Kehidupan Baru

1630 Kata
Selepas sholat subuh, Gus Zeehan bersiap pergi ke bandara, sang sekretaris telah menunggunya dan telah menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkannya. Wanita berpakaian ketat hingga bentuk tubuhnya terlihat sangat seksi itu telah bekerja hampir dua tahun dengan beliau. Belum ada niatan memecat meski Bu Nyai sering melayangkan protes. Danila memiliki otak cerdas dan sangat cekatan saat bekerja. Tak hanya pekerjaan yang diurusnya melainkan keperluan pribadi Bos-nya juga. Minusnya wanita itu senang berpakaian minim. Kalau kata Bu Nyai seperti tidak memakai pakaian. “Apa ini, Gus?” Tanya Salwa ketika suaminya tiba-tiba memberikan dua buah kartu berwarna hitam padanya. “Nafkah untukmu— mulai sekarang aku yang akan menanggung kehidupanmu dan Abi,” jawab Gus Zeehan. “Aku tidak membutuhkannya,” tolak Salwa. Gus Zeehan tak memiliki banyak waktu untuk merayu gadis yang menolak pemberiannya. Kartu hitam itu isinya tak main-main. Dan hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Bukan seperti ini yang Salwa inginkan. Setidaknya jika tidak saling jatuh cinta tetap menjaga perasaan masing-masing. “Hati-hati dijalan, Gus— aku pamit mau pulang ke rumah sebentar.” Gus Zeehan mencekal tangan istrinya saat berniat pergi meninggalkan kamar. Memintanya kembali duduk karena masih ada yang ingin dibicarakan. Terpaksa Salwa menurut, menahan rasa sesak yang menghimpit dadanya lebih lama lagi, sebagai bentuk rasa hormatnya pada sang suami. “Aku tidak mau berdebat lagi dengan Eyang Abah dan Eyang Umi hanya karena kamu. Maka dari itu ambil kartu ini. Semua kebutuhanmu akan diurus oleh asisten mu. Dan, akan ada orang yang mengurus Abi Hasbi. Mulai sekarang kamu bisa fokus sekolah dan hafalan,” terang Gus Zeehan dengan suara rendah. “Terima kasih— Gus Zeehan bisa pergi sekarang. Jangan khawatir dengan Eyang Uti dan Akung! Aku akan membicarakan hal baik tentang Gus Zeehan setiap kali beliau berdua bertanya.” “Ternyata kamu paham dengan isi kontrak pernikahan kita. Kalau begitu aku pergi dulu. Bulan depan aku tidak bisa pulang karena kerjaan sedang menumpuk. Buatlah alasan agar Eyang Abi tidak marah denganku.” “Iya—” jawab Salwa lirih. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca melihat kepergian suaminya. Di depan pintu kamar yang tertutup, terdengar suara tawa seorang wanita, dia adalah sekretaris Gus Zeehan. Sejak tadi menunggu Bos-nya dengan tidak sabaran. Hingga berani menerobos masuk ke dalam kamar. Untungnya ada Mbak Yanti yang lewat lalu menegurnya agar bersikap lebih sopan dengan Salwa. “Salwa ayo ikut Mbak—” Tangan Salwa ditarik Mbak Yanti, diajak berlarian menuju ke arah taman yang bersisian dengan parkiran mobil. Keduanya bersembunyi dibawah gazebo. Mengintip kepergian Gus Zeehan dengan sang sekretaris centil. “Kita mau apa sih, Mbak?” “Sssttt— jangan keras-keras! Nanti kuda nil betina itu melihat kita.” “Kuda nil?” “Danila maksudku, Salwa.” Salwa melihat interaksi antara suami dan sekretarisnya. Keduanya terlihat sangat akrab sekali. Sampai tak segan saling melempar candaan dan senyuman. Seperti tidak ada batasan di antara mereka. Mungkin karena Gus Zeehan lahir dan besar di luar negeri. Hingga tidak menerapkan batasan-batasan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya. “Ckck, sok kecantikan banget sih! Kalau tidak pakai pakaian terbuka gak bakalan ada daya tariknya. Kulitnya saja burik begitu. Jauh mulusnya jika dibandingkan denganmu.” “Istighfar, Mbak— gak boleh julid loh.” “Kamu santai banget suami ketempelan kuda nil. Seharusnya usir dia dari sisi Gus Zeehan.” “Gimana caranya? Mbak Yanti tahu sendiri sikap Gus Zeehan padaku. Kalau dipikir-pikir aku memang istrinya tapi hanya pengganti. Makanya gak boleh banyak nuntut.” “Salwa—” “Santai aja, Mbak. Tidak masalah jika mendapatkan perlakuan dingin dari suami. Setidaknya aku masih diperbolehkan tinggal di Magelang. Bisa merawat Abi dan melanjutkan sekolah.” Mbak Yanti membawa Salwa ke dalam pelukannya. Memberikan semangat pada gadis yang sejak kecil diasuh olehnya. Takdir Allah memang tidak bisa ditebak. Semua manusia memiliki ujian masing-masing. Dan, ujian Salwa ada pada sang suami. Karena dia adalah cucu menantu kesayangan Pak Yai dan Bu Nyai. “Salwa cantik harus kuat. Pokoknya gak boleh sedih meskipun tidak diberi perhatian dan kasih sayang sama Gus Zeehan.” “Gak bakal sedih kok Mbak. Lagian sejak dulu hanya Mbak Yanti yang perhatian sama aku. Iya ‘kan?” Gemas dengan sikap Salwa, membuat Mbak Yanti mencubit pipinya, hingga si empunya berteriak kesakitan. Tanpa keduanya sadari Gus Zeehan memperhatikan dari dalam mobil. Dia melihat senyum lebar Salwa ketika bercanda dengan Mbak Ndalem. Tapi Gus Zeehan tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh istrinya. *** “Salwa tidak ke pondok?” Tanya Abi selesai sarapan. “Salwa ke pondok setelah orang yang akan mengurus Abi datang,” jawab Salwa sambil membereskan meja makan. “Siapa yang akan mengurus Abi, Nak?” “Namanya Pak Reno— kalau asisten Salwa namanya Bu Diana.” “Gus Zeehan yang menyiapkan mereka untuk membantu kita?” “Iya, Abi. Sebelum berangkat ke Singapura tadi beliau sempat menjelaskan pada Salwa.” “Suamimu kembali ke sana?” Salwa menganggukkan kepala. Tidak mau membahas lebih jauh tentang kepergian Gus Zeehan. Dia tidak pandai berbohong dan Abinya sangat mengenalnya. Jika dia mengarang cerita pasti akan ketahuan. “Lalu kapan dia akan kembali?” “Setiap bulan Gus Zeehan akan pulang ke Magelang. Tepatnya kapan Salwa belum tahu.” “Syukurlah jika beliau hanya sebulan berada di sana.” Salwa dan Abi Hasbi tengah menantikan kedatangan para asistennya. Menunggu di ruang tamu sambil murojaah. Hafalan gadis itu sudah hampir selesai. Tinggal dua juz lagi khatam. Selang setengah jam yang ditunggu akhirnya datang juga. Salwa masuk ke dalam untuk membuatkan minuman sementara Abi mengajak tamunya berbincang. “Saya sebenarnya tidak mengerti untuk apa Gus Zeehan menyiapkan asisten. Sehari-hari saya dan Salwa tidak pernah bepergian jauh. Juga tidak memiliki pekerjaan yang berbahaya.” “Pak Zeehan menugaskan saya untuk membantu Abi Hasbi saat Ning Salwa berada di pondok. Sementara tugas Diana menjaga Ning Salwa kemanapun perginya,” jelas Pak Reno. Salwa datang menyajikan teh hangat dan ketela goreng. Tadi dia sempat mendengar ucapan Pak Reno tentang dirinya yang akan dikawal oleh Bu Diana. Memangnya dia siapa hingga harus mendapatkan pengawalan? Hidup juga hanya di sekitar pondok. Paling jauh ya ke kebun sayur saat musim panen tiba. Itu pun diantar oleh Mbak Yanti. “Saya sudah tiga tahun sakit stroke. Semenjak itu aktivitas setiap hari ya dirumah. Keluar paling jauh ke teras rumah. Kalau ada pengajian rutinan di pondok sudah tidak pernah ikut lagi.” “Iya— saya juga seperti Abi. Aktivitas hanya di rumah dan pondok. Jaraknya pun lima langkah sampai. Sepertinya agak berlebihan jika memiliki asisten atau pengawal.” Pak Reno menjelaskan jika Salwa sekarang menjadi istri seorang Zeehan sang pengusaha muda nan sukses. Banyak saingan bisnisnya yang berlomba-lomba mencari tahu kehidupan pribadinya. Mulai dari tempat tinggal, asal usul hingga keluarganya. Maka dari itu Salwa dan Pak Hasbi butuh pengawalan ketat. Untuk berjaga-jaga jika ada orang yang berniat buruk. “Apa Bu Diana akan masuk ke dalam kelas ketika saya sedang mengaji?” “Iya, saya akan menunggu dari kejauhan agar tidak menganggu kenyamanan Ning Salwa.” “Baiklah kalau begitu. Saya setuju mendapatkan pengawalan. Bagaimana dengan Abi?” Abi Hasbi juga setuju sama seperti putrinya. Namun dia meminta maaf lebih dulu pada Pak Reno jika nantinya akan sering merepotkan. Kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Untuk itu beliau butuh bantuan jika ingin ke toilet dan juga naik ke atas ranjang. “Sudah menjadi tugas saya membantu Abi Hasbi. Jadi tidak perlu meminta maaf. Anggap saja saya ini anak tertua Abi,” ujar Pak Reno. “Saya sebagai anak kedua Abi Hasbi,” sahut Bu Diana. Sudah waktunya Salwa kembali ke pondok. Pagi ini dia harus setor hafalan pada Bu Nyai. Meski sudah menjadi cucu menantu bukan berarti dia bisa seenaknya sendiri. Harus tetap mengikuti aturan yang berlaku. Kehidupan baru Salwa telah dimulai. Biasanya dia pusing memikirkan masak, mengurus rumah dan mengurus Abi-nya, kini semuanya sudah ada yang mengurus. Tugasnya hanya fokus belajar agar cepat lulus. Apa tidak ada yang membicarakannya? Tentu saja ada. Bahkan banyak Mbak Santri yang menyindirnya secara terang-terangan. Mengatakan jika dia sengaja menawarkan diri pada Bu Nyai agar dijadikan mempelai pengganti. Ada juga yang mencibirnya. Membandingkan dia dengan calon istri Gus Zeehan yang kabur. Katanya dia kalah cantik. Dari segi ekonomi pun tidak sepadan. “Salwa— kenapa malah melamun? Masuk sini, Nak.” Panggil Bu Nyai saat melihat cucu menantunya berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit. Bu Nyai sedang membaca buku di perpustakaan. Kata Mbak Yanti saat Salwa tak sengaja bertemu di pintu belakang yang menghubungkan dapur dengan halaman pondok putri. Langkah kaki Salwa terhenti ketika foto pernikahannya terpasang pada dinding. Padahal baru kemarin dia menikah tapi Bu Nyai telah mencetak foto sebesar itu. “Jangan dipandang terus, Nak— kalau kangen boleh ditelpon. Sudah halal,” goda Bu Nyai. Salwa melanjutkan langkahnya, mendekat ke arah sofa, tempat dimana Bu Nyai duduk. Sebelum mendaratkan bokongnya, Salwa mencium punggung tangan Bu Nyai lebih dulu, kemudian merengek, memohon agar jangan di goda. “Sayangnya, Eyang Uti— terima kasih ya, Nak. Sudah mau menerima pinangan dadakan Eyang.” Salwa mengangguk. Kemudian membalas pelukan Bu Nyai. Dalam hatinya berdoa agar semua orang yang dia sayangi diberi kesehatan, umur panjang dan kebahagiaan. “Terima kasih juga, Eyang. Tanpa bantuan Eyang Uti dan Akung mungkin Salwa tidak akan bisa melanjutkan pendidikan.” “Salwa anak yang pintar dan rajin. Tanpa bantuan Eyang pasti akan mendapatkan banyak tawaran beasiswa. Buktinya sampai menolak beasiswa kuliah ke luar kota dan luar negeri ‘kan?” “Lebih nyaman tinggal di desa dan menghafal qur'an Eyang. Di sini ada Abi, Uti dan Akung— Salwa tidak akan bisa tinggal jauh dari keluarga.” “Sekalipun Gus Zeehan yang meminta?” ‘Iya— tawaran Gus Zeehan pasti akan aku tolak! selain tidak mau meninggalkan Magelang, aku juga tidak mau tinggal dengan pria dingin dan bermulut pedas itu,’ jawab Salwa dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN