Dua bulan kemudian …
Kehidupan Salwa setelah menikah dengan Gus Zeehan mengalami banyak perubahan. Selain mendapat panggilan ‘Ning’ dan banyak yang segan dengannya, sekarang dia tinggal di rumah yang dibangun oleh sang suami. Letaknya masih di lingkungan pesantren. Tempatnya di samping pondok putri.
Gus Zeehan sama sekali tidak pernah menghubunginya. Entah itu lewat pesan maupun panggilan video. Dia pun melanggar janji yang telah dibuatnya dengan Pak Yai. Dengan alasan harus pergi ke eropa untuk melakukan perjalanan bisnis.
Minggu depan akan ada acara haul Abi dan Umi Gus Zeehan. Biasanya suami Salwa itu tidak akan pulang. Alasannya tentunya tentang pekerjaan. Hingga Pak Yai dan Bu Nyai lelah memintanya kembali ke Magelang.
“Salwa— lemari es penuh dengan makanan. Kayaknya kemarin kamu habis mengeluarkan semua isinya. Kok bisa penuh dalam sekejab.”
“Diisi lagi sama Bu Diana. Mbak Yanti kalau mau buah, camilan atau sayur ambil aja— gak bakal habis aku memakannya.”
“Kemarin kamu sudah bagi-bagi ke aku dan Mbak pondok. Serius mau kasih lagi?”
“Daripada gak kemanan dan pada akhirnya di buang mending aku kasih ke Mbak Yanti dan teman-teman.”
“Ya udah, ntar aku ambil setelah sholat magrib. Sekalian aku bagikan saat makan malam sebagi pencuci mulut.”
Salwa sedang membaca buku pemberian Bu Nyai. Hari ini dia sedang kedatangan tamu bulanan. Perutnya terasa nyeri jadi malas melakukan apapun. Lagipula sedang musim liburan. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Sebagian santri putri pulang ke rumah. Hanya beberapa orang yang masih berada di pondok.
Kegiatan Salwa selama liburan, pagi menemani Abi-nya berjemur dan sarapan, siang kembali rumahnya untuk istirahat, sore menyiram bunga dan malam setoran hafalan pada Bu Nyai.
Sebenarnya dia dibebaskan memakai ponsel agar suaminya bisa menghubunginya kapan saja. Namun, dia tidak terbiasanya memakai gadget. Jadi benda itu selalu berada di dalam laci.
“Gus Zeehan pulang apa enggak, Wa? Jahat banget gak pernah hubungi istrinya. Berasa masih lajang saja,” gerutu Mbak Yanti.
“Kurang tahu sih, Mbak. Eyang Uti juga gak ada cerita sama aku,” ujar Salwa cuek. Seolah tidak peduli suaminya pulang atau tidak.
Mbak Yanti mengambil kuaci, lalu ikut duduk di meja makan, memulai membicarakan tentang kelakuan suami sahabatnya.
“Satu pesan pun gak pernah kirim, Wa?”
“Gak pernah deh kayaknya, Mbak. Lagian beliau tidak punya nomorku.”
“Kamu punya apa tidak?”
Salwa menggelengkan kepala. “Gak punya, Mbak.”
“Loh, kok bisa gak punya sih. Pantesan kamu kelihatan panik saat diminta Bu Nyai buat hubungi Gus Zeehan.”
“Ya masak aku minta sama Eyang Uti sih Mbak. Ntar ketahuan kalau Gus Zeehan gak pernah menghubungiku.”
“Konsep rumah tangga kalian itu apa sih sebenarnya? Satunya cuek dan satunya gak peduli. Mau sampai kapan kalian seperti ini?”
“Mbak Yanti bisa tanyakan sendiri sama Gus Zeehan saat pulang nanti. Aku mah gak berani. Selain cuek, beliau kalau bicara pedas sekali.”
Mbak Yanti menghela nafas lelah. Merasa kasihan dengan nasib sahabatnya. Hidupnya memang tidak kekurangan apapun dalam hal materi. Tapi dia tak mendapatkan perhatiaan sedikitpun dari sang suami.
Untungnya Salwa masih memiliki Abi Hasbi, Bu Nyai dan Pak Yai yang sangat menyayanginya. Dia sama sekali tidak kekurangan kasih sayang dari ketiga orang itu. Hingga lupa jika diabaikan oleh suaminya yang kini entah berada di mana.
***
Tok … Tok …
Suara ketukan pintu membuat Salwa berjengkit kaget. Kedua matanya mengerjap beberapa kali lalu melihat ke arah jam di atas nakas.
Pukul 11 malam, tapi ada yang sengaja menganggu istirahatnya. Mengetuk pintu secara brutal hingga membuat kegaduhan.
Setelah beranjak dari ranjang Salwa mengambil hijab instan yang ada di pinggir ranjang. Memakainya sambil berjalan ke arah pintu.
Sebelum membuka pintu, Salwa bertanya siapa yang datang, tapi tidak ada jawaban.
“Kalau tidak mau menjawab aku tak akan membuka pintu,” ujar Salwa dengan sedikit mengeraskan suaranya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara berat yang sangat dia hafal. Ya— suaminya adalah pelaku kegaduhan malam ini.
“Kenapa lama sekali membuka pintunya Salwa?” Tanya Gus Zeehan setelah pintu baru terbuka.
Saking kagetnya Salwa sampai mematung ditempat. Hanya bernafas tanpa mengedipkan kedua matanya.
Melihat Salwa terdiam dengan mulut menganga Gus Zeehan mendengkus kesal. Dia pun mendorong tubuh sang istri agar masuk ke dalam kamar.
“Aku lapar, Salwa. Apa tidak ada makanan?”
“Gus Zeehan pulang? Eh— maksudku kenapa tiba-tiba pulang? Aduh, ngomong apa sih aku.”
Salwa seperti orang linglung. Bertanya dengan suaminya saja harus diulang berkali-kali.
Sementara Gus Zeehan berjalan ke arah nakas yang ada di sebelah ranjang, lalu membuka laci dan mengambil benda pipih milik sang istri.
“Apa kamu tidak pernah membuka ponselmu, Salwa?”
“Pernah. Kemarin aku membuka ponsel dan membalas pesan.”
“Kemarin? Dan pesan siapa yang kamu balas?”
“Iya, Eyang Uti meminta aku memesan makanan ringan untuk dibagikan saat acara pengajian. Aku berbalas pesan dengan tukang catering langganan mendiang Umi.”
Tak percaya dengan jawaban sang istri, Gus Zeehan membuka benda pipih itu lalu mengecek pesan-pesan yang masuk.
Ternyata benar, Salwa hanya berbalas pesan dengan tukang catering, tukang sayur dan juga dokter yang merawat Abi Hasbi.
“Kamu tahu benda ini fungsinya untuk apa?”
Salwa pun mengangguk. Sebagai jawaban iya. Suaminya bertanya seputar ponsel membuatnya kebingungan maksud dari pertanyaan itu.
“Jika suamimu mengirim pesan atau menelepon apa yang harus kamu lakukan?”
“Membalas dan menjawabnya.”
“Lalu kenapa kamu mengabaikan semua pesan dan panggilan dariku?”
“Pesan dan panggilan apa?”
Gus Zeehan berjalan ke arah Salwa. Menunjukkan pesan-pesan yang dia kirim dan panggilan yang tak terjawab.
Setibanya di Jogja, Gus Zeehan menghubungi sang istri agar menjemputnya. Namun tak ada jawaban. Menghubungi Bu Diana pun tidak dibalas dan tidak diangkat.
Terpaksa Gus Zeehan pulang dengan sopir pondok seorang diri. Sementara Pak Yai dan Bu Nyai berkata tidak bisa menjemput karena sedang menghadiri acara di luar kota.
“Owh– ternyata yang telepon tadi Gus Zeehan. Aku sengaja tidak menjawab. Karena aku pikir orang iseng seperti minggu lalu.”
“Siapa yang berani menghubungimu?!”
“Aku tidak tahu siapa— nomornya sudah aku blokir. Tapi dia masih menghubungiku dengan nomor baru.”
“Untuk sementara waktu ponselmu aku bawa. Aku ingin tahu siapa yang berani mengganggu istriku.”
Setelah itu, Gus Zeehan masuk ke kamar mandi. Sedangkan Salwa bergegas turun ke bawah untuk menyiapkan makanan. Jika tidak sama dengar tadi suaminya mengeluh lapar.
Tadi sore, Salwa masak rendang dan nasi cukup banyak. Karena Bu Nyai berkata akan ada kamu penting yang datang. Ternyata yang dimaksud itu adalah cucu kesayangannya.
Jadi, Salwa tinggal memanaskan lauk lalu menghidangkannya ke atas meja makan. Sembari menunggu suaminya turun, dia membuat wedang jahe karena cuaca diluar sedang hujan deras.
“Jangan berpikir aku pulang karena merindukanmu,” ujar Gus Zeehan sesampainya di meja makan.
Salwa mengernyitkan keningnya. Tidak mengerti maksud ucapan suaminya barusan.
“Ah sudahlah— bicara denganmu sama saja bicara dengan bocah SD. Banyak tidak mengertinya.”
“Salah sendiri kalau bicara suka ambigu. Memangnya ada yang bicara tentang rindu? Kok tiba-tiba membahas perihal itu.”
“Uhuk … uhuk …”
Gus Zeehan tersedak setelah mendengar ucapan sang istri. Dia menepuk-nepuk d**a yang terasa perih dan panas.
“Pelan-pelan saja makannya. Tidak akan ada yang minta,” ujar Salwa setelah memberikan gelas berisi air mineral pada sang suami.
Gus Zeehan langsung menenggak air itu hingga tandas. Kemudian menatap tajam ke arah sang istri. “Berani sekali kamu mengatakan harus seperti itu Salwa.”
“Apa sih? Marah-marah terus. Perasaan aku nggak bikin salah.”
“Lebih baik aku bicara dengan rendang ketimbang denganmu. Kamu ini manusia yang tidak peka dan lemot.”
Jengah menjadi pelampiasan sang suami, Salwa memutuskan meninggalkan ruang makan, lebih baik dia tidur karena besok akan sangat sibuk, membantu mempersiapkan haul kedua mertuanya.
Salwa juga Mengabaikan panggilan Gus Zeehan yang sedang protes karena ditinggal olehnya.