing-masing ketika sedang mengalami kesulitan.
“Ya Allah, Salwa— Mbak tidak menyangka Gus Idola seperti itu sifatnya. Terus kamu pergi dari kamar, beliau tahu apa tidak?”
“Tentunya tahu, Mbak. Orang tadi aku sempat masuk kamarnya. Dibiarkan begitu saja padahal aku kebingungan mencari baju ganti.”
“Kalau begitu kamu cepat mandi. Setelah itu kembali ke kamar suamimu. Jangan sampai Bu Nyai dan Pak Yai tahu kalian pisah kamar saat malam pertama.”
“Mbak—”
“Salwa, dengarkan Mbak!” sahut Mbak Yanti. Lalu dia berkata lagi, “Tugas istri itu melayani suami. Selama Gus Zeehan tidak melakukan kekerasan fisik maupun batin teruslah berada di sampingnya.”
“Kami tidak saling mencintai, Mbak. Dan, beliau pun tidak ada niat untuk saling mengenal.”
“Baru juga beberapa jam kalian menikah. Siapa tahu besok pagi Gus Zeehan mau terbuka denganmu.”
Akhirnya, Salwa menuruti perintah Mbak Yanti. Bergegas membersihkan badan dan berganti pakaian bersih. Kemudian kembali ke kamar sang suami sebelum Bu Nyai dan Pak Yai meninggalkan tempat acara.
***
Istri mana yang tidak hancur hatinya saat diminta membubuhkan tanda tangan diatas materai yang tertempel pada selembar kertas bertuliskan kontrak pernikahan.
Seorang Zeehan Atharazka Malik mempermainkan janji suci sebuah pernikahan. Menganggap rumah tangganya yang baru seumur jagung sebagai sebuah lelucon.
Salwa tak mau membaca poin-poin yang tertulis diatas kertas. Dia pun tidak berniat bertanya pada sang suami. Langsung mengambil bolpoin dan menandatangani kontrak itu.
“Besok pagi aku harus kembali ke Singapura. Ada meeting yang tidak dapat diwakilkan oleh sekretarisku.”
Jawaban apa yang harus diberikan oleh Salwa?
Suaminya tidak sedang meminta izin maupun mengajaknya.
“Kamu tidak punya telinga, Salwa?”
“Aku mendengar semua yang Gus Zeehan katakan.”
“Lalu kenapa sejak tadi kamu diam saja?”
“Memangnya saya harus menjawab apa?”
Pertanyaan dijawab dengan sebuah pertanyaan adalah hal yang paling dibenci oleh Zeehan. Dan kini dia mendapatkan itu dari istrinya.
“Katakan pada Eyang Umi dan Eyang Abah jika kamu tidak mau ikut ke Singapura dengan alasan ingin melanjutkan pendidikan di pondok pesantren.”
“Aku tidak suka berbohong.”
“Kalau begitu kemasi barang-barangmu sekarang juga. Karena besok kita akan berangkat ke bandara setelah subuh.”
Kedua mata bulat Salwa membola. Kepalanya pun menggeleng cepat. “Aku tidak bisa pergi meninggalkan Abi.”
“Tentukan pilihanmu. Ikut aku ke Singapura atau memberikan alasan sesuai yang aku katakan tadi. Waktumu tidak banyak. Aku juga tidak suka menunggu tanpa kepastian.”
Salwa menghela nafas lelah. Melihat kepergian suaminya setelah menempatkannya pada posisi yang sangat sulit.
Mana mungkin dia meninggalkan Abinya tanpa persiapan?
Dia juga tidak bisa berbohong pada Bu Nyai dan Pak Yai.
Kepalanya terasa pening. Tiba-tiba menjadi mempelai pengganti, lalu membuat kontrak pernikahan, kini harus berbohong agar tidak ikut pergi suaminya.
“Salwa yakin tidak mau ikut Gus Zeehan?” Tanya Bu Nyai dengan suara lembut.
Tepat pukul 3 pagi— pengantin baru itu dipanggil oleh Pak Yai untuk membahas perihal rencana kepergian Cucunya.
“Salwa bingung, Eyang,” jawab gadis itu sambil terisak.
“Eyang Uti paham dengan perasaan Salwa saat ini. Eyang pun tidak akan memaksa— jika belum siap ikut suamimu tidak masalah.”
Gus Zeehan tidak menyangka jika istrinya kekeuh menolak berbohong. Dia pikir gadis itu akan menuruti perintahnya.
Pak Yai bertanya pada cucunya, “Gus— berapa lama kamu berada di Singapura?”
“Zeehan akan tetap tinggal disana Eyang Abah. Perusahaan sedang mengerjakan proyek besar. Tidak bisa ditinggal-tinggal. Apalagi bulan depan Zeehan akan melakukan perjalanan bisnis ke Eropa.”
“Lalu bagaimana dengan istrimu?” Tanya Pak Yai lagi.
Zeehan melihat ke arah gadis yang kini sedang menundukkan kepala sambil meremas jemarinya sendiri. “Salwa masih harus menyelesaikan sekolahnya. Jika dia ikut Zeehan hafalan qur'an nya akan keteteran. Selain mengurus suami, dia juga harus ikut menghadiri undangan pesta dan menghadiri pertemuan para istri kolega bisnis perusahaan,” terangnya kemudian.
Pak Yai Syam mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti maksud dari cucunya. Kemudian beralih pada Salwa. “Nak Salwa—”
“Iya, Eyang,” jawab Salwa lirih.
“Apa kamu siap menemani suamimu dan keluar dari lingkungan pesantren?”
Salwa langsung menggelengkan kepalanya. Pertanda dia tak siap meninggalkan dunianya dan masuk ke dalam dunia sang suami yang bebas itu.
“Berarti kamu siap menjalani hubungan jarak jauh?”
Lebih baik begitu ketimbang Salwa makan hati setiap hari. Lagian dia juga bisa fokus mengurus Abi, sekolah dan hafalannya.
“Siap, Eyang—” Salwa menjawab dengan yakin.
“Kalau begitu Gus Zeehan boleh kembali ke Singapura besok pagi. Tapi dengan satu syarat,” ujar Pak Yai.
Zeehan siap mendengarkan syarat yang akan diberikan oleh Eyang Abah. Begitu juga dengan Bu Nyai dan Salwa.
“Gus Zeehan harus menghubungi Salwa setiap satu jam. Dan pulang ke Magelang sebulan sekali.”
“Tapi Eyang—”
“Tidak ada banding karena syarat itu sudah keputusan final,” lanjut Pak Yai dengan tegas.